indeks
APBN 2025 Defisit, Belanja Negara Tetap Jalan dan Bertambah

Belanja negara tetap berjalan dan bertambah.

Penulis: Siska Mutakin

Editor: Sindu

Google News
APBN 2025 Defisit, Belanja Negara Tetap Jalan dan Bertambah
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, 2024. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kekurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diperkirakan melebar dari target awal 2,53% (Rp616,2 triliun) menjadi 2,78% (Rp662 triliun) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tercatat, hingga Februari tahun ini, defisit atau kekurangan APBN sebanyak Rp31,2 triliun atau 0,143 dari PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, situasi keuangan negara tersebut saat rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, awal bulan ini.

"Agak lebih lebar dibandingkan APBN awal, tetapi masih cukup manageable. Kami akan meminta persetujuan DPR untuk menggunakan sisa anggaran lebih Rp85,6 triliun, sehingga kenaikan defisit itu tidak harus dibiayai semua dengan penerbitan surat utang, namun menggunakan cash yang ada," kata Sri Mulyani, Selasa, (1/7/2025).

Sri Mulyani bilang, pelebaran defisit ini lantaran ada potensi tidak tercapainya target penerimaan negara. Total pendapatan negara diperkirakan hanya Rp2.865,5 triliun atau sekitar 95,4 persen dari target dalam pagu anggaran, yaitu Rp3.005,1 triliun.

Menkeu juga berencana memanfaatkan sebagian dari saldo anggaran lebih (SAL) 2024 yang tercatat Rp457,5 triliun. Sedangkan belanja negara hingga akhir 2025 diproyeksikan terealisasi Rp3.527,5 triliun atau 97,4 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN 2025.

red
Asumsi Makro 2025. Foto: media.kemenkeu.go.id


Catatan DPR

Kondisi anggaran negara itu membuat Wakil Ketua Komisi Keuangan (XI) DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dolfie Othniel Frederic Palit mempertanyakan kejelasan arah penghematan pemerintah dalam APBN 2025.

Menurutnya, rencana efisiensi belanja negara Rp306,7 triliun yang diatur dalam Inpres 1/2025, tidak terealisasi sepenuhnya. Sebab, defisit APBN tahun ini perkirakan akan menjadi Rp662 triliun (2,78% dari PDB) sampai akhir 2025. Semula, defisit ditargetkan Rp616,2 triliun (2,53% dari PDB).

Dolfie menyoroti, belanja negara dalam outlook atau proyeksi baru hanya turun sekitar Rp94 triliun dari semula Rp3.621 triliun menjadi Rp3.527 triliun. Padahal, jika merujuk pada rencana penghematan melalui Inpres, seharusnya pemangkasan mencapai Rp306 triliun.

"Berarti ada Rp200 sekian triliun yang tidak jadi dihemat. Nah, ini belum diceritakan. Kenapa tidak jadi dihemat? Malah utangnya nambah. Minta izin lagi menggunakan SAL. Nah, ini narasi ini belum jelas ini," tegas Dolfie kepada Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama, Selasa, (1/7/2025).

Dolfie juga mengungkapkan, pembukaan blokir anggaran Rp134,9 triliun yang dilakukan pemerintah tidak memiliki dasar jelas, apalagi tanpa ada syarat maupun mekanisme yang tercantum dalam inpres.

"Jadi, buka blokir ini dasarnya apa? Ketika minta penghematan, pemerintah datang ke DPR. Minta persetujuan bahwa anggaran akan dihemat. Tentu DPR dengan senang hati. Karena amanat undang-undang, APBN itu harus efisien. Penghematan itu efisien. Setuju," ungkapnya.

Ia mengungkapkan, 23 K/L melakukan restrukturisasi program, 76 K/L membuka blokir untuk program yang sudah ada, dan 2-3 K/L tampak menjalankan program baru.

Menurutnya, hal itu tidak sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur bahwa perubahan program dan fungsi harus mendapatkan persetujuan DPR.

red
Pendapatan dan belanja negara. Foto: media.kemenkeu.go.id


Tidak Hati-Hati?

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda turut menyoroti kondisi APBN 2025. Menurutnya, defisit APBN yang meningkat merupakan sinyal pengelolaan fiskal tidak dilakukan hati-hati.

"Kita sudah sampaikan di akhir tahun 2024, bahwa kita ada risiko fiskal yang membengkak ketika dari sisi MBG dan sebagainya itu dilakukan secara tidak prudent (hati-hati), artinya dilakukan secara serampangan, itu pasti akan menimbulkan defisit anggaran yang membesar," kata Nailul kepada KBR, Kamis, (3/7/25).

Nailul menyebut, penerimaan negara menunjukan tren melemah sejak awal tahun, meski sempat naik di Maret, namun tidak berlanjut. Akibatnya, penurunan pendapatan hampir pasti terjadi.

Di sisi lain, belanja negara tetap berjalan dan bertambah. Bahkan, ia menyebut, program MBG saja sudah menyedot anggaran Rp71 triliun. Sempat diajukan tambahan Rp100 triliun sebelum akhirnya dikurangi menjadi Rp50 triliun.

Selain itu, kebutuhan subsidi energi tambahan Juni 2025 sudah mencapai Rp25 triliun dan pembayaran bunga utang sekitar 54% dari APBN.

"Ini yang membuat akhirnya penerimaan kita cekak, tetapi keinginan berbelanja itu semakin besar. Pada akhirnya ini akan menimbulkan defisit yang membengkak. Ini yang terjadi sebenarnya. Sekalipun memang tidak ada konflik geopolitik, ini juga akan terjadi," ucapnya.

Menurut Nailul, beberapa program dengan anggaran jumbo perlu segera dievaluasi efektivitas dan dampaknya terhadap fiskal.

Di luar MBG, ada sejumlah proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol, IKN (Ibu Kota Negara) yang masih berjalan. Lalu, ada proyek Giant Sea Wall yang ia nilai membebani fiskal, meski sebagian diklaim menggunakan dana non-APBN.

red
Fokus kebijakan fiskal 2025. Foto: media.kemenkeu.go.id


Efisiensi Anggaran Tidak Tepat Sasaran

Nailul juga menyoroti klaim efisiensi anggaran pemerintah, yang sebagian tidak tepat sasaran. Ia mencontohkan, efisiensi yang memotong belanja perjalanan dinas dalam negeri dan penggunaan hotel untuk rapat. Keputusan itu justru berdampak negatif terhadap sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and exhibition) yang selama ini bergantung pada belanja pemerintah.

"Padahal, kalau kita lihat dampak dari sisi hotelling itu juga bisa berdampak kepada sisi pendapatan. Kalau hotel naik dan sebagainya, pendapatan daerah juga naik dong. Kemudian kalau dia hotel naik dan sebagainya, pendapatan hotel juga naik dong," jelas Nailul.

Ia menekankan, pemerintah perlu mengevaluasi dampak jangka panjang dari setiap kebijakan efisiensi.

Keadilan Pajak dan Potensi yang Terabaikan

Pemerintah saat ini juga sedang menggodok pemajakan terhadap pelaku usaha di sektor e-commerce dan UMKM. Meskipun banyak menuai kritik, Nailul mendukung rencana ini sebagai langkah mendorong keadilan pajak.

"Karyawan di atas 60 juta itu harus membayar pajak. Membayar pajaknya berapa itu ada hitungannya. Nah masa hal yang sama tidak diterapkan kepada pengusaha yang dia memang omzetnya 700 juta. Misalkan taruhlah omzetnya 700 juta," katanya.

“Keuntungan mereka itu sekitar 20%. 140 juta per tahun. Seharusnya bayar pajak dong. Nah, inilah yang saya sebutkan pajak itu bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga soal keadilan,” imbuh Nailul.

Namun, ia juga menyadari, potensi pajak dari sektor ini sangat kecil. Ia menyebutkan, 82% pelaku usaha e-commerce memiliki omzet di bawah Rp300 juta, sementara yang di atas Rp500 juta jumlahnya sangat sedikit. Karena itu, fokus pemajakan seharusnya bukan pada UMKM, melainkan pada sektor-sektor besar.

Nailul menilai, seharusnya pemerintah lebih berani menarik pajak dari sektor pertambangan dan korporasi.

"Sifat pertambangan itu dia boleh dibilang share terhadap pajak itu rendah. Padahal, share terhadap ekonomi itu relatif tinggi. Artinya apa, yang mereka keruk dari Bumi kita, Bumi Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang mereka bayarkan ke negara," ucapnya.

red
Pembiayaan investasi 2025. Foto: media.kemenkeu.go.id


Memindahkan Pendapatan

Ia juga mengkritik, praktik korporasi besar yang menghindari pajak dengan memindahkan pendapatan ke perusahaan cangkang di luar negeri. Selain itu, Nailul kembali mendorong wacana pajak kekayaan atau pajak warisan.

"Karena warisan itu salah satunya yang memang menjadikan ketimpangan gitu, kan. Kita anak-anak orang biasa tidak bisa bersaing dengan anaknya Chairul Tanjung, anaknya Sembilan Naga, anaknya Haji Isam, karena mereka mendapatkan warisan yang cukup besar," katanya.

"Makanya inilah perlu satu pajak warisan untuk bisa meningkatkan penerimaan negara juga dan juga bisa meningkatkan keadilan. Keadilan dari siapa? Bagi siapa? Bagi masyarakat secara keseluruhan" tambahnya.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 hanya akan berada di kisaran 4,5% hingga 4,7%. Angka ini lebih rendah dari asumsi makro pemerintah.

"PMI kita itu masih rendah, masih di bawah level 50. Artinya banyak perusahaan yang tidak ekspansi usahanya. Akibatnya pengangguran semakin tinggi. Nah, pengangguran semakin tinggi ketika plus satu itu tidak mau ekspansi. Penyerapan tenaga kerja rendah yang pada akhirnya ini akan melemahkan permintaan agregat. Jadi, konsumsi rumah tangga juga akan melambat," katanya.

Kondisi Perekonomian

APBN 2025 merupakan APBN transisi yang mempertimbangkan kondisi ekonomi global. Kondisi perekonomian global yang masih dinamis diprediksi bakal menjadi tantangan kinerja ekonomi ke depan.

Hal lain yang dipertimbangkan adalah bauran kebijakan jangka pendek hingga panjang. Desain APBN 2025 dirancang untuk mendorong pencapaian Visi Indonesia Emas 2045, serta memberikan ruang untuk pelaksanaan program pemerintahan selanjutnya.

Pemerintah juga berupaya mempercepat perubahan ekonomi lewat menghidupkan kembali industri termasuk hilirisasi dan transformasi ekonom hijau, penguatan sektor jasa, termasuk ekonomi hijau, dan digitalisasi.

Apa Itu APBN?

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Definisi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Masa berlaku adalah satu tahun, mulai 1 Januari-31 Desember.

Apa fungsi APBN? Ada sejumlah fungsi dari APBN, yakni perencanaan, pengawasan, otorisasi, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Stabilisasi misalnya, yakni APBN berfungsi sebagai alat mengupayakan dan memelihara keseimbangan fundamental perekonomian nasional.

Lalu, apa tujuannya? Tujuannya, mengatur dan mengelola keuangan negara agar efektif dan efisien.

Baca juga:

APBN 2025
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Kemenkeu

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...