“Dari mulai grassroots, mulai pendidikan di sekolah sampai dengan level profesional semua bentuk atas dasar keadilan. Bukan menganak-emaskan cabang ini, cabang itu,"
Penulis: Siska Mutakin
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Timnas Indonesia harus mengakui ketangguhan Jepang dalam laga terakhir Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Tim berjulukan Garuda itu kalah dengan skor sangat telak 0-6.
Padahal sebelumnya, hadiah jam tangan mewah diberikan kepada para pemain timnas pasca menang dari China di laga pada 5 Juni 2025 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Perjuangan Indonesia menuju Piala Dunia, nampaknya bakal diuji dalam fase ronde 4, Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Dukungan pemerintah mengalir dari sejumlah aspek, salah satunya anggaran.
Di tengah pelaksanaan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dimandatkan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah merogoh Rp277 miliar dari APBN 2025 untuk sepak bola nasional. Dari jumlah tersebut, 73 persen anggaran untuk sepak bola bersumber dari pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui unggahan di akun Instagram @ditjenpajakri menyebut, anggaran itu untuk pengembangan sepak bola nasional, salah satunya mempersiapkan Timnas Indonesia menuju Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Pengamat Sebut Ada Ketimpangan Perhatian
Pengamat Olahraga Anton Sanjaya menyayangkan kebijakan pemerintah yang mengalokasikan dana sebesar Rp277 miliar dari APBN 2025 untuk sepak bola nasional di tengah pemangkasan anggaran Kemenpora.
Menurutnya, langkah ini mencerminkan ketimpangan perhatian terhadap cabang olahraga lain yang selama ini berprestasi di level dunia.
"Ya kalau dari angkanya sih biasa aja ya mbak. Tapi kalau kita lihat ada pemotongan anggaran di Kemenpora dari Rp2 triliun menjadi hanya 1 koma sekian triliun itu kan menurut saya ironis," ujar Anton dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (9/6/2025).
Dia menyoroti bahwa belum pernah dalam sejarah republik, cabang olahraga lain mendapat perhatian hingga dibawa ke rapat istana atau bahkan dikeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) seperti yang terjadi pada sepak bola.
Kata dia, Inpres No. 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Inpres ini dikeluarkan untuk memajukan sepak bola Indonesia, termasuk dalam hal pembinaan, pengembangan, dan peningkatan kualitas pemain.
"Sampai-sampai ada seorang presiden yang mengabaikan kematian 135 nyawa (Tragedi Kanjuruhan, red) demi sepak bola. Tidak pernah ada dalam sejarah. Nah ini, buat saya ini ironisnya, kalau yang mengeluarkan dana ini pihak swasta atau apa, terserah lah. Tapi ini negara dalam konteks keadilan sosial, bagi seluruh rakyat Indonesia yang ada dalam sila-pancasila itu dimana," ungkapnya.
Cabor Lain Minim Dukungan
Anton juga menilai ketidakadilan terjadi Ketika cabang-cabang seperti bulu tangkis, atletik, renang, hingga senam yang terbukti konsisten mengharumkan nama bangsa, justru minim dukungan.
"Indonesia apa yang lakukan terhadap itu? Nothing. Nol besar. Jadi buat saya ini ironi, terlepas dari euforia bahwa untuk pertama kalinya Indonesia punya potensi melaju ke babak putaran final, ke piala dunia," katanya.
Dirinya tak mempermasalahkan besarnya dana selama digunakan untuk pembinaan usia muda dan pembangunan pondasi jangka panjang. Namun, jika fokus hanya pada tim nasional yang notabene sebagian besar dibentuk oleh pemain diaspora dan federasi luar, seperti Belanda, maka tujuannya patut dipertanyakan.
Anton kemudian mencontohkan Jepang, yang memiliki 20 pemain aktif di klub top Eropa hasil pembinaan JFA (Japan Football Association), bukan dari negara lain. Menurutnya, PSSI seharusnya meniru pola ini, bukan terus mengandalkan pemain naturalisasi.
Jangan menjadi Ironi
Ironi makin tampak ketika banyak atlet dari cabang lain justru terpaksa dipulangkan dari pelatnas atau batal ikut kejuaraan internasional karena efisiensi anggaran. Bagi Anton, alokasi anggaran harus dilihat dalam konteks keadilan sosial.
"Atlet wushu tidak jadi berangkat ke piala dunia, ke kejuaraan dunia, karena nggak ada anggarannya. Itu kan sama, atlet, sama anak bangsa juga," ungkapnya.
Anton mengaku tetap mendukung tim nasional melaju piala dunia, tetapi ia mengingatkan agar publik tetap memiliki pandangan kritis. Menurutnya, euforia keberhasilan tidak boleh menutupi kenyataan bahwa fondasi sepak bola masih lemah.
"Makanya saya selalu bilang bahwa dalam konteks keadilan sosial kita harus banyak belajar dari bangsa lain. Anggota-anggota DPR itu please-lah jalan ke negara-negara lain melihat bagaimana pengembangan olahraga itu secara global dibentuk lewat keadilan,” tutur Anton.
“Dari mulai grassroots, mulai pendidikan di sekolah sampai dengan level profesional semua bentuk atas dasar keadilan. Bukan menganak-emaskan cabang ini, cabang itu,"tambahnya.
Pentingnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Ukuran Jelas
Menanggapi alokasi dana sebesar 277 miliar yang digelontorkan pemerintah untuk mendukung Timnas menuju Piala Dunia, anggota Komisi X DPR RI, Fraksi Golkar, Ferdiansyah menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan ukuran yang jelas dalam penggunaan anggaran negara untuk mendukung Tim Nasional Sepak Bola Indonesia.
Ferdiansyah menyatakan meskipun tidak ada pembahasan khusus Bersama DPR terkait anggaran tersebut, pihaknya tetap mendukung semangat pemerintah dalam menjaga kehormatan bangsa melalui prestasi olahraga. Namun, ia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap implementasi dan pertanggungjawaban dana tersebut.
"Nanti apakah dengan Rp277 miliar itu yang kita harus klarifikasi kepada PSSI, itu sampai targetnya apa? Apakah hanya sekedar lolos piala dunia atau sampai babak-babak penyisian yang akan menjadi target-target yang memang ditetapkan tentu," ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (9/6/25).
Perlunya Audit
Ferdiansyah juga menyampaikan setiap tahapan penggunaan dana harus diawasi, termasuk bagaimana dana tersebut diimplementasikan dan dipertanggungjawabkan.
Ia menegaskan, karena dan ini berasal dari APBN, maka penggunaannya harus bisa diaudit oleh Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan DPR.
Ferdiansyah juga menyoroti perlunya sosialisasi kepada para pemain dan pelatih Timnas bahwa mereka bermain dengan menggunakan uang rakyat. Hal ini penting agar seluruh pihak memahami tanggung jawab yang melekat pada penggunaan dana negara.
Dia meminta agar PSSI mulai menghitung dampak sosial dan psikologis dari prestasi Timnas terhadap masyarakat. Menurutnya, kegembiraan publik atas keberhasilan Timnas juga merupakan bentuk pengembalian investasi yang harus diperhitungkan.
"Misalnya berasumsi dari 272 juta ini, misalnya ada 60% penduduk Indonesia, berarti tinggal dibagi saja, artinya itu membuat kegembiraan, membuat kebanggaan terhadap 60% penduduk Indonesia yang fanatik bola," katanya.
"Karena prinsip, menurut saya sih, mau berapapun anggaran, tapi target yang jelas, peruntukan yang jelas. Kalau tidak mencapai target konsekuensi pengguna anggaran itu apa? Jadi kan prinsip APBN itu kan transparan dan akuntabel. Nah itu yang harus kita cermati Bersama," tambahnya.
Pembenahan Sistem Pembinaan Dini Sepak Bola
Ferdiansyah turut mengkritisi sistem pembinaan sepak bola nasional yang dinilai masih sporadic, serta mendorong proses naturalisasi pemain dilakukan secara lebih terencana.
Ia menyarankan agar naturalisasi tidak dilakukan mendadak, tetapi dengan persiapan minimal enam bulan hingga satu tahun agar proses sosialisasi kepada publik bisa berjalan baik.
Terakhir, Ferdiansyah turut menekankan pentingnya ukuran keberhasilan yang jelas dalam setiap permintaan anggaran. Ia menyerukan agar tidak hanya PSSI, tetapi seluruh cabang olahraga menyusun target yang konkret dan terukur, serta siap menanggung konsekuensi jika tidak tercapai.
"Ketika menerima amanah, ya tentu punya konsekuensinya. Jadi kalau tidak mencapai target, ya harus berani mundur," tutupnya.
Baca juga:
- Laga Timnas Melawan Cina Jadi Pembuktian Kualitas Pemain Liga 1