APBN per akhir Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun.
Penulis: Astri Yuanasari, Astri Septiani, Ardhi Ridwansyah, Dita Alyaaulia
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan APBN di awal tahun tekor Rp31,2 triliun rupiah. Defisit ini diumumkan setelah menteri keuangan telat melaporkan kinerja APBN pada Januari 2025.
Defisit ini setara 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan kali pertama sejak 2021, APBN tekor.
Sri Mulyani mengatakan defisit ini masih sesuai dengan target APBN 2025.
"Saya ingatkan kembali kolom sebelahnya APBN didesain dengan defisit Rp616,2 triliun. Jadi ini defisit 0,13 persen tentu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB, yaitu 616,2 triliun rupiah," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Kamis (13/3/2025).
Sri Mulyani menjelaskan, realisasi pembiayaan anggaran hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp220,1 triliun.
"Ini artinya dua bulan pertama kita telah merealisasi pembiayaan cukup besar 35,7 persen. Implisit, ini berarti ada perencanaan dari pembiayaan yang cukup front loading, artinya issuance-nya di awal cukup besar," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, realisasi belanja negara hingga akhir Februari sebesar Rp348,1 triliun. Pendapatan negara lebih rendah, yakni Rp316,9 triliun.
Dari sisi penerimaan pajak, hingga bulan kedua tahun ini negara mampu meraup Rp240,4 triliun. Sementara, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.
Baca juga:
- Laporan APBN 2025 Mundur, Sri Mulyani: Data Belum Stabil
- APBN 2024 Baik Tapi Penerimaan Negara Gagal Target, Ini Alasan Sri Mulyani
Anggota Komisi Bidang Perdagangan di DPR Amin AK, meminta pemerintah memastikan defisit APBN 2025 tidak melebar dari proyeksi. Dia khawatir pemerintah akan bergantung pada utang, jika duit negara terus menipis.
''Dan tentu ketika kita nambah utang maka akan ada tambahan beban pembayaran bunga di masa yang akan mendatang. Yang kedua juga bisa menurunkan kepercayaan investor karena mereka ragu tentu terhadap stabilitas fiskal di Indonesia dan ini akan mempengaruhi aliran investasi masuk. Yang ketiga juga bisa menekan nilai tukar rupiah. Ini yang harus juga diwaspadai. Sekarang nilai tukar rupiah kita masih sangat labil dan tidak baik-baik saja," kata Amin kepada KBR, Kamis (13/3/2025).
Amin AK menilai, langkah pemerintah melakukan efisiensi anggaran saja belum cukup. Pemerintah didorong menggenjot penerimaan dari sektor pajak.
Misalnya dengan memperluas basis penerimaan pajak dan memastikan potensi-potensi yang ada benar-benar masuk sebagai penerimaan negara.
Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Gulfino Guevarrato menilai defisit APBN sebesar 31,2 triliun merupakan dampak dari kebijakan impulsif yang dibuat Presiden Prabowo.
Mulai dari pembentukan kabinet yang gemuk, program makan bergizi gratis yang menelan duit puluhan triliun rupiah, hingga efisiensi anggaran yang dibuat tergesa-gesa.
"Dampaknya kemudian APBN kita tidak kuat untuk menahan kebutuhan-kebutuhan untuk membiayai program prioritas tersebut. Oleh karena itu kami melihat hal penting bahwa perlunya kemudian Prabowo untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan. Yang paling urgen adalah kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak buruk kepada pelayanan publik. Efisiensi anggaran harus dilakukan secara proporsional dan tepat, tidak serampangan dan sporadis," kata Gulfino kepada KBR, Minggu (16/3/2025).
Gulfino mendorong Kementerian Keuangan segera memperbaiki tata kelola perpajakan nasional. Sebab pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara, kata dia.
Upaya ini perlu segera dilakukan agar kemampuan negara dalam menyerap penerimaan pajak menjadi lebih maksimal.
Namun dia mengingatkan, jangan sampai penarikan pajak itu mengganggu kemampuan dan kesejahteraan masyarakat, misalnya menaikkan PPN yang justru bisa kontraproduktif.
Baca juga:
- Perang Dagang AS-Cina Ancam Ekonomi Indonesia, Ini Kata Ekonom
- Pemangkasan Anggaran 2025: PDIP Ingatkan Risiko bagi Ekonomi Nasional
Sementara itu, Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Ruben Hutabarat menduga kendala pada sistem Coretax berdampak terhadap menurunnya penerimaan negara.
Coretax merupakan sistem teknologi administrasi layanan Direktorat Jenderal Pajak yang diklaim memberikan kemudahan bagi pengguna. Coretax merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP).
“Karena yang harus diingat adalah PPN kan berkontribusi paling tinggi terhadap penerimaan perpajakannya. Begitu itu anjlok, begitu itu wajib pajak mengalami kesulitan melakukan pembayaran, maka dengan sendirinya anjloknya pendapatan perpajakan juga signifikan,” ujar Ruben pada Ruang Publik KBR, Jumat (14/3/2025).
Ruben mengatakan makin mudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, tingkat kepatuhan akan meningkat.
Jika itu terjadi, pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan persentase tax ratio nasional. Namun jika prosesnya sulit, wajib pajak akan acuh.
Meskipun sistem Coretax masih menghadapi berbagai kendala teknis, pemerintah diminta untuk tetap terus menyempurnakan sistem ini tanpa kembali ke metode lama.
Ruben mengingatkan pemerintah perlu segera menyelesaikan kendala teknis pada sistem Coretax agar tak berdampak lebih jauh hingga menurunkan penerimaan pajak negara.