ragam
Viral Berujung Fatal: Bahaya Disinformasi Influencer

Influencer punya power, karena banyak follower. Model komunikasinya lebih disukai karena dekat dengan audiens.

Penulis: Tim Cek Fakta

Editor: Tim Cek Fakta

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Ilustrasi bahaya disinformasi influencer menampilkan wajah terbelah, dengan simbol like/love di satu sisi dan peringatan hoax/misinformasi di sisi lain, serta judul 'Viral Berujung Fatal'.

KBR, Jakarta - Kita hidup di era pemengaruh atau influencer. Suara mereka lebih dipercaya ketimbang pakar. Ini seiring berubahnya pola masyarakat mengkonsumsi informasi.

Media sosial menjadi medium favorit warganet untuk hampir semua hal. Hanya dengan gawai di genggaman, orang mudah terhubung satu sama lain, memberi pengalaman yang sifatnya lebih personal.

Di ekosistem inilah, influencer punya power, karena banyak follower. Model komunikasinya lebih disukai karena dekat dengan audiens.

Hal itu disadari Eky Priyagung, influencer di Instagram dengan 120 ribu pengikut.

“Saya tahu tiap opini orang bahkan yang followers biasa pun itu punya influence. Apalagi jika dititipkan followers sebanyak itu,” ungkap Eky kepada KBR.

Eky menyaring ketat tiap konten yang dibagikan. Apalagi jika ia tak banyak paham dengan topik yang dibahas.

“Biar topik yang ke-bahas ini sesuai dengan apa yang diberitakan, ada sumber yang jelas. Aku lumayan hati-hati, sih. Kalau yang di luar kepakaranku, bahkan yang aku tahu pun, kadang aku mengutip kata-kata seseorang biar kesannya aku pun baru belajar,” katanya.

Cara ini untuk mencegah disinformasi tersebar lewat akunnya. Jangan sampai Eky bernasib sama dengan sebagian influencer yang terjerat masalah hukum.

“Mengecek sumber dan konteksnya, nggak cuman di satu sumber. Tanya ahli, baca riset data kalau diperlukan,” tambahnya.

Beberapa tahun lalu, sejumlah influencer diperkarakan karena membagikan informasi keliru lewat akun media sosialnya. Salah satunya musisi Anji yang pernah diproses hukum di Polda Metro Jaya karena diduga menyebarkan hoaks.

Kasus influencer Doni Salmanan, termasuk yang menghebohkan publik.

Doni divonis 4 tahun penjara dan diperberat menjadi 8 tahun karena terbukti sengaja menyebarkan hoaks tentang investasi bodong. Akibat unggahannya, banyak korban merugi karena terjerat binary option yang menyerupai judi online.

Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum bilang, kepercayaan publik yang besar terhadap influencer, kerap tak diimbangi dengan digital literacy dan etika bermedia sosial.

“Namanya influencer ya tugas mereka itu meng-influence atau memengaruhi orang-orang yang mengikutinya, untuk memercayai apa yang mereka katakan, mereka sampaikan, mereka bagikan dan tentu saja ini menjadi sangat berbahaya,” kata Nenden kepada KBR.

Survei UNESCO menunjukkan, 62% influencer tak memverifikasi konten sebelum membagikannya. Ini berisiko fatal karena mereka bisa menyebarkan misinformasi, hoaks, bahkan propaganda.

Sulit dibantah, sebagian influencer berorientasi profit, sehingga rentan menjadi saluran disinformasi berbayar.

“Mereka bisa dengan mudah, misalnya diminta endorse sesuatu, mau itu informasi, produk, selama cocok bayarannya. Itu juga bisa menjadi loophole untuk menjadi strategi penyampaian misinformasi-disinformasi atau bahkan propaganda,” ujar Nenden.

Dua sisi

Keberadaan influencer ibarat dua sisi mata uang, bisa berdampak negatif atau positif.

Influencer Eky Priyagung memanfaatkan pengaruhnya untuk mengungkap kasus kekerasan seksual di Makassar, Sulawesi Selatan yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh ustaz S. Eky merupakan salah satu korban, saat berusia belasan tahun. Ia membuat konten di medsos tentang kasus ini dan mendapat atensi publik.

“Pada dasarnya, korban kekerasan seksual itu malu untuk ngomong. Pun kalau dia berani ngomong, minta ditutup-in identitasnya. Bayangin, ini tuh aneh banget. Kita yang jadi korban, kita nggak salah, tapi kita yang malu. Gue juga dulu malu sih. Makanya gue pengen speak up dengan keren. Jadi buat yang mau speak up, jangan kau takut. Sama-sama kini,” kata Eky di konten media sosialnya.

 Ustaz S kemudian diadili dan divonis 11 tahun penjara. 

Gue baru tahu, hal yang gue lakukan kemarin itu ternyata semulia itu gue gak bermaksud," ungkap Eky.

Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum bilang, influencer juga dapat berperan sebagai edukator untuk mencegah atau menangkal disinformasi.

“Aku selalu bilang influencer itu punya resource karena dia punya banyak duit, punya banyak followers, punya banyak staf misalnya, yang mereka itu sebenarnya bisa dengan mudah mencari informasi, belajar, bahkan mereka bisa disuapin informasi tersebut oleh stafnya,” kata Nenden.

Sayangnya, peran ini bergantung pada kemauan si influencer.

“Balik lagi ke bagaimana sebetulnya willingness mereka untuk cari informasi yang benar, atau bagaimana willingness mereka untuk meningkatkan skill dan knowledge mereka terkait isu seperti ini. Jadi kadang, mau mekanismenya seperti apapun kalau memang tidak ada willingness dari si influencer-nya ini juga akan jadi sulit,” tambah Nenden.

Soal ini, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, bilang influencer seyogyanya punya tanggung jawab sosial.

“Karena konten mereka buat, yang mereka sebarkan itu bisa berdampak lebih kepada masyarakat, karena risiko yang bisa tinggi,”ujar Septiaji kepada KBR.

Ia mengusulkan ada kode etik influencer, sebagai standar minimal saat mengunggah konten.

“Sebagaimana teman-teman jurnalistik, kan, mereka sudah dilatih, sudah mengikuti training, kelas-kelas jurnalistik tentang kode etik jurnalistik. Nah, influencer saya rasa perlu juga mendapatkan kenaikan level, sehingga mereka punya standar minimal sebagai influencer yang baik. Minimal mereka tahu ABCD-nya seperti apa,” imbuh Septiaji.

Saatnya Atur Influencer?

Pemerintah sedang menimbang sertifikasi untuk influencer guna mencegah penyebaran disinformasi.

Di China, praktik ini sudah diterapkan. Influencer di negara itu tak bisa sembarangan membuat konten untuk topik sensitif, seperti kedokteran, hukum, pendidikan, atau keuangan. Mereka wajib mengantongi sertifikat di bidang terkait terlebih dulu.

Gagasan ini didukung Eky Priyagung, influencer di Instagram dengan 120 ribu pengikut.

“Kepakaran tetap diberikan sertifikasi sehingga ketika mereka yang ngomong, kita tahu ini yang ngomong sertifikasinya jelas. Tapi yang tiba-tiba jadi pakar, kalau mereka ngomong mesti dipertanggungjawabkan, boleh-boleh aja sih. Jadi sertifikasi ini salah satu cara untuk memverifikasi omongan dia,” jelas Eky

Namun, Eky mewanti-wanti, jangan sampai influencer tak bersertifikat, serta-merta dihilangkan haknya untuk bersuara.

“Kalau ada orang yang ngomon, terus ternyata dia juga kutipannya jelas, walaupun dia gak punya sertifikasinya, kan, juga bisa kita dengar. Jadi ini (sertifikasi) pun gak aku tolak, tapi juga yang kemarin-kemarin yang ngomong bukan berarti haknya dicabut,” ujarnya.

Hal yang sama juga menjadi catatan Co-Founder & Fact-Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Aribowo Sasmito.

“Soal Tiongkok atau China mewajibkan influencer untuk punya semacam sertifikasi. Di satu sisi memang itu bagus,” kata Aribowo

“PR besarnya adalah memang harus mencari keseimbangan antara tidak terlalu ketat sampai memberangus kebebasan orang untuk berbicara dan berekspresi,” tambahnya.

Aribowo menekankan influencer perlu diberi rambu-rambu untuk mencegah penyebaran disinformasi.

“Yang paling bahaya itu di masa Covid. Itu ujung-ujungnya nyawa dan itu memang terbukti di beberapa negara, ada klaim-klaim dibilang ini bisa ngobatin, itu bisa ngobatin dan pas dikonsumsi ternyata ya benar-benar meninggal. Mending kalau cuma 1 atau 2 orang jumlahnya, ada yang sampai puluhan. Jadi itu salah satu efek terbesar namanya real world danger, bahaya di dunia nyata,” ujarnya.

Selama belum ada aturan jelas, publik perlu waspada dan cermat saat mengonsumsi konten yang diunggah influencer. Ingat! Sebagian influencer mencari cuan dengan mempromosikan produk atau jasa.

“Biasanya ada bumbu-bumbu tertentu yang akan bikin orang tertarik. Misalnya kosmetik, produk pemutih kulit, (dia) menjanjikan sesuatu yang hasilnya cepat, nggak usah nunggu terlalu lama dan akan bekerja," jelas Aribowo.

"Atau kalau ngomongin investasi, klaimnya bombastis, jumlah uangnya banyak, tidak perlu waktu terlalu lama untuk bisa kembali dan mendapatkan keuntungan. Jadi itu masuk ke aspek too good to be true, terlalu bagus untuk jadi kenyataan,” imbuhnya. 

Disinformasi dan hoaks yang disebarkan influencer bisa memakan korban. Ada yang rugi jutaan atau milyaran rupiah karena terjebak promosi investasi bodong.

Disinformasi juga kerap digunakan untuk tujuan politik. Dampaknya tak kalah signifikan, bisa sampai mengancam keselamatan jiwa. Misalnya, isu SARA yang diamplifikasi oleh influencer, dapat menyulut huru-hara.

Industri pemengaruh

Industri influencer kian berkembang. Mereka dibayar untuk memengaruhi massa dengan tujuan tertentu. Karenanya, publik perlu skeptis dengan konten-konten yang diunggah influencer, kata peneliti dari Monash University Indonesia, Ika Idris.

“Apa sih influencer industry? Ini kan sebenarnya adalah jaringan baik nasional maupun global. Itu yang memang menjual strategi atau aktivitas-aktivitas untuk memengaruhi audiensbaik untuk misalnya politik, pemasaran, (untuk) memengaruhi opini, men-shape opini, atau memengaruhi wacana, diskursus publik tentang sebuah isu, atau tentang isu-isu geopolitik,” kata Ika kepada KBR.

Gula-gula bisnis pemengaruh menarik kreator berlomba-lomba membuat konten viral. Segala cara digunakan demi view, likes, dan engagement.

“Kalau semakin banyak yang engage, semakin banyak views, semakin banyak komentar, nanti dia akan dapat uang dari situ. Akhirnya orang-orang memanfaatkan bagaimana agar informasi-informasi ini terus engaging. Dimanfaatkan juga yang punya kepentingan untuk memengaruhi opini publik, diskursus publik, untuk memengaruhi barangkali pilihan-pilihan publik, Jadi itu satu pengaruhnya adalah bisnis model media,” ujarnya.

Strategisnya peran influencer makin diakui di dunia komunikasi publik. Mereka banyak didekati pebisnis, politisi, hingga pejabat pemerintah, untuk membantu memoles citra positif dan menggiring wacana publik.

"Dari dulu kan kita sudah melihat misalnya ada pejabat-pejabat yang kalau dia masuk media massa, seolah-olah dianggap berprestasi. Nah, sekarang tempatnya berbeda, tempatnya adalah di platform. Jadi ada kepentingan untuk menguasai diskursus publik,” ungkap Ika.

Operasi serupa berlangsung di level global. Influencer menjadi pemain dalam arena persaingan geopolitik antarnegara.

“Ada juga kepentingan membangun citra di tengah perang atau geopolitical rivalry setelah persaingan global. Kalau yang dulu seolah-olah negara superpower itu adanya di US dan Western. Sekarang mulai ada emerging power yang dia berusaha membangun citranya bahwa dia juga punya kuasa, dia juga punya investasi yang besar, dia juga negara yang hebat, dan bermunculan juga di platform-platform media sosial,” tuturnya.

Siapa dirugikan? Lagi-lagi rakyat jelata, mereka yang paling rentan, minim sumber daya, yang bakal menjadi korban.

“Publik menjadi bingung dan sulit membedakan mana yang benar dan salah. Individu yang sudah memiliki kecenderungan ideologis atau politik tertentu akan semakin terjebak dalam pandangan sempit karena terus terekspos pada konten yang memperkuat keyakinannya. Akibatnya, masyarakat menjadi terpolarisasi dan pandangan ekstrem semakin menguat,” kata dia.

Influencer menjadi aset baru yang mempertegas kesenjangan sosial. Media sosial dan ruang publik berisiko dibanjiri disinformasi maupun hoaks, oleh mereka yang menguasai pemengaruh.

“Hal ini berbahaya bagi demokrasi, karena menghambat transparansi dan ruang debat publik yang sehat, sehingga yang tampak baik di permukaan bisa jadi hanyalah hasil dari manipulasi informasi dan pengendalian opini publik.” tegas Ika.

Para follower tanpa sadar ikut menyebarkan disinformasi, hoaks, hingga propaganda. Lambat laun, kebohongan bisa dianggap sebagai kebenaran.

“Konten itu menggugah emosi, sehingga orang mau ikut membagi, berkomentar, memviralkan, atau ikut mem-posting video-video yang mengukuhkan narasi yang sedang dibangun,” tambahnya.

Ika menekankan kesadaran kritis dan literasi media sosial penting untuk membentengi diri dari terbawa arus banjir informasi. Jangan sampai kita menjadi korban sekaligus pelaku penyebaran disinformasi dan hoaks.

“Kalau kita baca informasi, atau kita menerima informasi, kita harus tahu bahwa dari informasi itu akan ada orang-orang yang diuntungkan. Baik diuntungkan secara ekonomi, ataupun diuntungkan secara non-ekonomi, misalnya politik, atau dia dapat reputasi. Nah pertanyaannya adalah dri informasi itu siapa yang diuntungkan? Dan apakah kita mau turut memberikan benefit ke orang itu, atau ke pihak tersebut?” pungkas Ika.

Baca juga:

- Sri Mulyani Korban Deepfake, Bagaimana Deteksi dan Antisipasi Video Palsu? 

- Narasi 'Antek Asing' di Demonstrasi Tolak Tunjangan DPR, Fearmongering dan Upaya Delegitimasi Aspirasi Publik

Anda dapat mendengarkan podcast Cek Fakta berjudul "Viral Berujung Fatal: Bahaya Disinformasi Influencer" yang didukung Internews melalui tautan beikut:

hoaks
hoax
influencer
viral


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...