Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil menyebut somasi bertujuan meminta negara mempertanggungjawabkan penetapan bencana nasional, pemulihan serta rekonstruksi tata kelola hutan dan lahan pascabencana.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Usai tiga pekan kejadian bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, koalisi masyarakat sipil menilai penanganan yang dilakukan pemerintah masih belum maksimal lantaran urung menetapkan status bencana nasional.
Alhasil, koalisi melayangkan somasi kepada Presiden Prabowo Subianto pada 10 Desember 2025. Gabungan 113 organisasi masyarakat sipil menuntut pemerintah menetapkan banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra sebagai bencana nasional.
Somasi tersebut memperkuat gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap 12 pejabat negara yang sebelumnya didaftarkan sejumlah warga Sumatra Barat. Mereka menilai pemerintah lalai mencegah dan menangani bencana ekologis yang dianggap berkaitan dengan kerusakan hutan, pembukaan lahan, dan tata kelola lingkungan yang buruk.
Salah satu perwakilan Koalisi, Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menegaskan bahwa situasi di Aceh sejak akhir November sudah memenuhi syarat penetapan bencana nasional.
“Kami melihat skala kerusakan yang terjadi akibat bencana ini tidak cukup mampu ditangani oleh provinsi. Maka tanggal 29 sebetulnya kita sudah layankan, kita buat statement waktu itu untuk mendorong pemerintah pusat agar meletakkan bencana banjir dan longsor ini di Sumatera sebagai bencana darurat nasional,” ujar Aulianda dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (12/12/2025).

Kota/Kabupaten Terdampak Luas, Kemampuan Finansial Terbatas
Aulianda menyebut 18 dari 23 kabupaten/kota terdampak di Aceh, namun kemampuan fiskal Aceh berada di titik paling minimal pada akhir tahun.
“Ini pun sudah di akhir tahun, situasi darurat tidak bisa dikendalikan dengan cara yang biasa,” jelasnya.
Menurut Aulianda, penetapan bencana nasional akan membuka akses penuh terhadap mekanisme pergerakan pusat secara totalitas.
“Termasuk pengerahan alat transportasi udara, logistik, dan armada evakuasi,” terangnya.
Situasi di Lapangan Masih Kritis
Sementara itu, Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh, Murthalamuddin, menggambarkan situasi lapangan yang masih sangat kritis.
“Setelah 15 hari masih ada warga yang belum terakses bantuan sama sekali. Apakah tidak terketuk hati pemerintah pusat untuk melihat ini sebagai sebuah kondisi yang luar biasa?,” ujar Murthalamuddin dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (12/12/2025).
Ia turut menyoroti minimnya akses logistik, terbatasnya penerbangan bantuan, serta lambatnya respons infrastruktur.
“Setelah kedatangan Presiden dua kali sampai hari ini, jumlah penerbangan droping dari kia udara masih tetap sama antara 15,16,19,20 penerbangan tiap hari ini. Jadi apa yang dibuat pemerintah pusat itu?,” jelasnya.
Murthalamuddin mempertanyakan jajaran pembantu presiden yang seakan tidak pernah membaca sebagai bentuk perintah yang konkret untuk dilaksanakan di daerah terdampak.
“Ini PLN sampai hari ini udah seminggu setelah janji Pak Bahlil (Menteri ESDM) juga tidak bisa hidup,” ungkapnya.

Kekhawatiran Dampak Kesehatan, Psikologis, dan Sosial
Murthalamuddin memperingatkan dampak psikologis dan sosial jika kondisi ini terus berlarut terhadap korban bencana Aceh, Sumut, dan Sumbar.
“Jangan sampai gara-gara bencana ini, ini menjadi luka baru, menjadi dendam baru, bahwa ternyata kami memang tidak dibutuhkan, kami tidak dianggap, kami diabaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda menilai janji pemerintah tidak terimplementasi dalam tindakan nyata.
“Presiden bilang akan kasih Rp 63 triliun. Mungkin itu untuk rekonstruksi, oke. Tapi yang kita butuhkan sekarang tanggap daruratnya. Orang bisa selamat dari banjir, tapi orang belum tentu bisa selamat dari penyakit, dari sakit yang diderita akibat banjir. Logistik menumpuk, warga bantu warga,” terangnya.

Somasi Minta Pertanggungjawaban Negara, Buka Peluang Gugatan
Aulianda menjelaskan bahwa somasi bertujuan meminta negara mempertanggungjawabkan penetapan bencana nasional, pemulihan serta rekonstruksi tata kelola hutan dan lahan pascabencana.
“Bencana dan longsor ini betul hujannya dari Tuhan, tapi banjirnya ulah manusia. Banjirnya itu bukan dari Tuhan. Banjir dan longsor itu bukan dari Tuhan. Itu akibat ulah manusia. Siapa manusia-manusia itu? Ya yang menerbitkan izin-izin hutan, izin-izin sawit, pembukaan lahan, tambang,” tegas Aulianda.
Ia juga menjelaskan jika somasi diabaikan, gugatan ke PTUN atau PN Jakarta akan dilayangkan.
“Siapa sebetulnya yang harus bertanggung jawab dalam urutan ini? Kita mau pengadilan memerintahkan negara untuk melakukan sesuatu dalam hal merespons banjir dan longsor. Karena kita negara hukum,” ujarnya.

Prabowo: Pemerintah Bekerja Keras Meski Tanpa Tongkat Nabi Musa
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pemerintah bekerja keras menangani dampak bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, meski tidak memiliki kesaktian seperti tongkat Nabi Musa AS untuk mengatasi bencana.
"Saya minta maaf karena Presiden RI tidak punya tongkat Nabi Musa, tapi kita akan bekerja keras untuk bantu saudara-saudara sekalian," ujar Prabowo saat meninjau langsung lokasi terdampak bencana di Bener Meriah, Aceh, Jumat (12/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Dalam kunjungannya, Prabowo datang langsung ke posko pengungsian di Jembatan Aceh Tamiang. Kepala Negara berinteraksi langsung dengan warga di Posko Pengungsian SMP 2 Wih Pesam, Bener Meriah.
Prabowo menjelaskan saat ini pemerintah telah mengerahkan puluhan helikopter dan pesawat untuk mempercepat penanganan bencana.
Presiden juga menyatakan pemerintah segera menyiapkan rumah pengganti untuk warga terdampak bencana banjir bandang dan longsor
“Kita sudah kerahkan puluhan helikopter, puluhan pesawat. Kita sudah siapkan juga rencana untuk mengganti semua rumah,” ucapnya.
Meski begitu, Prabowo meminta masyarakat bersabar karena proses pemulihan membutuhkan waktu. Prabowo memastikan semua pihak bekerja keras memulihkan kondisi pascabencana.

Dasar Hukum Penetapan Bencana Nasional
Mengutip dari ANTARA, dasar hukum penetapan bencana nasional secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pasal 7 ayat (2) UU tersebut menyebutkan lima indikator utama: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi. Regulasi ini tidak menyaratkan angka korban tertentu secara rigid, melainkan menekankan apakah kapasitas daerah telah terlampaui.
Jumlah Korban Terus Bertambah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal akibat bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga Minggu (14/12/2025), dilaporkan sekitar 1.000 orang meninggal akibat bencana di tiga provinsi tersebut. Selain itu, ada 200 lebih orang yang masih dinyatakan hilang.
Total daerah terdampak berjumlah 52 kabupaten dan kota di Aceh, Sumut, serta Sumbar. Selain itu, ada 157 ribu rumah rusak, 498 jembatan rusak, 1.200 fasilitas umum yang rusak, hingga 584 sekolah yang rusak akibat bencana.

Status Bencana Nasional Tak Perlu Diperdebatkan
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan, saat ini pemerintah mengutamakan penanganan bencana yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar ketimbang memperdebatkan status bencana nasional.
Menurutnya, seluruh sumber daya nasional telah dikerahkan untuk mempercepat proses penanganan di tiga provinsi tersebut. Pemerintah bersama pemerintah daerah, TNI, Polri, dan seluruh unsur terkait lainnya, berupaya keras untuk memastikan kebutuhan korban terdampak bencana bisa terpenuhi.
"Seluruh sumber daya nasional bekerja keras untuk melakukan penanganan,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media





