Pukat UGM menilai ada celah di mana pengambil kebijakan bisa dipidana jika dianggap mengandung niat jahat (malicious intention), beretika buruk, terindikasi fraud, hingga conflict of interest
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kereta cepat Jakarta-Bandung atau “Whoosh” terus menuai sorotan publik, ketika proyek ini diduga mengandung tindak pidana korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran atau mark up. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kini tengah mengusut dugaan rasuah di Proyek Whoosh yang diinsiasi era Pemerintahan Joko Widodo tersebut.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mengatakan KPK mesti berani mengambil sikap terkait menetapkan proyek Whoosh sebagai kategori tindak pidana korupsi atau tidak, usai terjadinya pembengkakan biaya pembangunan. Selain itu, ia turut mendorong KPK menelisik dugaan kesalahan di dalam perencanaan Whoosh yang tidak presisi.
Menurut Zaenur, KPK mesti berani memeriksa pihak-pihak yang menjadi pemutus kebijakan dalam proyek tersebut.
“Itu nanti kesimpulan harus diambil oleh KPK. Tetapi setidaknya yang pertama adalah si kelompok pengambil kebijakan. Bagaimana kebijakan ini diambil, apakah kebijakan tersebut diambil sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik ataukah di dalamnya mengandung penyalahgunaan keuangan, mengandung perbuatan oleh hukum,” ujar Zaenur dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (28/10/2025).
Zaenur menambahkan penetapan tersangka bagi seorang pengambil kebijakan yang keliru ini masih menjadi perdebatan. Sebab, kata dia, sebuah kebijakan tidak bisa dikriminalisasi selama diputuskan sesuai dengan ketentuan dan asas yang berlaku.
Meski begitu, menurutnya, ada celah di mana pengambil kebijakan bisa dipidana jika keputusan dianggap mengandung niat jahat (malicious intention), beretika buruk, terindikasi fraud, hingga terlibat konflik kepentingan.
“Apalagi ada kickback, ada keuntungan-keuntungan. Bahkan kalau menurut UNCAC (Konvensi PBB Melawan Korupsi, red) itu intangible benefit itu juga termasuk sebagai keuntungan maka si pengambil kebijakan itu bisa dimintakan pertanggung jawaban pidana,” jelas Zaenur.
“Siapa pengambil kebijakannya? Ya tertinggi ada di Presiden, di bawahnya ada di Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, dan seterusnya,” tambahnya.

Respons KPK Soal Peluang Pemanggilan Luhut
Mengutip dari ANTARA, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons peluang pemanggilan Ketua Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung Luhut Binsar Pandjaitan dalam penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
“Pihak-pihak yang dimintai keterangan siapa saja, materinya apa, memang belum bisa kami sampaikan secara rinci,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Lebih lanjut, Budi menjelaskan KPK saat ini masih fokus menyelidiki unsur-unsur dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Whoosh, dan belum bisa memberitahukan lebih lanjut karena kasusnya masih dalam tahap penyelidikan.
Penyelidikan KPK Dimulai Awal 2025
Budi menyebut dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh mulai dilakukan sejak awal 2025.
“Diawali sejak awal tahun, dan tentunya ini masih terus berjalan,” tuturnya.
Ketika ditanya dugaan korupsi Whoosh terkait dugaan kerugian negara atau gratifikasi, Budi mengatakan bahwa hal tersebut termasuk materi penyelidikan sehingga belum dapat diumumkan kepada publik.
“Kami masih fokus dulu untuk mencari dan menemukan unsur-unsur peristiwa adanya dugaan tindak pidana korupsinya. Ya, kami fokus dulu di situ dalam tahap penyelidikan,” jelasnya.

Segera Lakukan Audit Proyek “Whoosh”
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Nevi Zuairina menilai transparansi dan efisiensi proyek Whoosh perlu diuji kembali lewat audit investigatif dan independen. Ia menyoroti perbedaan biaya proyek dengan tolok ukur internasional.
“Mungkin kita perlu membuka kembali dokumen perencanaan awal ketika proyek ini berjalan dan ternyata memang kalau kita lihat ya ada perbedaan besar antara biaya akhir dan benchmarking internasional. Angka-angka inilah yang memicu pertanyaan soal efisiensi dan transparansi,” kata Nevi dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (28/10/2025).
Ia lantas membandingkan besaran biaya yang dikeluarkan untuk proyek Kereta Cepat Whoosh era Jokowi dengan Kereta Cepat di Cina.
“Kereta cepat Shanghai–Hangzhou panjangnya 154 km, per kilometernya harganya 22,93 juta euro. Nah, terus kereta cepat Jakarta–Bandung panjangnya 142,3 km per kilometernya itu 35,13 juta euro per kilometer. Nah tentu angka ini kan jauh ya di atas biaya proyek Shanghai–Hangzhou,” terangnya.

Nevi juga menegaskan perlunya audit forensik dengan akses penuh terhadap seluruh dokumen proyek.
“Aparat penegak hukum itu cepat menyelidikinya, karena sudah menjadi isu publik, dengan akses penuh kontrak, adendum, invoice, daftar penerima subkontrak, daftar pembelian, dokumen pembahasan lahan, dan komunikasi tender. Detail semua,” pintanya.
KPK Mesti Bergerak Cepat
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai KPK perlu segera menelusuri dan mendalami penanggung jawab dalam dugaan kasus mark up proyek Whoosh. Sebab, ada kenaikan biaya proyek yang melambung tiga kali lipat dari rencana awal.
“Tinggal persoalannya adalah siapa yang akan punya tanggung jawab atau siapa yang akan dipakai sebagai pelaku itu yang akan jadi persoalan,” ujar Fickar dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (28/10/2025).
KPK, lanjut Fickar, memiliki tugas untuk segera langsung dalam menyelidiki potensi korupsi proyek Whoosh tanpa harus menunggu laporan masuk.
“Maka ada laporan atau tidak ada laporan harusnya KPK sudah melakukan penyelidikan dan saya kira ini sudah dilakukan tanpa harus masyarakat meminta KPK,” terangnya.
Lebih lanjut, Fickar menyoroti aspek kebijakan dalam proyek Whoosh yang tidak bisa dilepaskan dari potensi adanya muatan kepentingan.
“Ini kan menyentuh level kebijakan sebenarnya. Kalau ini tidak dilakukan dengan jujur, maka tidak mustahil ada banyak orang cari untung di situ. Melihat ini secara tuntas secara menyeluruh,” tegasnya.

Megawati Sudah Ingatkan Jokowi soal Whoosh
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri disebut telah mengingatkan Jokowi soal proyek Kereta Cepat Whoosh sejak 2015. Itu disampaikan Ketua DPP PDI-P, MY Esti Wijayanti.
"Saya kira Bu Mega kan sudah mengingatkan (soal Whoosh) sejak awal. Apakah itu sudah saatnya? Apakah itu akan memberikan manfaat yang lebih kepada masyarakat secara keseluruhan?,” ujar Esti di Sekolah PDIP, Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Terkait sikap KPK yang kini tengah menyelidiki dugaan korupsi Whoosh, MY Esti mendukung pengusutan tersebut.
"Sesuatu yang memang terbukti ada korupsi di situ ya memang harus ada penindakan dari aparat penegak hukum," terangnya.
Jokowi Tegaskan Whoosh Bukan Proyek Cari Laba
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo angkat suara mengenai polemik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh yang kini mewariskan beban utang hingga Rp118 triliun.
Jokowi menegaskan, prinsip dasar pembangunan transportasi massal bukan untuk mencari laba, melainkan untuk memberikan layanan publik.
“Prinsip dasar transportasi massal itu layanan publik, bukan mencari laba. Jadi, transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari keuntungan sosial,” tegasnya, Senin (27/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Menurut Jokowi, keuntungan sosial yang dimaksud meliputi penurunan emisi karbon, peningkatan produktivitas masyarakat, pengurangan polusi udara, serta efisiensi waktu tempuh.
“Keuntungan sosial dari pembangunan transportasi massal. Jadi, kalau ada subsidi, itu adalah investasi, bukan kerugian seperti MRT,” terangnya.
Luhut Bilang Terima Proyek Whoosh sudah “Busuk”
Bekas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) era Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) busuk sejak awal ia terima.
Luhut mengakui bahwa proyek Whoosh itu sudah bermasalah sejak dia menjabat.
"Whoosh itu kan tinggal restructuring saja, siapa yang minta APBN? Tak ada yang pernah minta APBN? Restructuring, saya sudah bicara dengan China karena saya yang sejak awal mengerjakan itu, karena saya terima sudah busuk itu barang," ujar Luhut dalam diskusi 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di JS Luwansa, Jakarta, Sabtu (18/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Audit Whoosh untuk Akuntabilitas
Zaenur menegaskan audit forensik Proyek Whoosh bukan hanya soal mencari kesalahan, tapi memastikan akuntabilitas dan pembelajaran ke depan.
“Audit forensik penting, dua tujuan, satu untuk proses penegakan hukum apakah ada atau tidaknya tindak pidana korupsi, yang kedua ini kan juga untuk pembelajaran,” terangnya.
Ia meminta pemerintah tidak berbicara rencana Kereta Cepat hingga Surabaya. Sebab, KCJB saat ini sudah memberikan beban utang yang sangat berat.
“Aparat penegakan hukum bisa menunjukkan profesionalisme, independensi, dan prinsip equality before the law. Yang salah ya salah, yang benar ya benar,” tegasnya.

Kompleksitas Masalah KCJB “Whoosh”
Mengutip dari ANTARA, Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh sejatinya dirancang dengan biaya awal sekitar US$6 miliar. Namun, seiring berjalan waktu, berbagai faktor, mulai dari pembebasan lahan, perubahan desain, hingga kenaikan harga bahan konstruksi yang mendorong cost overrun hingga mencapai sekitar US$7,2 miliar atau setara Rp116 triliun.
Sebagian besar pembiayaan berasal dari pinjaman luar negeri, khususnya dari China Development Bank (CDB) yang menanggung sekitar 75 persen total utang proyek. Sementara sisanya dibiayai oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang di dalamnya terdapat PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas dari pihak Indonesia.
Pada titik ini, struktur keuangan proyek mulai menunjukkan tanda-tanda tekanan. Setiap tahun, beban bunga atas pinjaman tersebut diperkirakan mencapai US$120 juta hingga US$130 juta, setara hampir Rp2 triliun hanya untuk membayar bunga, belum pokoknya. Jumlah yang sangat besar untuk proyek yang baru berjalan dan belum mencapai keseimbangan operasi.
Laporan keuangan semester I tahun 2025 menunjukkan bahwa KCIC mencatat kerugian sekitar Rp1,6 triliun. Di sisi lain, jumlah penumpang sepanjang 2024 hanya mencapai sekitar 6 juta orang, dengan rata-rata tarif Rp250 ribu per tiket. Artinya, total pendapatan kotor setahun tidak lebih dari Rp1,5 triliun dan masih jauh di bawah kebutuhan untuk membayar bunga.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Setahun Rezim Prabowo-Gibran, Gejala Kembali ke Orde Baru Menguat






