ragam
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional? Koalisi Sipil: Pengkhianatan terhadap Reformasi!

Koalisi Masyarakat Sipil menilai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi di masa Orde Baru telah mewariskan tradisi korup yang bahkan sampai sekarang sulit diberantas.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Presiden RI ke-2: Soeharto, tampak sedang berpidato mengenakan peci hitam dan kemeja biru.
Pada 21 Mei 1998 tepatnya di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan mundur sebagai Presiden Republik Indonesia. Foto: Youtube Arsip Nasional RI

KBR, Jakarta- Polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto atau Pak Harto jelang Hari Pahlawan 10 November, terus menuai penolakan dari berbagai kalangan. 

Koalisi masyarakat sipil menolak keras usul pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai sebuah Pengkhianatan terhadap reformasi. Koalisi menilai rencana ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap reformasi yang telah dibangun oleh bangsa Indonesia sejak 1998 dan proses transisi menuju negara yang demokratis dan menghormati HAM.

“Koalisi masyarakat sipil menolak pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto tidak lepas dari warisan orde baru yang berlumuran peristiwa pelanggaran HAM, rezim otoriter yang tidak segan menghilangkan nyawa rakyat Indonesia, dan tindakan represif militeristik terhadap ekspresi, pemberangusan terhadap pendapat yang berbeda, dan melanggengkan praktik korupsi menjadi mengakar,” tulis pernyataan Koalisi yang diterima KBR, Rabu (29/10/2025).

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, DeJure, HRWG, Raksha Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Apik, Centra Initiative, dan PBHI.

Koalisi turut menyayangkan semua kasus pelanggaran HAM era Soeharto juga belum ada satupun yang dapat diungkap dan memberikan keadilan kepada masyarakat. Selain itu, kasus korupsi marak terjadi sepanjang lebih dari tiga dekade pemerintahan.

“Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di masa Orde Baru telah mewariskan tradisi korup yang bahkan sampai sekarang sulit diberantas,” tambah pernyataan Koalisi.

Koalisi turut menyoroti putusan Mahkamah Agung melalui Putusan No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar sekitar Rp 4,4 triliun kepada pemerintah.

“Soeharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya 7 yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga dan kroni Cendana,” lanjut pernyataan Koalisi.

Presiden Soeharto tersenyum saat mengamati senjata yang ditunjukkan seorang pria dalam foto hitam putih.
Presiden Soeharto dan Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie melihat senjata buatan dalam negeri produksi PT Persero Pindad di Bina Graha hari Senin (20/3/1989). ANTARA FOTO
Advertisement image

Usul Pahlawan Nasional Abaikan Luka Korban HAM

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, menyebut keputusan Kementerian Sosial yang menerima usulan terkait gelar Pahlawan Nasional ubtuk Soeharto dinilai mengabaikan penolakan masyarakat sipil dan keluarga korban pelanggaran HAM.

“kami kecewa dengan sikap Kementerian Sosial yang cenderung tidak peduli dengan masukan dan penolakan yang disampaikan oleh masyarakat sipil dan juga keluarga korban pelanggaran berat HAM,” ujar Jane dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (29/10/2025).

Jane menegaskan, Soeharto tidak layak diberi gelar Pahlawan Nasional karena rekam jejak kejahatan kemanusiaan, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter. Ia mengingatkan, Komnas HAM pernah menemukan sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa kepemimpinan Soeharto.

“Dan ini telah sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan di era Orde Baru berupa peristiwa 65 hingga peristiwa 98,” jelasnya.

Jane juga menilai pemberian gelar tersebut sebagai bentuk paradoks karena menempatkan pelaku pelanggaran HAM sejajar dengan korban seperti Marsinah.

“Orang yang menyuarakan menolak pemerintahan dan mengkritisi kebijakan represif era Orde Baru kemudian disandingkan dengan si pelaku untuk diberikan gelar pahlawan. Ini sungguh anomali,” terangnya.

Soeharto Tak Penuhi Syarat sebagai Pahlawan Nasional

Sejarawan yang juga Profesor Riset Purna Bakti BRIN, Asvi Warman Adam, mengingatkan bahwa TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih berlaku dan secara eksplisit menyebut nama Soeharto sebagai subjek hukum.

“Pernyataan Bambang Soesatyo yang mengatakan nama Soeharto sudah dihapus dari TAP Nomor XI Tahun 1998 itu tidak tepat. Karena MPR sekarang tidak bisa lagi membuat TAP untuk mencabut TAP yang sudah ada”, jelas Asvi dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, kasus hukum Soeharto, khususnya perkara perdata terkait yayasan milik keluarga Cendana, juga belum tuntas.

“Yayasan milik Soeharto itu harus membayar ganti rugi kepada negara, dan itu sebagian sudah dibayarkan, tapi belum lunas. Jadi tidak tepat kalau dikatakan persoalan hukumnya sudah selesai,” ungkapnya.

Deskripsi tidak tersedia.
Pekerja memasang pelang bertuliskan TMII dalam penguasaan dan pengelolaan Kemensetneg di depan gerbang TMII, Jakarta, Rabu (7-4-2021). Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Advertisement image

Sosok Kontroversial

Dari sisi sejarah, Asvi menyebut Soeharto sebagai sosok yang kontroversial, karena di satu sisi berjasa dalam pembangunan, tetapi di sisi lain juga menjadi pelaku pelanggaran HAM berat.

“Soeharto itu adalah bapak pembangunan terbesar Indonesia, tetapi sekaligus juga perusak terbesar Indonesia”, ucapnya.

Ia mencontohkan dua peristiwa kontras pada masa Orde Baru yaitu penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang dianggap manusiawi, dan pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru yang disebutnya sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

“Saya berpandangan sebaiknya tokoh-tokoh yang kontroversial ini jangan diangkat dulu menjadi pahlawan nasional,” tegas Asvi.

Asvi juga menyinggung potensi konflik kepentingan jika Presiden Prabowo mendorong pengangkatan Soeharto yang merupakan mantan mertuanya.

“Saya kira sebaiknya ini juga berlaku pada Presiden Prabowo, jangan ada konflik kepentingan di situ,” pintanya.

Pemerintah Diminta Cermat dan Objektif

Sementara itu, Juru Bicara PDIP, Ansy Lema, menilai negara harus berhati-hati dalam menentukan dan memberi gelar seseorang sebagai pahlawan nasional.

“Prinsipnya negara itu memang harus hati-hati. Negara ini harus betul-betul cermat, objektif, dan jangan gegabah apalagi sembrono untuk menentukan seseorang menjadi seorang pahlawan”, kata Ansy dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (29/10/2025).

Ansy yang juga mantan Aktivis ’98 itu menyebut aspek utama penilaian seorang pahlawan seharusnya adalah nilai dan integritas. Dua aspek ini, kata dia, tidak terpenuhi pada diri Soeharto.

“Dua hal ini values dan integrity adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Dan persis di dua aspek ini, menurut saya Presiden Soeharto itu kontroversial dan problematik”, tegasnya.

Ia menilai, kepemimpinan Soeharto selama tiga dekade sarat dengan represi dan hegemoni, yang membungkam suara kritis rakyat.

“Yang terjadi pada era Orde Baru itu adalah corrupts absolutely. Karena sistem politik kita saat itu tersentralistik, kekuasaan hanya ada pada satu tangan, yaitu Presiden Soeharto," ujarnya.

Presiden Soeharto berbincang dengan sejumlah tokoh berkostum adat Jawa sambil memegang cangkir dalam suatu pertemuan bersejarah.
Presiden ke-2 RI, Soeharto berbincang-bincang dengan para seniman. (ANTARA)
Advertisement image

Transparansi Usulan Dipertanyakan

Ansy juga mengkritik proses penentuan gelar yang dinilai tidak transparan dan berpotensi menjadi upaya pemutihan sejarah.

“Kesan kuat penulisan ulang sejarah ini adalah akal bulus negara untuk memuluskan proses menjadikan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, dengan terlebih dahulu mencuci bersih dosa-dosa demokrasi, dosa-dosa korupsi, dan juga dosa-dosa kemanusiaan,” ucapnya.

Ansy menambahkan jika Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka hal itu akan menodai semangat reformasi 1998.

“Pertanyaan yang sangat mendasar adalah jika Presiden Soeharto dijadikan sebagai pahlawan nasional lalu untuk apa ada reformasi tahun 1998 itu?,” kata Ansy.

Soeharto Diklaim Penuhi Syarat Terima Status Pahlawan Nasional

Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan usulan gelar Pahlawan Nasional untuk mantan Presiden Soeharto berasal dari bawah dan sudah memenuhi syarat untuk diteruskan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

"Usulan gelar pahlawan disampaikan dari kabupaten/ kota, naik ke provinsi, sampai ke Kementerian Sosial," kata Mensos dikutip dari ANTARA.

Menurut dia, mantan Presiden Soeharto pernah diusulkan oleh Kabupaten Sragen pada 2010 namun saat itu belum memenuhi syarat.

Pada tahun ini, lanjut dia, usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sudah memenuhi syarat.

Selain Soeharto, Gus Dur hingga Marsinah juga Masuk Daftar

Kementerian Sosial mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah.

Proses pengusulan nama pahlawan nasional itu berawal dari masyarakat melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).

Ke-40 tokoh yang diusulkan Kementerian Sosial untuk mendapat gelar pahlawan nasional itu di antaranya adalah aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah, Presiden RI ke-2 Soeharto (Jawa Tengah), Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Syaikhona Muhammad Kholil; Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri; KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang; Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf (Sulawesi Selatan), dan Jenderal TNI Purn. Ali Sadikin (Jakarta).

Sekelompok pejabat memberikan keterangan pers resmi kepada awak media.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf didampingi jajaran pejabat Kementerian Sosial memberikan keterangan pers usai menyerahkan berkas usulan 40 tokoh menjadi Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Selasa (21/10/2025). ANTARA/HO- Biro Humas Kemensos
Advertisement image

Selanjutnya ada Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur), H.M. Sanusi (Jawa Timur), K.H Bisri Syansuri (Jawa Timur), H.B Jassin (Gorontalo), Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat), Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat), H. Ali Sastroamidjojo (Jawa Timur), dr. Kariadi (Jawa Tengah), dan R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesomo (Jawa Tengah).

Kemudian, Basoeki Probowinoto (Jawa Tengah), Raden Soeprapto (Jawa Tengah), Mochamad Moeffreni Moe'min (Jakarta), KH Sholeh Iskandar (Jawa Barat), Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Sumatera Barat), Zainal Abidin Syah (Maluku Utara), Gerrit Agustinus Siwabessy (Maluku), Chatib Sulaiman (Sumatera Barat), dan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah).

Pengumuman Sebelum 10 November

Saifullah Yusuf optimistis nama Pahlawan Nasional yang baru dapat diumumkan secara resmi sebelum memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 2025.

"Ya mudah-mudahan, insya Allah sih. Insya Allah sebelum 10 November dan nanti dari nama-nama itu akan dipilih beberapa nama," kata dia menjawab pertanyaan pewarta selepas upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (27/10/20250 dikutip dari ANTARA.

Namun, dia memastikan bahwa proses penetapan calon pahlawan nasional dilakukan melalui mekanisme seleksi berlapis dan melibatkan berbagai unsur, mulai dari masyarakat hingga tim ahli tingkat pusat.

"Ya nanti itu menyesuaikan Dewan Gelar ya untuk punya kesempatan lapor kepada Presiden. Seperti Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur misalnya, itu sudah diusulkan lima atau 10 tahun yang lalu," kata dia.

Putri Soeharto Mengapresiasi Rencana Pemerintah

Putri Presiden ke-2 RI Soeharto, Siti Hediati atau Titiek Soeharto mengucapkan terima kasih atas usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional.

“Alhamdulillah. Terima kasih kalau terealisasi,” kata Titiek usai melepasliarkan tukik di Pantai Saba, Kabupaten Gianyar, Bali, Senin (26/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Ketua Komisi IV DPR RI mengharapkan yang terbaik atas usulan ayahnya mendapat gelar pahlawan nasional.

“Harapan, yang terbaik,” ucapnya singkat.

Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri, disaksikan Kaesang Pangarep dan Iriana Jokowi dalam sebuah acara resmi.
Presiden Prabowo Subianto bersalaman dengan Siti Hediati Haryadi atau Titiek Soeharto. Prabowo merupakan mantan menantu Soeharto. Foto: Instagram @Prabowo
Advertisement image

Dapat Dukungan MPR

Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengemukakan usulan Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto untuk menjadi Pahlawan Nasional seharusnya tak lagi menimbulkan problem karena MPR sudah menyatakan Soeharto clear.

"MPR kan pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan clear, dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR," kata Muzani di Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Namun, Muzani menyerahkan sepenuhnya pemberian gelar pahlawan itu kepada Presiden Prabowo Subianto, termasuk tokoh-tokoh lainnya yang akan diberi gelar pahlawan.

"Saya kira tunggu bagaimana keputusan Presiden untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang dipilih," katanya.

Golkar Setuju Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Muhammad Sarmuji menyambut baik langkah Kementerian Sosial yang mengusulkan 40 tokoh untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional, termasuk di antaranya Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto.

“Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sarmuji dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (27/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Legislator asal Jawa Timur yang juga menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI itu menilai generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.

“Dari kisah orang tua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ujarnya.

Foto arsip Sidang Umum MPR-RI Maret 1978 menampilkan barisan pejabat sipil dan militer Indonesia di meja konferensi.
Cuplikan pidato laporan pertanggungajwaban Presiden Soeharto dalam Pembukaan Sidang Umum MPR, 11 Maret 1978. Sumber: Youtube Arsip Nasional RI
Advertisement image

Gelar Soeharto akan Lemahkan Semangat Gerakan Antikorupsi

Jane Rosalina dari KontraS juga mengingatkan bahwa jika pemerintah tetap menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, hal itu bisa melemahkan semangat gerakan antikorupsi dan menghapus memori kejahatan masa lalu.

“Ketika kita memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang punya rekam jejak terhadap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, ini akan menjadi simbol untuk melemahkan atau mendilegitimasi semangat gerakan antikorupsi,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan laporan Stolen Asset Recovery yang menyebut Soeharto sebagai presiden paling korup abad ke-20 dengan kekayaan mencapai 35 miliar dolar AS.

Sementara itu, Sejarawan Asvi Warman Adam menegaskan, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional dapat menghambat upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Jika Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional berarti kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru itu tidak bisa lagi diusut bahkan juga tidak bisa ditulis," terangnya.

Soeharto Mengundurkan Diri sebagai Presiden

Mengutip dari Arsip Nasional RI, bulan Mei 1998 merupakan salah satu momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini terjadi peristiwa turunnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia setelah menjabat lebih dari 32 tahun.

Dimulai dari penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggungjawaban presiden pada bulan maret. Berlanjut kepada demonstrasi besar-besaran pada awal bulan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia dan diakhiri pada 21 Mei 1998 tepatnya di Istana Merdeka pukul 09.05 Seoharto mengumumkan mundur sebagai Presiden Republik Indonesia.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media


Baca juga:

Dugaan Korupsi Whoosh Era Jokowi: KPK Mulai Penyelidikan, Pakar Desak Audit Investigatif, Siapa Bersalah?

Setahun Rezim Prabowo-Gibran, Gejala Kembali ke Orde Baru Menguat

Soeharto
Pak Harto
Pahlawan Nasional
Orde Baru


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...