NASIONAL

CISDI Dorong Tata Kelola yang Transparan Program Makan Bergizi Gratis

Pemerintah perlu memastikan program MBG tidak bertentangan dengan target atau program kesehatan yang sedang berjalan.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / R. Fadli

Makan Bergizi Gratis
Ilustrasi Gula. (Foto: Shutterstock)

KBR, Jakarta - Menanggapi munculnya sejumlah rencana kerja sama pemerintah dengan swasta dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), maka Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai, hal tersebut berpotensi memberi celah intervensi industri memasukkan pangan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL). Terutama bila program tersebut tidak dirancang dengan prinsip keterbukaan dan melibatkan publik secara bermakna.

“Kami mendorong proses pelaksanaan program yang transparan dan akuntabel untuk mencegah peluang intervensi industri pangan tidak sehat dalam program MBG. Pemerintah seharusnya melandaskan perencanaan dan pengembangan program MBG melalui kebijakan berbasis bukti dan bebas dari konflik kepentingan,” kata CEO dan Founder CISDI Diah S. Saminarsih dalam rilis tertulis yang diterima KBR Media (5/7/2024).

Demi memenuhi janji kampanye program MBG, Diah mengatakan pemerintahan periode baru harus benar-benar memprioritaskan kepentingan publik, terutama agenda-agenda pembangunan yang berkaitan dengan orang muda, kelompok rentan, hingga masyarakat adat. MBG adalah program andalan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan ada anggaran Rp71 triliun dalam RAPBN 2025 untuk program ini. Sejumlah pihak swasta hingga industri juga sudah mengujicobakan program ini dalam berbagai simulasi.

Persoalannya keterlibatan swasta ini bisa menjadi bumerang ketika program ini belum resmi berjalan. Karena belum adanya payung hukum, petunjuk pelaksanaan, atau panduan yang jelas, dikhawatirkan industri akan memasukkan produk tinggi gula, garam, lemak selama uji coba dengan alasan membantu mengatasi persoalan gizi.

Pemerintah perlu memastikan program MBG tidak bertentangan dengan target atau program kesehatan yang sedang berjalan, seperti menurunkan beban obesitas juga penyakit diabetes melitus tipe 2, yang salah satunya dipengaruhi tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

“Salah satu target pembangunan kesehatan yang mendesak dijalankan adalah membangun lingkungan pangan yang sehat,” ujar Diah.

Mengutip Survei Kesehatan Indonesia 2023, 47,5% masyarakat Indonesia masih mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari satu kali sehari. Kemudian, 91,3% masyarakat juga mengaku mudah mengakses minuman tinggi gula dan pangan olahan ultra. Pola konsumsi ini bisa terjadi karena belum adanya regulasi yang mengatur peredaran pangan tinggi GGL.

Diah mengatakan salah satu langkah menciptakan lingkungan pangan sehat adalah penerapan cukai MBDK. Saat ini, Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan sejak 2016 menyusun rencana pengenaan cukai MBDK. Namun, pengimplementasian kebijakan selalu ditunda.

“Beberapa studi dan riset CISDI menunjukkan, cukai MBDK efektif menekan konsumsi minuman tinggi gula. Karena itu, kami mengkhawatirkan masuknya industri pangan tinggi GGL dalam program MBG berisiko menghambat penerapan cukai MBDK dan pengendalian pangan tinggi GGL,” kata Diah kembali.

Diah menuturkan seharusnya program MBG mendorong kedaulatan dan diversifikasi pangan lokal agar berdampak langsung pada masyarakat. Kedaulatan pangan berkelanjutan harus memperhatikan lokalitas dan keselarasan ekologis.

“CISDI melihat masyarakat sipil, terutama pegiat gizi komunitas, populasi rentan, hingga masyarakat adat, seharusnya terlibat secara bermakna agar program MBG dapat mencapai tujuan meningkatkan status gizi generasi muda, untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” kata Diah kembali.

Diah menuturkan program MBG di satu sisi berpotensi mengatasi masalah kelaparan dan memastikan anak tidak putus sekolah. Namun, program ini bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi persoalan kesehatan dan beban gizi berlipat masyarakat.

“Jangan sampai program ini terasa memadamkan api di satu titik, tapi malah membiarkan api di titik lain masih menyala atau malah semakin besar,” katanya.

Berdasarkan catatan tersebut, CISDI mendorong pemerintah dan Tim Transisi Prabowo-Gibran untuk, pertama, mengkaji ulang kerja sama publik-privat dalam penyelenggaraan program MBG dengan menimbang aspek kesehatan masyarakat.

Kedua, menyesuaikan perencanaan dan penganggaran program MBG dengan konteks, lokalitas, target, serta sasaran dengan kompleksitas wilayah pelaksanaan program yang mendorong kedaulatan pangan lokal.

Ketiga, segera mengesahkan cukai MBDK dengan rasionalitas dan pertimbangan yang berbasis bukti tanpa adanya keterlibatan industri.

Keempat, mendorong mekanisme berkelanjutan yang memungkinkan masyarakat sipil atau aktor pembangunan non-pemerintah terlibat secara bermakna tanpa potensi konflik kepentingan.

Sementara itu, Komisi bidang kesehatan di DPR mendesak pemerintah menggencarkan sosialisasi batasan konsumsi gula, garam, dan lemah (GGL) di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR Darul Siska menuntut keseriusan pemerintah dalam menangani dengan serius untuk mengentaskan konsumsi GGL berlebih di masyarakat.

"Oleh karena itu kita minta agar pemerintah serius menanganinya. Perlu ada tim pengawas yang kemudian mendampingi dan sekaligus mengawasi kerja pemerintah. Bagaimana program-program tentang GGL ini bisa dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Karena ini akan berdampak bukan hanya pada kesehatan tetapi juga pada produktivitas bangsa kita dimasa yang akan datang," ujar Darul Siska dikutip dari TV Parlemen, Jumat (5/7/2024).

Darul mengatakan pada 2023 perawatan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh konsumsi GGL berlebih, menelan anggaran sebesar Rp32 triliun dalam setahun.

Baca juga:

DPR Desak Pemerintah Gencarkan Sosialisasi Konsumsi GGL

Biang Kerok Mahalnya Harga Obat di Indonesia

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!