Selain Presiden Prabowo, ada tiga pihak tergugat lain dalam perkara ini...
Penulis: Ken Fitriani, Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Dua pekan terlewati usai tragedi banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Pulau Sumatra. Bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ini tidak hanya membuat luluh lantak seluruh bangunan dan infrastruktur, tetapi juga mengakibatkan lebih dari 1.000 jiwa meninggal dan hilang, dan ratusan ribu warga lainnya mengungsi.
Meski begitu, pemerintah berkukuh bahwa status bencana di Sumatra belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Keteguhan sikap pemerintah ini dipertanyakan sejumlah kalangan.
Imbasnya, Presiden Prabowo digugat terkait persoalan belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap peristiwa yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Gugatan itu diajukan Advokat bernama Arjana Bagaskara Solichin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mengutip dari laman resmi sipp.ptun-jakarta.go.id, gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 415/G//2025/PTUN.JKT pada Jumat, 5 Desember 2025.
Selain Presiden Prabowo, ada tiga pihak tergugat lain dalam perkara ini. Mereka diantaranya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni; Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa; dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto.
Sidang pemeriksaan awal dijadwalkan bakal berlangsung pada Senin, 15 Desember 2025.

Secara Yuridis Memenuhi, Mengapa Tak Kunjung Ditetapkan?
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Prof. Hufron mengatakan lewat dasar hukum penetapan bencana nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka seluruh indikator tersebut sesungguhnya telah terpenuhi.
“Korban jiwa mencapai ratusan orang, puluhan kabupaten/kota terdampak, jalur lintas Sumatra terganggu, ribuan rumah dan fasilitas publik rusak, serta aktivitas ekonomi masyarakat dan logistik nasional terhambat. Bahkan, beberapa wilayah masih terisolasi dan sulit dijangkau bantuan,” ujar Hufron dikutip dari ANTARA.
Hufron menyebut secara yuridis, peristiwa ini menandakan bahwa beban penanggulangan tidak lagi berada dalam batas kemampuan daerah.
Ia mempertanyakan pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Suharyanto yang menyebut “bencana nasional hanya pernah ditetapkan pada kejadian tertentu” jika merujuk pada preseden tsunami Aceh 2004 dan pandemi COVID-19 sebagai dua peristiwa yang pernah berstatus bencana nasional.
“Preseden bukanlah norma hukum yang mengikat. Hukum tidak bekerja berdasarkan kebiasaan politik, melainkan berdasarkan pemenuhan syarat objektif yang telah ditetapkan melalui undang-undang. Jika syarat itu terpenuhi, maka negara justru berkewajiban menaikkan status, bukan menahannya,” jelasnya.
Dalam perspektif hukum tata negara, penetapan bencana nasional juga berkaitan langsung dengan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Pemerintah Mesti Perhatikan Kapasitas Daerah
Pakar Manajemen Bencana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rahmawati Husein mengatakan, penetapan status bencana nasional ini semestinya bisa dilihat dari kapasitas pemerintah daerah dalam merespons bencana di wilayahnya.
“Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status keadaan darurat bisa ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai skala bencananya. Salah satu indikatornya adalah ketika daerah tidak lagi mampu menangani dampak bencana,” ujarnya di Yogyakarta, Jumat (5/12/2025).
Rahmawati menjelaskan mekanisme penetapan status tidak sepenuhnya berasal dari pemutus kebijakan tertinggi. Sebab, kata dia, pemda diberikan ruang untuk mengusulkan penetapan status nasional jika kapasitas mereka tidak mencukupi.
“Model kebijakan ini memungkinkan evaluasi dua arah agar penentuan status tidak hanya dipengaruhi pertimbangan politis, tetapi berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan,” jelasnya.
Sebelumnya, tujuh kepala daerah di Aceh mengaku tidak sanggup menangani dampak bencana sendirian.

Status Bencana Nasional Sudah “Urgen”
Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Utara, Rianda Purba, menyayangkan lambannya penanganan evakuasi dan distribusi bantuan kepada korban terdampak karena belum ditetapkannya bencana Sumatra sebagai status bencana nasional.
“Pemerintah itu sampai hari ini belum menetapkan bencana di tiga provinsinya adalah sebagai bencana nasional,” ujarnya dalam diskusi daring Ruang Publik KBR, Rabu (3/12/2025)
Menurut Rianda, pemangkasan anggaran kebencanaan turut memperparah kondisi pemulihan usai bencana. Ia turut menyoroti kerusakan lingkungan akibat izin tambang, PLTA, dan perkebunan.
“Anggarannya itu sangat juga diperkecil untuk penanganan dan penanggulangan bencana. Nah ini juga yang menjadi kendala sehingga pemerintah daerah, kabupaten, kota, dan provinsi juga tidak punya anggaran yang cukup,” terangnya.
Parpol Dukung Status “Bencana Nasional” di Sumatra
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan partainya mendukung agar bencana banjir bandang yang melanda wilayah bagian utara Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ditingkatkan statusnya menjadi bencana nasional.
Hasto mengatakan dukungan itu didasarkan atas aspirasi masyarakat yang diterima PDIP melalui personel Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) yang dikirimkan ke berbagai daerah terdampak.
"Ketika dari jumlah korban, dari kemudian dampak bencana, kerugian yang ditimbulkan, maka aspirasi yang diterima oleh PDI Perjuangan adalah mari kita bersama-sama dengan pemerintah agar mencanangkan ini menjadi bencana nasional," katanya di Jakarta, Minggu (7/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Sementara dikutip dari pks.id, Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut yang juga Ketua Komisi A DPRD SUMUT, Usman Jakfar menegaskan bahwa bencana ini masuk ke dalam bencana nasional dengan merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007.
“Melihat skala kerusakan yang begitu besar, jumlah wilayah terdampak, serta keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam mengatasi dampak bencana ini, maka jika merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, sudah semestinya Bapak Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan untuk segera menetapkan bencana ini menjadi bencana nasional,” ujar Usman.

Dasar Hukum Penetapan Bencana Nasional
Mengutip dari ANTARA, dasar hukum penetapan bencana nasional secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pasal 7 ayat (2) UU tersebut menyebutkan lima indikator utama: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi. Regulasi ini tidak menyaratkan angka korban tertentu secara rigid, melainkan menekankan apakah kapasitas daerah telah terlampaui.
Jumlah Korban Terus Bertambah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal akibat bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga Rabu (10/12/2025), dilaporkan 967 orang yang meninggal akibat bencana di tiga provinsi tersebut. Selain itu, ada 262 orang yang masih dinyatakan hilang.
Total daerah terdampak berjumlah 52 kabupaten dan kota di Aceh, Sumut, serta Sumbar. Selain itu, ada 157 ribu rumah rusak, 498 jembatan rusak, 1.200 fasilitas umum yang rusak, hingga 584 sekolah yang rusak akibat bencana.

Status Bencana Nasional Tak Perlu Diperdebatkan
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan, saat ini pemerintah mengutamakan penanganan bencana yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar ketimbang memperdebatkan status bencana nasional.
Menurutnya, seluruh sumber daya nasional telah dikerahkan untuk mempercepat proses penanganan di tiga provinsi tersebut. Pemerintah bersama pemerintah daerah, TNI, Polri, dan seluruh unsur terkait lainnya, berupaya keras untuk memastikan kebutuhan korban terdampak bencana bisa terpenuhi.
"Yang paling penting adalah penanganannya. Penanganannya. Saudara-saudara tadi sudah bisa lihat bahwa semenjak terjadinya bencana di Aceh, Sumatra Utara maupun juga Sumatra Barat, seluruh sumber daya nasional bekerja keras untuk melakukan penanganan," ujar dia, dalam keterangan pers penanggulangan bencana di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan dampak bencana banjir bandang dan longsor Sumatra ditangani secara nasional dan menjadi prioritas nasional.
"Presiden memberikan instruksi agar situasi ini diperlakukan sebagai prioritas nasional, termasuk jaminan bahwa dana dan logistik nasional tersedia secara penuh, secara total, salah satunya pada saat (masa) tanggap darurat ini menggunakan dana siap pakai," kata Pratikno.
Perspektif Hukum dan HAM untuk Perlindungan Hak Warga Negara
Dari perspektif hukum hak asasi manusia, Hufron menjelaskan bencana bukan hanya persoalan alam, melainkan komitmen dan kewajiban negara hadir dalam memenuhi hak dasar warga, terutama hak atas hidup, tempat tinggal yang layak, rasa aman, serta akses terhadap bantuan dan pemulihan.
“Penetapan bencana nasional memperkuat posisi negara dalam menjalankan fungsi tersebut. Di satu sisi, negara dapat mengerahkan seluruh instrumen kekuasaan untuk mempercepat evakuasi, distribusi logistik, dan pemulihan,” jelas Hufron.
“Di sisi lain, negara juga memperoleh legitimasi untuk menegakkan hukum terhadap aktor-aktor yang diduga menyebabkan atau memperparah bencana melalui perusakan lingkungan,” tambahnya.

Hufron menambahkan, desakan dari masyarakat sipil dan sebagian anggota DPR RI agar status nasional ditetapkan sesungguhnya dapat dibaca sebagai upaya memulihkan fungsi negara dalam dua ranah sekaligus: kemanusiaan dan keadilan ekologis.
“Tanpa status nasional, audit lingkungan, penghentian izin tambang bermasalah, serta penindakan terhadap kejahatan lingkungan akan selalu terhambat oleh alasan prosedural dan sektoral,” jelasnya.
Hufron mengingatkan bencana di Sumatra memperlihatkan kondisi banjir bandang yang membawa gelondongan kayu dalam jumlah masif dan menelan kawasan hulu hingga hilir.
Menurutnya, terdapat indikasi kuat bahwa bencana ini tidak berdiri sebagai semata “peristiwa alam”, melainkan juga terkait dengan praktik deforestasi dan eksploitasi sumber daya yang selama ini dibiarkan.
“Tanpa status bencana nasional, negara kehilangan instrumen hukum paling kuat untuk melakukan koreksi struktural,” pungkasnya.
Baca juga:
- Sudahkah Pemenuhan Hak bagi Kelompok Rentan di Bencana Sumatra Terpenuhi?
- Banjir-Longsor Sumatra: Kerugian Ditaksir Rp 68-200 Triliun Tapi Anggaran Bencana Rp 500 Miliar






