“Ya susah banget. Setiap hari pokoknya selalu mikir bagaimana buat makan.”
Penulis: Nurika Manan
Editor: Wahyu Setiawan, Ninik Yuniati, Malika

KBR, Bojonegoro - Rumah Pariyem tak jauh dari proyek minyak dan gas (migas) Jambaran Tiung Biru di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem. Desanya di Ngadiluwih, masuk ring 2 atau berbatasan langsung dengan zona eksplorasi migas yang dikelola PT Pertamina Cepu itu.
Yang bisa Pariyem rasakan, cuaca di sawah kian panas semenjak ada proyek tersebut.
“Ya biasa-biasa saja. Dampaknya malah sekarang panas. Dulu tidak seberapa, sekarang ada pabrik migas malah terasa panas. Sejak jam 9 pagi sudah panas. Warga yang lain juga mengeluh hal yang sama,” kata Pariyem saat kami berkunjung ke rumahnya, belum lama ini.
Bagi Pariyem, ada-tidaknya migas tak berdampak apa pun terhadap kondisi dapurnya. Hidupnya kian hari kian sulit.
Jagung yang dia tanam, seringkali gagal panen. Kalaupun ada hasilnya, tak dibeli dengan harga layak oleh tengkulak.
“Panen biasanya dapat 1 ton, kemarin dapatnya cuma 5 kuintal separuh. Seringnya gagal panen. Kadang dimakan ular, hamanya kan banyak petani itu,” cerita Pariyem.
Kami menemui Pariyem jelang sore hari. Ruang tamunya berlantai tanah, kami duduk di atas tikar mendengarkan cerita perempuan 49 tahun itu.
Saban hari, Pariyem bertani. Menanam di lahan sekitar 250 meter persegi. Keluar modal sekitar Rp500 ribu. Jika panen baik, bisa mengantongi sejuta. Hasilnya untuk hidup selama empat bulan ke depan.
“Kalau panen ya kadang bisa untung, kadang ya rugi. Lebih banyak ruginya. Jadi ya dicukup-cukupkan, biar cukup. Jangan sampai habis,” keluhnya.
Penghasilan dari bertani jelas tak cukup. Pariyem harus hidup ngirit. Saat tak panen, dia ke kandang mengurus ternak. Dulu punya dua ekor sapi, namun yang satu ia jual untuk menambal hidup.
“Ya kerjaan saya kan sambil memelihara sapi. Ya beternak, juga bertani. Kalau tidak begitu, ya tidak bisa hidup,” tuturnya.
Pariyem sempat merantau ke Jakarta, mengadu nasib bekerja di pabrik. Pada 2001, ia pulang ke Bojonegoro untuk menikah.
Dulu, masih ada dua orang yang mencari nafkah. Namun, sejak suaminya sakit, dia kini menjadi tulang punggung keluarga.
“Sekarang kan kakinya sakit. Itu karena asam urat. Sudah disuntik dan dipijat, ya belum sembuh juga,” ungkapnya.
“Karena bapak kan sudah enggak bisa kerja apa-apa. Dulu ya nyangkul kan, misalnya buruh panen pari sehari bisa dapat Rp100 ribu kan lumayan. Sedangkan sekarang bapak fisiknya sudah tidak kuat,” keluh Pariyem.

Sebagaimana warga lainnya, Pariyem dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dan berbagai dilema, lalu dipaksa menyelesaikan semuanya sendiri. Anaknya pun susah payah cari kerja. Yang ada di benaknya, semoga besok masih bisa makan.
“Penginne ya bahan kebutuhan pokok turun, jangan mahal-mahal. Jadinya orang kecil kayak gini kan bisa beli, tidak kekurangan. Terus hasil petani kan jualnya mahal, jadi kan cukup buat kebutuhan sehari-hari,” kata dia.
Baca juga: Data Kemiskinan Indonesia Berbeda, Nasib Jutaan Rakyat Terancam
Pariyem adalah potret warga di Kecamatan Ngasem yang hidup jauh dari sejahtera. Kecamatan itu menjadi salah satu kantong kemiskinan terbesar di Bojonegoro. Padahal, dekat dengan proyek migas yang jadi andalan nasional.
Di sektor migas, Kabupaten Bojonegoro menopang sekitar 25 persen kebutuhan minyak nasional. Dengan begitu, dana bagi hasil yang diperoleh mencapai triliunan rupiah.
Pada tahun ini saja, kucuran dana bagi hasil hampir menyentuh Rp2 triliun. Selama tujuh tahun terakhir, total angkanya menembus Rp14 triliun rupiah. Dengan duit sebesar itu, Bojonegoro masih saja berkutat dengan masalah kemiskinan.
Sambil Jual Tikar
Supatmi baru saja membetulkan posisi anyaman tikar di atas tanaman perdu di halaman rumahnya di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo. Cuaca terik hari itu memang pas untuk jemur-menjemur.
Ia menerima kami di depan rumah. Meja dan kursi panjang di ruang tamunya penuh sesak dengan barang-barang. Bangunan rumahnya berdinding kayu, berlantai tanah, di pintunya ada semacam pagar buatan sendiri dari kayu yang dijajar tegak-lurus.
Sebagian yang bertamu ke rumahnya akan segera tahu, Supatmi termasuk salah satu penerima bantuan sosial. Di dinding rumahnya, ditempel stiker yang mulai memudar bertuliskan "Keluarga Pra Sejahtera Penerima Bantuan Sosial".
“Iya belum cukup. Beras sepuluh kilo kalau dimakan sebulan, dua bulan, ya tidak cukup,” keluh Supatmi.
Sejak kecil Supatmi tinggal di Desa Napis. Dalam peta sebaran Data Mandiri Kemiskinan Daerah Damisda Bojonegoro, desa itu berwarna merah. Artinya, masuk kategori kemiskinan tinggi.
Desa ini masuk Kecamatan Tambakrejo–salah satu kecamatan yang bertahun-tahun menjadi langganan tiga besar kantong kemiskinan di Bojonegoro. Tercatat 3.545 rumah tangga miskin pada 2025.
Rumah yang ia huni puluhan tahun itu tinggalan orang tuanya. Kini diisi bertiga, dengan anak bungsu dan menantu. Belakangan, ada dua anak kucing yang ikut meramaikan rumah mereka.
Duduk di atas karung sak berisi jagung, ia mengeluh setengah bertanya: mengapa sejak dulu hidupnya seperti tak kunjung berubah. Ia merasa, berkutat pada kewalahan demi kewalahan mencukupi kebutuhan harian.
“Ya, selama hidup saya, saya selalu berpikir mencukupi kebutuhan harian. Ketika suami saya sudah ataupun sebelum suami meninggal, saya ambil kerja apa saja,” kata Supatmi.
Suaminya meninggal pada 2013 karena stroke. Mau tak mau, ia menjadi orang tua tunggal.
“Suami saya meninggal saat anak-anak masih kecil.”
Keruwetan ekonomi membuat anak-anaknya tak lagi bisa melanjutkan sekolah. Si sulung tamatan sekolah dasar (SD), sementara anak keduanya sekolah menengah pertama (SMP). Supatmi menggantungkan hidup dari upah menjadi buruh tani, ditambah penghasilan dari menjual tikar.
“Kalau tidak ada panggilan jadi buruh tani, ya saya di rumah saja, enggak bekerja apa-apa. Ya namanya orang enggak punya, kalau ada yang mengajak kerja, ya mau-mau saja, kalau enggak ada ya di rumah begini ini, menganyam, membuat tikar begini,” cerita Supatmi sambil menunjukkan hasil tikar buatannya.
Panggilan menjadi buruh tani tak sering. Bisa dihitung jari. Sebulan paling banter satu hingga tiga kali. Upahnya Rp80.000 per hari.
“Ya diajak kerja sehari, dua hari, ya sudah. Namanya juga kerja ikut orang. Diajak kerja, panen jagung, ya diajak panen. Kalau tidak ada yang mengajak kerja ya sudah, diam di rumah.”
Sementara hasil panen jagung –yang ia duduki tadi– tak seberapa; tak cukup menguntungkan. Selain karena sedikit, pembelinya adalah tengkulak.
“Iya tidak cukup lah. Buat beli beras, buat belanja begitu. Belum lagi beli minyak. Beras sekarang sekilo berapa? Kan tidak cukup,” katanya setengah mengeluh.
Penghasilan menjual tikar juga tidak seberapa. Lumayan, buat beli minyak satu liter, kata dia. Jika tikar tak laku, satu-satunya untuk beli makan hanya mengandalkan upah anaknya, Naspita, yang bekerja jaga warung teh di pasar dekat rumah.
“Ya susah banget. Setiap hari pokoknya selalu mikir bagaimana buat makan,” kata Naspita.
Menganggur
Berkendara motor sekitar satu jam dari rumah Supatmi, ada proyek migas pertama di Bojonegoro: Sumur Banyu Urip di Kecamatan Gayam. Proyek ini mulai beroperasi sejak 2008.
Kawasan itu berbatasan dengan rumah-rumah warga. Disekat dengan kawat berduri. Di beberapa titik terdapat plang merah bertuliskan “Objek Vital Nasional”.
Dari dapur Kismiyati, tampak pipa-pipa minyak menjulang dari lapangan Banyu Urip. Rumah ini bersisian dengan wilayah eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi Exxon Mobile. Sama seperti Pariyem maupun Supatmi, Kismiyati tak peduli kehadiran proyek migas di daerahnya.
“Paling baune kadang menyengat biasanya,” ujarnya singkat. Entah tak peduli atau ia tak cukup punya waktu untuk memikirkan itu semua.
“Dampak migas ke kesejahteraan? Apa dampaknya,” kata Kismiyati balik bertanya.
Siang jelang sore menjadi waktu yang sibuk bagi ibu 42 tahun itu. Fokusnya tak beralih dari cobek dan penggorengan. Anaknya menunggu makanan siap di ruang tengah.
Saat masa tanam, paginya ia ke sawah menyiapkan lahan. Keluarganya menggantungkan hidup dari hasil bertani di lahan seluas kurang dari seperempat hektare. Ia garap sendiri semuanya. Sebab mempekerjakan orang berarti akan menambah pengeluaran.
Jika panen tak cukup bagus, suaminya cari kerja serabutan. Kadang-kadang membantu peternakan ayam di desanya.
“Aslinya ya tidak cukup, penghasilan dari bertani ini tidak bisa dikira-kira. Bertani itu tidak punya penghasilan harian. Panen saja hasilnya. Kalau tidak panen, suami saya ikut kerja keluar. Di sini ada kandang ayam, ya mengurus ayam,” kata Kismiyati.
Jika tidak ada panen, ya menjual tabungan ternak. Tetapi, kini ternaknya sudah ludes terjual. Kandang di belakang rumahnya yang bersisian dengan kawat pembatas kawasan migas, sudah reyot dan tak terawat. Kosong.
“Itu tadinya kandang sapi, tetapi sekarang sapinya sudah tak ada,” sambil menunjuk ke belakang rumah.
“Orang tani itu susah sekali. Aslinya ya tidak cukup dari hasil bertani di sini. Tetapi bertani masih jadi penghasilan utama,” sambungnya.
Meski rumahnya berdekatan dengan proyek migas, tak banyak warga yang ikut bekerja di sana, termasuk suaminya. “Malah tidak ada. Kebanyakan orang dari Jawa Barat, pendatang. Orang sini malah pengangguran.”
Pilih Air Ketimbang Minyak
Sekretaris Desa Gayam, Narito, mengamin pendapat itu. Proyek migas di desanya hanya menyerap tenaga kerja pada awal-awal pembangunan fisik.
“Kalau awal-awal itu memang pengaruhnya sangat terasa. Sekitar 2.000-an, antara 2007-2008, terus untuk pekerjaan sipil itu kan 2010-an. Itu kan butuh tenaga kerja yang sangat sangat banyak, sehingga hampir semua warga kami itu bekerja di situ,” ungkap Narito.
Namun, ketika migas beroperasi, warganya menganggur. Pekerja yang dibutuhkan kebanyakan tenaga ahli, mayoritas didatangkan dari luar daerah.
“Tapi kalau sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik, banyak warga yang nganggur, hanya mereka-mereka yang memang dalam pola pikir sudah modern. Sertifikasi di migas dan lain-lain,” katanya.
Baca juga: Ketika Presiden Prabowo Disomasi Soal Status Bencana Sumatra
Bicara Desa Gayam, sekitar 90 hingga 95 persen warga adalah petani. Andai saja bisa memilih, kata Narito, ia dan warganya akan lebih air ketimbang minyak.
“Kalau kita ngomong Gayam, intinya air. Kalau kita mau mengangkat ekonomi Desa Gayam, itu cukupi air. Bahkan sampai warga kita, ‘saya itu tidak butuh minyak, saya itu hanya butuh air, kalaupun tidak ada minyak, enggak apa-apa.’ Sampai warga itu gitu. Kalaupun bisa ditukar, bisa dipilih, saya hanya memilih air, tidak pilih minyak,” kata Narito.
“Karena apa? Ya itu tadi, dampak ke warga –kalau kita ngomong minyak– kan nggak ada, dampaknya ke nasional. Tapi kalau kita ngomong air, dampaknya langsung ke warga. Makanya seperti itu: aku enggak butuh minyak, butuhku enek banyu (ada air), pertanian maju. Hanya itu, tidak muluk-muluk. Dengan ada air, nanti kesejahteraan warga akan terbentuk dengan sendirinya," tukas Narito.
Ganti Program, Tetap Gagal
Pertumbuhan ekonomi di Bojonegoro masih ditopang pada sektor migas. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didominasi sektor pertambangan dan penggalian dengan persentase 47 persen. PDRB merupakan indikator penting untuk mengukur kondisi dan perkembangan ekonomi suatu daerah.
Yang menjadi pertanyaan: mengapa warga di sekitar proyek migas hidupnya malah susah?
“Nah, ketika Bojonegoro memiliki migas ya, ada temuan cadangan migas yang luar biasa besar di Blok Cepu ya, di lapangan Banyu Urip, itu menjadi semacam apa ya ada euforia gitu ya, wah bakal kaya gitu ya,” kata Abdul Wahid Syaiful, Direktur Bojonegoro Institute --sebuah LSM yang meneliti masalah kemiskinan.
Awalnya, dia sempat yakin proyek migas di daerahnya bakal membuat rakyat lebih makmur. “Tetapi ternyata, setelahnya, kita turun peringkat kemiskinannya, tetapi tidak signifikan. Kalau dilihat dari keuangan pendapatan daerah yang begitu besar gitu ya. Bojonegoro ini kan peringkat kedua tuh APBD-nya se-Jawa Timur gitu ya. Tentu orang akan melihat ya seharusnya dengan APBD yang besar, penurunan kemiskinannya lebih cepat gitu,” kata Awe, begitu ia kerap disapa.
Awe bilang ada problem mendasar yang membuat rantai kemiskinan di Bojonegoro tak kunjung terurai.
“Salah satunya adalah kemiskinan itu disebabkan oleh faktor multidimensi. Dia tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi pendidikan ya, kesehatan, terus akses kebijakan ya, pembuat kebijakan dan lain sebagainya itu memengaruhi, termasuk gender gitu ya, kesetaraan ya, ketimpangan dan lain sebagainya,” jelas Awe.
Cara pandang seperti itu yang tak dimiliki pengurus negara. Alhasil, strategi dan program penanganan kemiskinan yang dirancang Pemkab Bojonegoro seringkali bersifat parsial.
“Misalnya, dinas A hanya fokus menangani kemiskinan yang berada di bawah sektor dia. Padahal orang miskin itu harus dikeroyok bareng-bareng dari multisektor, dari berbagai sisi,” tekannya.
“Sinergi dan kolaborasi itu mudah diucapkan, tetapi praktiknya selalu minim,” imbuhnya.
Berulang kali, kebijakan penanggulangan kemiskinan terkesan sekadar berganti nama program, tetapi gagal menjawab akar masalah kemiskinan.
“Ada dulu itu Desa Cerdas, Desa Sehat, eranya Bupati Suyoto ada 10 sarjana desa. Terus sekarang ada Gayatri. Tapi penanggulangan kemiskinan kan tidak soal nama ya, tetapi bagaimana strategi atau saat merumuskan program itu seperti apa, bagaimana implementasinya, seperti apa alat ukurnya,” tanya Awe.
Masalah-masalah itu tak mampu dibenahi, meski dengan pendapatan melimpah dari migas. “Dengan anggaran yang besar dan kemudian penurunan kemiskinannya sangat kecil, itu menunjukkan program strategi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan kurang efektif, belum efektif.”
Semestinya, pemerintah lebih banyak menggelontorkan alokasi dana desa (ADD) untuk meningkatkan taraf hidup rakyat di sekitar migas. Minimal 10 persen dari dana bagi hasil yang diterima pemerintah kabupaten.
“Jadi desa-desa sekitar kawasan migas mereka mendapatkan alokasi yang lebih besar. Karena kenapa? Karena desa-desa sekitar kawasan migas itu menanggung beban sosial dan lingkungan lebih berat daripada desa-desa yang lain,” kata kata Abdul Wahid Syaiful, Direktur Bojonegoro Institute.
Namun, yang terjadi selama ini jauh dari semestinya.
“Persoalannya adalah di perencanaan dan penganggaran atau pelaksanaan pembangunan di level desa ini. Jadi apakah ya alokasi ADD yang di dalamnya itu ada pendapatan migas itu benar-benar untuk membiayai prioritas pembangunan di desa? Terutama adalah bagaimana meningkatkan pembangunan manusia yang mengentaskan kemiskinan dan lain sebagainya. Itu yang menjadi problem.”
Ujung-ujungnya, warga tak bisa berharap banyak –selain dari hasil bertani yang tak seberapa itu. Mayoritas warga Bojonegoro menggantungkan mata pencaharian di sektor pertanian. Kontras dengan sumber utama pendapatan daerah itu: migas.
Penyakit Belanda
Ekonom Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) Jaya Darmawan menyebut apa yang terjadi di Bojonegoro sebagai kutukan penyakit Belanda atau Dutch Disease. Istilah ini pertama kali dipopulerkan The Economist pada 1970an.
“Itu terjadi ketika suatu negara atau suatu daerah itu dia hanya fokus di satu sektor saja. Sektor lainnya diabaikan. Bisa jadi Bojonegoro ini mengalami situasi yang sama. Mentang-mentang migas gede, fokusnya itu saja. Saya berasumsi tadi, ada Dutch Disease yang akhirnya menegasikan sektor-sektor lain yang lebih potensial dan lebih berkelanjutan. Misalkan pertanian, perkebunan, yang organik, ataupun yang restoratif–kalau bahasa kami,” kata Jaya saay dihubungi KBR.
Penyakit Belanda merujuk pada fenomena perekonomian suatu negara meningkat drastis karena satu sektor. Keuntungan tak terduga ini mengakibatkan ketergantungan semata pada satu sektor, sehingga mengabaikan sektor lainnya.
Dari 18 provinsi penghasil minyak dan gas bumi, delapan di antaranya hidup di bawah kemiskinan. Fenomena hidup miskin di sekitar kawasan industri ekstraktif sering dikenal dengan “kutukan sumber daya alam”. Penyebabnya: kegagalan pengelolaan dana bagi hasil, ketergantungan pada industri ekstraktif, hingga ketimpangan akses dan infrastruktur.
Baca juga: Menyoal Urgensi Perubahan Standar Garis Kemiskinan RI Sesuai Penghitungan Bank Dunia
“Nah ini kan bermasalah. Makanya termasuk Bojonegoro sendiri, kalau ukurannya masih garis kemiskinan BPS, itu akan kesulitan menghubungkan antara dampak ekstraktif yang tidak positif terhadap penurunan garis kemiskinan,” kata Jaya.

Situasi saat ini pun tak jauh berbeda. Paradoks tersebut tak berubah. Sesungguhnya, situasi itu disadari Pemkab Bojonegoro. Dokumen RKPD 2025 dan 2026 menulis penurunan tingkat kemiskinan tidak disertai penurunan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Dokumen itu mengindikasikan kemampuan warga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya kian sulit. Ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga semakin besar.
Baca juga: Tepatkah Sikap Pemerintah Tolak Bantuan Internasional Tangani Bencana Sumatra?
Bupati Bojonegoro Setyo Wahono dalam beberapa kesempatan mengakui APBD jumbo daerahnya belum mampu menurunkan angka kemiskinan.
“Bojonegoro hari ini berusia 348 tahun, terus tumbuh meneguhkan diri sebagai daerah lumbung pangan dan energi nasional. Bojonegoro saat ini masih dihadapkan pada tantangan kemiskinan, peningkatan kualitas pembangunan manusia, pemerataan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara inklusif, pengangguran, serta pembangunan konektivitas untuk menekan kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan,” kata dia saat berpidato di peringatan ke-348 Hari Jadi Bojonegoro, 20 Oktober 2025.
Sekitar 30 menit berkendara motor jika dari alun-alun tempat bupati bicara, ada Pariyem yang hidup kesusahan puluhan tahun.
“Ya susah, kan harga bahan pokok itu naik semua, sedangkan penghasilan tidak ada. Makanya saya sambil ternak, sambil bertani. Kalau tidak begitu, ya tidak bisa hidup. Jual ternak, buat beli beras," keluh Pariyem, warga Desa Ngadiluwih, Bojonegoro.
Penulis: Nurika Manan
Editor: Wahyu Setiawan, Ninik Yuniati, Malika













