Mensesneg Prasetyo Hadi mengungkap besaran Dana Siap Pakai untuk darurat bencana Sumatra mencapai ...
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Lembaga kajian ekonomi dan hukum, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan kerugian ekonomi akibat banjir bandang dan tanah longsor di 3 provinsi Sumatra dalam skala ekonomi nasional mencapai Rp 68,67 triliun.
Peneliti Celios, Dyah Ayu mengatakan dampak ekonomi dari bencana Sumatra cukup luas menyasar berbagai sektor dan lapisan kehidupan.
“Kami sepakat jika untuk melihat bukan hanya keadaan saat ini, tapi juga untuk di masa yang sudah berlalu, dan juga prediksi di kedepannya karena betul tadi, ini akan menjadi bom waktu,” kata Dyah dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (4/12/2025).

Dyah menyebut, bencana Sumatra otomatis memutus roda perekonomian masyarakat. Sebab, seluruh infrastruktur penting rusak dan hilang dihantam banjir dan longsor.
“Banyak sekali kerugian ataupun pekerjaan yang hilang saat itu juga. Jika kita tahu, kita kalau menghitung (contoh, red) dari pengelolaan anggaran pemerintah untuk membangun satu jembatan itu sebesar 1 miliar,” jelasnya.
Dalam studi Celios, ia mencontohkan imbas kerugian ekonomi di Aceh yang signifikan karena masifnya kerusakan yang membuat porak poranda Bumi Rencong.
“Ekonomi Aceh ini akan muncul sekitar 0,88 persen atau sekitar 2,04 triliun,” ungkapnya.

DPR Bahkan Taksir Kerugian Capai Rp200 Triliun
Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang meyakini bahwa kerugian material dari bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di berbagai titik di Sumatra di atas Rp200 triliun.
Legislator yang membidangi urusan kebencanaan itu pun mengaitkan kerugian tersebut dengan adanya pemanfaatan hutan yang menimbulkan bencana ekologis. Kata dia, tidak ada yang menyangka bahwa bencana yang terjadi sedahsyat itu.
"Kalau ada orang yang punya hak dan legal melakukan pemanfaatan hutan. Ya akibat legalnya dia kita rugi Rp200 triliun," kata Marwan di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (3/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Untuk itu, ia mengatakan harus ada pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya bencana tersebut. Belum lagi bencana ekologis itu menimbulkan banyak korban jiwa.
Di sisi lain, Marwan mengatakan kemampuan polisi dan TNI untuk membantu penanganan bencana itu sudah siap. Namun, personel di wilayah-wilayah bencana itu bergerak sendiri tanpa adanya komando yang terpusat.
"Itu yang kita harapkan dari revisi Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana. Dari segi fungsi, mestinya BNPB bisa mengomando,” jelasnya.

Istana: Dana Siap Pakai Bencana Kisaran Rp500 Miliar
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memastikan APBN masih cukup untuk membiayai penanganan dampak bencana banjir bandang dan longsor di tiga provinsi di Sumatra.
"Di dalam APBN itu ada yang namanya Dana Siap Pakai, yang memang diperuntukkan untuk kesiapsiagaan, kebencanaan. Bapak Presiden (Prabowo Subianto, red.),” kata Prasetyo menjawab pertanyaan wartawan selepas acara jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Presiden, kata dia, sudah memberikan instruksi secara langsung, apabila Dana Siap Pakai secara jumlah, nominal, itu perlu dilakukan penambahan, maka akan dilakukan penambahan
Prasetyo mengungkap besaran Dana Siap Pakai mencapai kurang lebih Rp500 miliar.
"Kalau sampai terakhir, kurang lebih 2 hari yang lalu, (Dana Siap Pakai, red.) masih di kisaran Rp500 miliar sekian," ujar Prasetyo.
Prasetyo meyakini Pemerintah Indonesia masih sanggup mengatasi sendiri penanganan dampak bencana di Sumatra, meskipun negara-negara sahabat telah menawarkan bantuan ke Indonesia.
Diketahui, sejumlah negara menyampaikan dukacita mendalam seperti Iran, Arab Saudi, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, hingga Armenia.

Menkeu: Belum Ada Permintaan Tambahan Anggaran Bencana Sumatra
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa masih menunggu pengajuan tambahan anggaran dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menangani dampak banjir di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
"Kami tunggu permintaan dari BNPB. Kalau tidak salah sudah dibentuk satuan tugas (satgas) khusus di sana," kata Menkeu Purbaya di sela-sela meresmikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kemenkeu, di Denpasar, Bali, Jumat (5/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Menkeu mengaku sudah menyiapkan dana tambahan untuk BNPB guna mengatasi dampak banjir dan tanah longsor di tiga provinsi itu.
"Nanti kalau kurang, kan masih dihitung. Dananya sudah siap," katanya pula.
Meski begitu, Purbaya memastikan BNPB masih memiliki anggaran sebesar Rp500 miliar hingga Rp600 miliar yang bisa digunakan untuk kebutuhan darurat penanganan bencana alam.
Seperti diketahui, BNPB mendapat alokasi anggaran APBN 2025 mencapai Rp2,01 triliun. Jumlah anggaran tersebut mendapat pemangkasan dibandingkan pada 2024, BNPB mendapat anggaran Rp4,92 triliun.
JICA Jepang Terbuka Bantu Bencana Sumatra
Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan kesiapan untuk memberikan dukungan penuh dalam penanganan dan pemulihan pasca bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh.
“Mengingat kerja sama Jepang dan Aceh telah berlangsung lama, JICA tergugah untuk datang ke sini, memantau kondisi, dan bila diperlukan siap memberikan bantuan,” kata Majelis Perwakilan JICA Indonesia, Soichiro Machida, di Banda Aceh, Selasa (2/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Dirinya mengaku prihatin dan turut berduka cita atas bencana yang telah berdampak luas di Aceh. Kejadian ini dinilai cukup besar dan telah menyita perhatian publik di Jepang.
Machida mengatakan, JICA dapat memberikan dukungan dalam berbagai bentuk, mulai dari pendampingan teknis, bantuan mobilisasi logistik, hingga bentuk dukungan lainnya.
Kerjasama antara JICA dan Aceh sendiri telah berlangsung pasca tsunami 2004, ketika JICA memberikan dukungan darurat serta menangani pembangunan infrastruktur.

Selain Kerugian Ekonomi, Penanganan Korban Terdampak Dipertanyakan
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI dari Dapil Aceh, M. Nasir Djamil, mengungkapkan bahwa kondisi di lapangan masih jauh dari pulih.
“Bahkan perkiraan saya masih 25% kita itu bisa menangani para korban yang terdampak”, kata Nasir dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (4/12/2025).
Nasir berasal dari Dapil Aceh II meliputi Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Tamiang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa.
Ia menjelaskan bahwa wilayah paling parah berada di kawasan timur Aceh yakni 18 kabupaten-kota yang terparah.
“Mulai dari Bener Meriah, Aceh Tengah, Kirin, kemudian sampai ke Aceh Utara, Aceh Timur, dan kemudian Lhokseumawe sebahagian. Kota Langsa dan Aceh Tamiang,” ujarnya.
Nasir mengatakan meski logistik tersedia, distribusinya masih menjadi persoalan.
“Logistik dalam pengamatan saya itu cukup banyak. Obat-obatan juga cukup banyak. Tapi saya tidak tahu bagaimana distribusi barang-barang ini ke korban,” jelasnya.
Nasir juga mengaku adanya praktik illegal dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Banyak praktik ilegal dalam mengelola sumber daya alam kita, tidak terkecuali di Aceh itu sendiri,” terangnya.

Rugi Triliunan Rupiah: Bencana Ekologis Akibat Alih Fungsi Lahan
Secara spesifik, Celios mencatat Provinsi Aceh diproyeksi menderita kerugian Rp2,2 triliun. Sumatra Utara diproyeksi kehilangan Rp2,07 triliun dan Sumatra Barat Rp2,01 triliun.
Studi Celios turut menyatakan bencana ekologis dipicu oleh alih fungsi lahan karena deforestasi sawit dan pertambangan.
“Sementara sumbangan dari tambang dan sawit bagi provinsi Aceh misalnya tak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan,” terang Dyah.
Celios mendesak moratorium segera izin tambang dan perluasan kebun sawit. Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif.
“Tanpa perubahan struktur ekonomi, bencana ekologis akan berulang dengan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar,” tambahnya.

Bencana Ekologis Sebabkan Dampak Kerugian Fantastis
Climate Justice Campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, menegaskan bahwa kerugian akibat bencana ekologis tidak bisa dilihat hanya pada saat bencana terjadi.
“Yang perlu dijadikan catatan adalah kerugian ekonomi akibat kejahatan ekologis sebagaimana yang teman-teman saya sampaikan ini perlu dilihat sebagai kerugian ekologis yang terjadi hanya saat ini, ketika bencananya terjadi. Pertanyaannya adalah apakah kerugian yang terjadi itu hanya ketika bencana terjadi? Enggak,” kata Jeanny dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (4/12/2025).
Ia memaparkan berbagai bentuk kerusakan yang telah terjadi jauh sebelum bencana datang. Menurut Jeanny, wilayah-wilayah yang terdampak bencana sebagian besar merupakan kawasan konsesi tambang dan perkebunan sawit.
“Deforestasi terjadi demi membuka perkebunan sawit. Apa efeknya? Polusi air dan polusi tanah. Itu juga terjadi,” tegasnya.
Greenpeace bahkan memperkirakan potensi kerugian ekologis yang akan terus membesar.
“Perkiraan kami, kerugian potensial akibat bencana ekologis ini mencapai lebih dari 200 triliun. Ini angka yang fantastis? Iya,” ungkap Jeanny.
Ia juga mengingatkan bahwa kerusakan serupa berpotensi terjadi di wilayah lain di Indonesia.
“Apa yang terjadi di Sumatra sangat mungkin terjadi di wilayah-wilayah lain. Kalimantan, bahkan juga Papua,” ujarnya.

Pemerintah dan Perusahaan Perusak Hutan Mesti Tanggung Jawab Kerugian
Jeanny Sirait menegaskan kembali bahwa bencana ekologis bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga perusahaan perusak hutan di Sumatra.
“Yang juga perlu dilihat adalah tadi siapa pihak yang bertanggung jawab bukan hanya pemerintah pusat atau pengawasan pemerintah daerah dalam hal ini, tapi juga ada pelaku aktif, kita nggak boleh lupa pelaku aktifnya siapa? Perusahaan,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa legalisasi oleh negara justru menjadi masalah yang lebih berbahaya.
“Yang jauh lebih berbahaya adalah ketika bisnis tersebut dilegalisasi oleh negara, lewat apa? Lewat izin-izin tadi,” terang Jeanny.
“Untungnya ditanggung perusahaan, kerugiannya ditanggung sama warga dan negara”, sambungnya.

Pemerintah Gadaikan Kebijakan dengan Risiko Bencana
Dyah Ayu menegaskan kembali bahwa kebijakan pemerintah justru menggandakan risiko bencana.
“Selama izin tambang dan ekspansi sawit terus dikeluarkan, pemerintah sebenarnya ini yang tadi saya bilang menggandakan risiko bencana bagi masyarakat,” katanya.
Ia menyebut pemerintah terlalu meremehkan dampak kemanusiaan Apalagi, di saat pemangkasan anggaran kebencanaan dilakukan imbas kebijakan efisiensi.
“ Itu bukti bahwa melemahkan kesiapsiagaan bencana,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Banjir-Longsor Sumatra: Siklon Tropis Senyar Telah Terprediksi Tapi Upaya Mitigasi Bencana Lemah





