ragam
Dari Rp1000 jadi Rp1, Siapkah Indonesia Redenominasi?

Wacana redenominasi rupiah disinggung Menkeu Purbaya, di tengah tantangan kondisi ekonomi, siapkah Indonesia menyederhanakan mata uang?

Penulis: Dita Alya Aulia

Editor: Valda Kustarini

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Deskripsi tidak tersedia.
Redenominasi bakal menyederhanakan nominal mata uang rupiah dengan menghapus tiga nol. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta – Di tengah kondisi ekonomi dalam negeri yang menantang, rencana redenominasi rupiah menjadi pro-kontra di masyarakat. Secara singkat redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang dengan cara mengurangi jumlah digit pada nominal, tanpa mengubah daya beli atau nilai riil uang tersebut. Namun, siapkah Indonesia menerapkan redenominasi?

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Nauli Aisyiyah Desdiani, menyambut baik kebijakan penyederhanaan nilai mata uang tersebut. Alasannya, perekonomian Indonesia ia nilai sudah terlalu inefisien, salah satunya dalam segi pencatatan transaksi. Perputaran uang yang cepat akibat kemudahan infrastuktur dapat menyulitkan pencatatan, apalagi nominal terbesar rupiah di angka Rp100.000.

“Misalkan GDP, saldo bank, dan lainnya. Sehingga banyak menyulitkan berbagai pihak karena software itu kan biasanya hanya mampu mencatatkan 11 digit angka,” ujar Nauli pada KBR.

Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia menjadi mata uang kedua yang memiliki pecahan uang dengan nominal besar, di bawah Vietnam yang memiliki pecahan Rp500.000 dalam bentuk uang kertas.

Banyaknya jumlah nol membawa sentimen negatif untuk mata uang, apalagi saat ini nilai tukar rupiah masih lemah, yaitu Rp17.000 per 1 Dollar Amerika. Redenominasi diharapkan bakal meningkatkan kredibilitas rupiah, sehingga investor asing mau berinvestasi.

“Kalau berhasil, maka investor akan mau melakukan investasi ke Indonesia, sehingga capital inflow akan naik, dan ini akan menjaga stabilitas nilai tukar kita.,” kata Nauli.

Nauli optimistis redenominasi bisa dilakukan, sebab perekonomian Indonesia cenderung stabil dan di pertumbuhan 5-6%. Inflasi 2,5% di dalam negeri juga masih dihitung rendah. Nauli memberi contoh, salah satu negara yang gagal, Zimbabwe. Menurutnya negara di Afrika itu tak dapat menjalankan kebijakan redenominasi sebab inflasinya mencapai dua digit, meski makroekonominya terbilang stabil.

Meski begitu, ada hal yang perlu diperhatikan justru kestabilan politik. Menurutnya, munculnya gejolak politik juga berimplikasi pada kepercayaan investor.

Nauli juga mewanti-wanti pemerintah terkait sistem transisi, sebab redenominasi tak murah, persiapannya harus dihitung secara matang.

“Pemerintah itu perlu membangun infrastruktur digital yang lebih baik lagi, terutama di daerah kawasan Indonesia Timur, di mana saat ini kualitas sinyal internet di daerah-daerah Maluku, Papua, itu kan masih terbatas, belum 5G, segala macam,” tuturnya.

Deskripsi tidak tersedia.
Bahan makan menjadi salah satu penyumbang inflasi saat ini, dan berpotensi meningkatkan inflasi ke depan. (Foto: ANTARA)
Advertisement image

Baca Juga: 

Ujian Berat Komisi Reformasi Polri Bentukan Prabowo


Indonesia Masih Belum Siap Redenominasi

Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai Indonesia belum siap melakukan penyederhanaan nominal mata uang, sebab kondisi ekonomi dalam negeri belum stabil. Hal ini terlihat dari daya beli masyarakat yang menurun dan nilai tukar rupiah yang masih lemah.

Ongkos redenominasi juga dinilai Huda tidak murah, biaya cetak uang dan infrastruktur pendukung kebanyakan akan dibebankan ke masyarakat dan swasta. Itu sebab, pemerintah harus memikirkan dengan matang keputusan ini.

“Ada biaya yang tidak sedikit bahkan bisa mencapai ratusan miliar yang ditanggung oleh ekonomi kita baik sektor publik maupun sektor swasta,” ujar Nailul.

Saat negara melakukan redenominasi, pecahan uang lama tak serta-merta ditarik dari peredaran. Masa transisi jadi titik krusial karena bisa menciptakan peningkatan inflasi akibat terlalu banyak uang beredar di masyarakat.

Menurut Nailul, perbedaan pemahaman masyarakat antara satu daerah dengan lainnya soal redenominasi juga dapat memicu inflasi.

“Masyarakat di Jakarta mungkin lebih gampang namun bagaimana di luar Jakarta pemahaman yang berbeda ini bisa menimbulkan kenaikan harga dan daya beli kemudian semakin tertekan,” katanya.

Redenominasi Bukan Sanering

Wacana penerapan redenominasi rupiah bukan hal baru, kebijakan ini sempat disinggun sejak 2010, namun belum terealisasi karena berbagai pertimbangan. Kini, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, rencana tersebut kembali dibahas.

Namun, tak sedikit masyarakat yang khawatir redenominasi akan berujung menjadi Sanering yang terjadi di Orde Lama.

Di era Presiden Soekarno, sanering adalah kebijakan pemotongan nilai uang yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat inflasi yang sangat tinggi atau hiperinflasi.

Saat sanering berlaku, daya beli masyarakat menurun karena nilai uang dikurangi, sementara harga barang tetap sama. Hal ini membuat masyarakat mengalami kerugian karena uang yang dimiliki menjadi kurang bernilai.

Tujuan sanering berbeda jauh dari redenominasi, yaitu untuk menekan inflasi yang melonjak tajam dan memperbaiki kestabilan ekonomi dalam situasi krisis. Kebijakan ini umumnya dilakukan secara mendadak tanpa masa transisi, karena diterapkan pada kondisi ekonomi yang tidak sehat.

Baca Juga:

Redenominasi
Rupiah
Sanering
Menteri Ekonomi
Purbaya Yudhi Sadewa


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...