Eka juga tak menutupi kekecewaannya karena situasi ini mengulang kembali represi era menjelang reformasi 1998. Mengapa?
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Musisi sekaligus aktivis, Eka Annash menilai kasus penahanan Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen dan sejumlah aktivis lain sebagai sinyal darurat demokrasi.
Eka bahkan sudah menyatakan bersedia menjadi penjamin Delpedro CS, karena baginya solidaritas warga adalah benteng terakhir.
“Ada 959 warga sipil yang ditangkap, lebih besar dari tahun 1998. Itu sudah menyalakan lampu emergency. Prinsipnya warga bantu warga, kalau bukan kita- kita lagi yang membantu (lalu) mau berharap sama siapa?,” ujar Eka Annash dalam dialog Ruang Publik Edisi Khusus, 19 November 2025.
Eka juga tak menutupi kekecewaannya karena situasi ini mengulang kembali represi era menjelang reformasi 1998. Menurutnya, pemerintah lewat aparat terkesan sengaja menjadikan kasus Delpedro dan kawan-kawan sebagai contoh untuk menakuti anak muda.
“Kok bisa kejadian lagi? Kita sudah berdarah-darah mengubah sistemnya, tapi mau dikembalikan lagi,” tutur Eka.
“Ini lihat teman lo nih, gue bejek-bejek. Ngapain lo?,” lanjutnya.
Lebih tegas lagi, Eka menyebut kondisi politik saat ini mengarah ke otoritarianisme. Kata dia, jika harus memilih, kini opsi rakyat hanya dua.
“Antara diam dan tunduk, atau bersuara dan terus mengawal. Jangan sampai ada rasa takut. Itu hak hidup kita. Kalau kalian takut, berarti propaganda itu bekerja,” tegasnya.
Selain Eka, sejumlah musisi lintas band dan jaringan gerakan rakyat turut menyatakan solidaritas bagi para aktivis pro demokrasi yang masih ditahan.
Dari seluruh aktivis yang ditahan, empat diantaranya, Delpedro Marhaen, Syahdan Hussein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar.
Para musisi yang bersolidaritas diantaranya; Eka Annash (The Brandals), Manson (MENTHOSA), sampai Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca dan Delpi (Dongker).

Pembunuhan Demokrasi
Lewat keterangan resmi yang diterima KBR, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengungkap banyak pelanggaran prosedur, dari penetapan tersangka tanpa pemeriksaan Delpedro dan sejumlah aktivis, sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 21 tahun 2014, hingga penyitaan tanpa izin pengadilan.
“Fakta-fakta ini seharusnya cukup menjadi dasar hakim untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun, hakim justru memperkuat pengabaian prinsip due process of law,” tulis pernyataan TAUD.
Menurut TAUD, Penolakan ini memperlihatkan represi negara atas aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat. Padahal itulah hak asasi yang dijamin UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM. Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara,” lanjut pernyataan TAUD.
Jangan Kriminalisasi Aktivis
Aktivis lingkungan Karimunjawa, Jepara, Daniel Frits Maurits Tangkilisan meminta kepolisian menghentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis dan masyarakat sipil lainnya terkait demonstrasi akhir Agustus
Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang akrab disapa Daniel, adalah salah satu dari sekian banyak aktivis lingkungan yang dikriminalisasi karena memperjuangkan kelestarian alam di Indonesia.
Ia menilai tindakan penangkapan aparat terhadap aktivis melanggar prinsip-prinsip HAM.
"Jangan mengkambinghitamkan masyarakat. Jangan semena-mena menangkap. Pemerintah, DPR, TNI, Kepolisian harus introspeksi diri. Semua kemarahan masyarakat ini kenapa?," ujar Daniel kepada KBR, Senin (8/9/2025).
Sebagai korban yang pernah dikriminalisasi, Daniel menyayangkan fenomena penangkapan terhadap masyarakat terus berulang. Ia pun mengecam aparat kepolisian yang kerap melakukan tindakan kekerasan.
"Ini saya jadi bertanya-tanya. Kenapa mereka selalu mengorbankan masyarakat?. Jangan-jangan ada yang mereka lindungi, jangan-jangan ada kepentingan tertentu," katanya.
Untuk itu, Daniel mendesak pemerintah bersikap tegas dan sungguh-sungguh berpihak pada rakyat.
Daniel juga mendorong teman-teman aktivis maupun mahasiswa untuk terus bersuara dan tidak takut dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Indonesia.
"Jangan diam lawan!,"tegasnya.

Delpedro Ditahan Kejati DKI Jakarta
Polda Metro Jaya telah melimpahkan para tersangka kasus dugaan penghasutan dalam demonstrasi Agustus 2025 ke Kejaksaan.
Salah satu tersangka, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, sempat berorasi dari dalam mobil tahanan saat tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Ia menegaskan bahwa penahanan ini bukan tentang dirinya atau rekan-rekannya, melainkan soal masa depan anak muda.
“Semua harus dibebaskan. Makin ditekan, makin melawan!” pekik Delpedro.
Praperadilan Delpedro Ditolak
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang putusan praperadilan 27 Oktober 2025, menolak permohonan empat aktivis yang ditangkap pasca-aksi massa di akhir Agustus 2025.
Para aktivis itu adalah Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim (dua pegiat HAM dari Lokataru Foundation), Syahdan Husein (aktivis Gejayan Memanggil), dan Khariq Anhar (aktivis Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau). Hakim juga menolak permohonan praperadilan terkait sah atau tidaknya penyitaan.
Keempat aktivis tersebut mengajukan praperadilan sebagai pihak pemohon untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Sebagai tersangka, para aktivis dijerat Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Persilakan KUHAP Digugat ke MK, DPR Gagal Hasilkan UU Berkualitas
- Dari Ledakan SMAN 72 Jakarta hingga Siswa SMP Meninggal di Tangsel, Kapan Kasus Bullying Usai?




