NASIONAL

Biang Kerok Mahalnya Harga Obat di Indonesia

"obat impor itu akan sangat bergantung dengan nilai tukar mata uang asing dan juga dikenakan bea masuk"

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah, Hoirunnisa

EDITOR / Muthia Kusuma Wardani

obat
Ilustrasi obat (Foto by Freepik)

KBR, Jakarta- Kalangan DPR mendesak pemerintah segera mengambil langkah untuk mengatasi harga obat-obatan dan alat kesehatan di dalam negeri yang mahal. Anggota Komisi bidang Kesehatan DPR RI, Rahmad Handoyo mengatakan, tingginya harga obat disebabkan oleh buruknya tata kelola perdagangan obat dalam negeri. Salah satu buktinya yaitu rantai distribusi perdagangan obat yang panjang, sebelum sampai ke tingkat konsumen.

“Saya kira perlu ada pengendalian harga obat dengan diatur berapa keuntungan yang harus diberikan oleh produsen kemudian sampai distribusi sampai kepada penerima, pemakai, yang menjual terakhir sehingga dengan ditentukan harga-harga berapa persentase keuntungan yang diberikan saya kira suatu langkah yang bisa menjadi solusi untuk pengendalian harga farmasi itu,” ujarnya kepada KBR, Jumat (5/7/2024).

Anggota Komisi bidang Kesehatan DPR RI, Rahmad Handoyo mendorong pemerintah membuat regulasi untuk mengendalikan praktik mark up atau getok harga penjualan obat. 

“Saya kira harus ada referensi obat sejenis di negara lain, ini menjadi langkah yang positif karena aturan kebiakan ini saya kira juga sudah dilakukan negara-negara lain ya, baik menggunakan aturan mark up atau aturan pembagian keuntungan kemudian pengendalian harga dengan melihat referensi dari eksternal dari negara tetangga maupun negara lain, sehingga ketika terjadi perbedaan (harga) signifikan tentu pemerintah mengambil langkah-langkah terhadap produsen,” jelasnya.

Baca juga:

Di lain pihak, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyebut mahalnya harga obat di dalam negeri membuat biaya pelayanan kesehatan membengkak. Terutama untuk mengakses obat impor.

Wakil Ketua Pengurus Pusat IAI, Keri Lestari mengatakan, obat impor itu akan sangat bergantung dengan nilai tukar mata uang asing dan juga dikenakan bea masuk. 

Guna mengatasi persoalan tingginya harga obat impor, Keri mendorong pemerintah memberlakukan relaksasi pajak obat impor. Selain itu, pemerintah diminta memperkuat pengawasan tata kelola perdagangan obat di Indonesia melalui regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) di fasilitas kesehatan.

"Hanya saja jika ada obat paten baru yang diperlukan untuk pemutakhiran terapi dan belum ada produk serupa di Indonesia. Kita dapat melakukan pendekatan pada principal produsen obat inovasi ini untuk memberikan harga terbaik, seperti hal-nya di Malaysia dan Singapura. Lalu relaksasi pajak diberlakukan dan tata kelola di Indonesia juga diawasi dengan regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) di fasilitas kesehatan," ucap Keri kepada KBR, Jumat, (5/7/2024).

Ia juga mendorong masyarakat beralih ke obat yang lebih terjangkau, yakni obat generik atau jenis obat yang sudah habis masa berlaku hak patennya yang diproduksi dalam negeri.

Kemandirian

Masalah harga obat mahal ini dibahas di rapat kabinet terbatas pada pekan ini. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, harga obat di Indonesia mencapai lima kali lipat dibanding Malaysia dan Singapura. Menurutnya, mahalnya harga obat-obatan dan alkes di Indonesia karena adanya inefisiensi tata kelola perdagangan.

"Mungkin dari sisi jalur perdagangannya kita itu masih ada inefisiensi, tata kelolanya juga mesti dibikin lebih transparan dan terbuka. Sehingga tidak ada peningkatan harga yang unreasonable deh, atau unnecessary, dalam proses pembelian alkes dan obat-obatan itu. Lebih ke masalah tata kelola dan desain proses pembelian kita itu seperti apa," kata Budi kepada wartawan di Istana Negara, Selasa (2/7/2024).

kesehatan
Dokter dan tenaga kesehatan melakukan pemeriksaan medis menggunakan teknologi PET CT-SCAN di RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/6/2024).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi menambahkan, Presiden ingin agar industri kesehatan bisa meningkatkan kemandirian agar tak bergantung impor. Kemandirian layanan kesehatan bisa memperkuat ketahanan negara apabila kembali menghadapi pandemi seperti COVID-19.

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023, 1 dari seribu rumah tangga di Indonesia pernah berobat ke luar negeri. Malaysia menjadi tujuan terbanyak. Disusul Singapura, Arab Saudi dan Korea Selatan.

Presiden Joko Widodo mengatakan akibat banyak masyarakat memilih berobat di luar negeri, negara kehilangan potensi pendapatan hingga 180 triliun rupiah.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!