KPAI menegaskan rasa keprihatinan mendalam terhadap insiden yang terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi seluruh siswa dan tenaga pendidik.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kejadian berulang kasus perundungan atau bullying semakin hari kian terdengar nyaring di tengah masyarakat. Teranyar, peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta hingga meninggalnya seorang siswa SMP di Tangerang Selatan menjadi contoh kasus yang menimbulkan kecemasan di publik.
Serangkaian peristiwa yang timbul berdampak terhadap anak yang terluka, bahkan hilang nyawa. Korban berasal dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari jenjang SD sampai SMA, tak luput dari kekerasan baik fisik maupun psikologis dari teman-temannya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan merasa prihatin dengan kasus demi kasus perundungan atau bullying yang terjadi di satuan pendidikan. Padahal, kata dia, sudah ada Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 yang mengatur soal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang salah satunya mencakup perundungan atau bullying.
“Semestinya kalau itu dilakukan dengan baik, maka praktik-praktik kekerasan bisa dicegah. Para pihak semestinya tidak memberikan toleransi sekecil apapun terhadap praktik bullying,” ujar Kawiyan dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (17/11/2025).
Permendikbudristek ini, lanjutnya, semestinya bisa diterapkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi semua warga sekolah dengan melibatkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah dan Satuan Tugas (Satgas) di tingkat daerah.
Lebih lanjut, Kawiyan menyoroti pentingnya sekolah untuk mengingatkan siswa setiap hari mengenai larangan kekerasan, termasuk yang berwujud verbal seperti body shaming.

Kasus Perundungan yang Menyita Perhatian Publik
Fenonema gunung es kasus perundungan terjadi di Tanah Air. Insiden ledakan di SMAN 72, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, pada 7 November 2025 diduga berawal dari kasus perundungan yang menimpa seorang siswa. Ledakan itu menyebabkan puluhan siswa mengalami luka-luka dan harus dirawat di RS.
Selain di SMAN 72 Jakarta, KPAI turut menyoroti kasus dugaan perundungan di salah satu SMP di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Seorang siswa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa teman sekelasnya di toilet sekolah. Korban terlihat dipukul dan diejek, sementara siswa lain hanya menonton tanpa berusaha melerai.
Kasus perundungan terhadap siswa juga terjadi di SMPN 19 Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Siswa berinisial MH (13) kelas 7 meninggal, usai menjadi korban perundungan oleh teman di sekolahnya. MH, diduga sempat mengalami perundungan oleh rekannya, dengan dipukul kursi.
Berapa Jumlah Kasus Bullying di Satuan Pendidikan?
Berdasarkan catatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, terdapat 1.052 kasus pelanggaran hak anak yang diterima sepanjang tahun 2025.
Faktanya dari jumlah tersebut, sebanyak 16 persen atau 165 kasus yang dilaporkan ke KPAI terjadi bukan di tempat anak bermain, bukan juga di tempat anak-anak lepas dari pengawasan, melainkan berada di tempat yang seharusnya aman yakni sekolah.

Atensi Presiden
Presiden Prabowo Subianto merespons berbagai kasus perundungan (bullying) siswa yang terjadi di lingkungan sekolah dan meminta agar hal tersebut diatasi.
Hal itu disampaikan Presiden Prabowo setelah menyampaikan sambutan dan menghadiri peluncuran digitalisasi pembelajaran untuk Indonesia Cerdas di SMP Negeri 4 Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/11/2025).
"Ya, (perundungan) itu harus kita atasi ya," kata Prabowo menjawab singkat pertanyaan awak media soal banyaknya kasus perundungan yang terjadi.
Keprihatinan Mendalam
KPAI menegaskan rasa keprihatinan mendalam terhadap insiden yang terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi seluruh siswa dan tenaga pendidik.
“Tentu yang tidak boleh kita lupakan bahwa kita harus merasa prihatin karena kejadian atau peristiwa itu justru terjadi di lingkungan sekolah,” kata Kawiyan.
Sementara itu, ia menjelaskan bahwa sistem pidana anak tidak bersifat menghukum secara retributif.
“Pemidanaan terhadap anak itu sifatnya adalah pembinaan. Hak-hak untuk pendidikan, makan cukup, berkreasi tetap diberikan,” terang Kawiyan.
Menurut Kawiyan, anak yang menjadi pelaku perundungan tetap dikategorikan sebagai korban. Itu sebab, ia menekankan bahwa anak yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua dapat menjadi korban keadaan.
“Jika anak tersebut berjalan sendiri tanpa bimbingan, tanpa pengasuhan yang berarti maka anak tersebut sesungguhnya menjadi korban. Korban apa? Korban keadaan,” jelasnya.

Apa Masalah Akar Perundungan?
Psikolog Anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto menilai penyebab utama maraknya kasus perundungan karena faktor pembiaran dan ketidakpedulian dari orang tua, guru hingga dinas pendidikan di daerah.
“Tetapi beberapa kasus yang kemudian juga kami tangani, kami terjun ke sekolah, itu cenderung adanya tadi pembiaran. Bahkan beberapa orang tua ada yang mengatakan, ‘ah namanya juga anak-anak’, ‘jangan terlalu cengeng’, sedikit berantem, sedikit diejek, dan sebagainya itu enggak apa-apa, dan sebagainya, ”kata Kak Seto dalam program Ruang Publik yang disiarkan di Youtube KBR Media, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, faktor-faktor tersebut membuat tindakan bullying semakin subur terjadi karena ketidakpedulian sesama.
Kak Seto mengatakan peristiwa kekerasan terhadap anak semestinya tidak terjadi di lingkungan sekolah yang menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang.
“Ada aturan Undang-Undang Perlindungan Anak tegas mengatur soal hak anak yang wajib dilindungi dari berbagai tindak kekerasan di lingkungan sekolah,” terangnya.
Dampak Psikis kepada Anak
Psikolog klinis, Feka Angge Pramita menjelaskan bahwa dampak psikologis terkait peristiwa perundungan cukup luas. Menurutnya, tidak hanya luka fisik tetapi juga menimbulkan trauma yang membekas bagi para korban.
Ia mencontohkan, peristiwa ledakan di SMAN 72 bisa menyebabkan anak yang menjadi pelaku membutuhkan intervensi secara psikis hingga 5-10 tahun. Intervensi dapat berupa konseling individual, konseling keluarga, hingga terapi seperti EMDR ((Eye Movement Desensitization and Reprocessing) dan CBT (cognitive behavioral therapy).
“Karena kita kan tidak mau bahwa si pelakunya akan tetap berulang ataupun si anaknya akan terpuruk dalam efek jangka panjang dari kejadian ini,” ujar Feka dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (17/11/2025).
Menurutnya, diperlukan kolaborasi antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat untuk memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, baik secara fisik, sosial, maupun digital.
Lebih lanjut, Feka menjelaskan bahwa masyarakat yang kerap mendengar peristiwa terkait perundungan di sekolah, rentan merasakan efek psikologis.

Peran Guru Identifikasi Perilaku Bullying
Feka menggarisbawahi bahwa guru harus mampu mengenali dan mengoreksi perilaku bullying peserta didik yang janggal di sekolah.
“Intervensi itu nggak bisa individunya saja, tapi butuh sistemik. Butuh langsung on the spot. Eh kamu salah loh, gitu ya. Jadi misalkan udah dengar gurunya, oh ada yang body shaming, eh lu ini loh, itu kekerasan loh, gitu ya,” jelasnya.
Menurutnya, tanpa pengulangan dan bimbingan yang konsisten, remaja cenderung mengulangi kesalahan.
Secara psikologis, Feka menekankan teori Bronfenbrenner bahwa anak dipengaruhi mikrosistem (keluarga, sekolah) dan makrosistem (lingkungan sosial yang lebih luas).
“Anak tidak bisa berdiri sendiri. Komponen-komponen tadi itu punya dampak terhadap dirinya”, kata Feka.
Ruang Diskusi Anak dan Remaja
Feka menambahkan, bahwa anak dan remaja membutuhkan pendampingan bukan melalui larangan semata, tetapi dengan ruang dialog yang sehat. Namun, banyak anak dan remaja enggan bercerita pada orang tua karena takut dimarahi.
“Sebagian besar remaja itu sangat tidak nyaman sebenarnya bicara dengan orang tuanya, karena kalau ngobrol itu akan dimarahin,” katanya.
Feka menyebut bahwa fase remaja adalah masa pencarian jati diri, sehingga mereka sangat dipengaruhi lingkungan.
“Di usia remaja, mereka sedang mencari jati diri sehingga perlu adanya ruang untuk berdiskusi dan diterima,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Ujian Berat Komisi Reformasi Polri Bentukan Prabowo
- Usai Diselamatkan, Nasib Bayi Korban Perdagangan Kini Terkatung-katung




