ragam
Setahun Prabowo-Gibran: Klaim Swasembada Pangan Diuji, Kesejahteraan Petani Dinanti

Setahun Prabowo-Gibran, Pemerintah perlu menata ulang kebijakan agraria, memperkuat riset dan inovasi, membangun kelembagaan petani, serta memastikan keseimbangan dari hulu hingga hilir.

Penulis: Naomi Lyandra, Resky Novianto

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
beras
Petani memasukkan padi ke dalam karung di Desa Lawoila, Konda, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO

KBR, Jakarta- Program Swasembada Pangan, terutama beras, dianggap masih berfokus pada peningkatan produksi semata. Program itu dinilai belum sepenuhnya menjawab permasalahan sektor pertanian di tanah air.

Serikat Petani Indonesia (SPI) menganggap peningkatan produksi beras terjadi dalam setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, namun sayangnya kesejahteraan petani masih jauh dari kata peningkatan.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan esensi swasembada pangan semestinya dilihat bukan hanya berorientasi terhadap kedaulatan pangan tetapi juga linier dengan kesejahteraan petani.

“Yang kita tuntut itu adalah kedaulatan pangan di Indonesia ini diwujudkan, bukan sekedar suasembada pangan yang seperti yang sekarang dikatakanlah dijadikan program. Karena kalau swasembada pangan itu hanya diartikan adalah tujuannya agar produksi pangan berlimpah, peningkatan produksi, menurut kita itu belum tentu membawa kesejahteraan bagi petani dan rakyat Indonesia,” ujar Henry dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (17/10/2025).

Menurut Henry, klaim pemerintah terkait peningkatan produksi beras perlu dilihat secara kritis.

“Apakah peningkatan produksi beras ini akibat dari program-program yang dibuat oleh pemerintah, ataupun karena memang kebetulan faktor musim yang hari ini yang menurut kita bagus?,” ujarnya.

red
Dua petani menjahit karung padi di Desa Lawoila, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah
Advertisement image

Jangan Abaikan Kesejahteraan Petani

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono mengamini jika kedaulatan pangan tidak cukup diukur dari angka produksi saja, tetapi juga kesejahteraan petani.

“Ruh utama kedaulatan pangan itu kesejahteraan petani. Kalau petani kita sejahtera, maka nilai-nilai Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu benar-benar hidup,” kata Riyono dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (17/10/2025).

Menurutnya, pemerintah telah menunjukkan keseriusan dalam politik anggaran, meski porsi untuk sektor pertanian masih terbatas.

“Di awal tahun anggaran 2024, anggaran pertanian kita nggak sampai 1,5 persen. Tapi dari situ sudah ada capaian seperti cadangan pangan pemerintah yang meningkat dan NTP mencapai 124 poin”, ungkapnya.

Riyono juga menilai, komitmen pemerintah untuk tidak melakukan impor hingga akhir tahun patut diapresiasi.

“Kalau komitmennya untuk tidak impor bisa dijaga sampai akhir 2025, mudah-mudahan ini betul-betul tercapai”, katanya.

Masalah Struktural Pertanian

Peneliti Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian menilai satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran masih menyisakan sejumlah struktural sektor pertanian. Namun, ia mengingatkan agar capaian tersebut tidak membuat pemerintah berpuas diri.

“Status swasembada kita itu bisa aja tidak berkelanjutan, karena kurangnya dari sisi pengembangan produktivitas, perbaikan irigasi infrastruktur secara prasarana, dan juga Research and development (R&D),” ujar dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (17/10/2025).

red
Calon pembeli memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (8/10/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Rizky Febriansyah
Advertisement image

Meski begitu, Eliza tak memungkiri Pemerintahan Prabowo memiliki capaian positif dalam peningkatan produksi beras selama setahun belakangan.

“Jumlah produksi beras memang meningkat, memang karena kondisi iklimnya lagi baik, sehingga produksi tahun 2025, Januari sampai Oktober itu 31 juta ton beras. Dibandingkan dengan tahun 2023-2024 itu karena terdampak El Nino makanya relatif rendah,” terang Eliza.

Ia menjelaskan kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) menjadi Rp.6500 per kilogram juga berdampak positif pada nilai tukar petani (NTP).

“Tapi ketika setelah kebijakan Rp6.500 ini diberlakukan, NTP itu naik dan stabil tinggi di atas angka Rp110-an terus. Jadi ini adalah capaian positif bagi petani, dan petani pun terbantu dengan adanya kebijakan tersebut,” ujarnya.

Swasembada Pangan Masuk Prioritas Asta Cita

Pemerintahan Prabowo-Gibran menetapkan ketahanan pangan menuju swasembada menjadi salah satu prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Kebijakan ini merupakan implementasi nyata dari Astacita poin kedua yang berfokus pada penguatan pertahanan dan kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air.

Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa perjuangan dan pengabdian dirinya sebagai politisi hingga Kepala Negara tidak akan tenang sebelum mewujudkan Indonesia menjadi negara yang berhasil swasembada pangan.

Prabowo menyatakan bahwa swasembada pangan merupakan kunci dari keamanan dan kemerdekaan suatu bangsa.

"Tidak ada bangsa yang merdeka sesungguhnya kalau bangsa itu tidak bisa produksi makannya sendiri. Karena itu, perjuangan saya selama saya di politik, pengabdian saya selalu fokus, saya tidak akan tenang sebelum Indonesia swasembada pangan," kata Presiden Prabowo dalam sambutannya pada panen raya jagung serentak kuartal II di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Kamis (5/6/2025) dikutip dari ANTARA.

Menurut Presiden, tidak ada bangsa yang dapat merdeka jika tidak bisa memproduksi pangannya sendiri. Itu sebab, Kepala Negara meminta swasembada pangan bisa tercapai oleh tiap provinsi.

Salah satu poin utama yang ditekankan Prabowo adalah penetapan harga gabah kering panen Rp6.500 per kilogram. Sementara harga jagung disepakati naik dari Rp5.000 menjadi Rp5.500.

red
Presiden Prabowo Subianto menaiki alat panen modern "combine harvester" saat meninjau langsung proses tanam dan panen padi di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, Minggu (3/11/2024). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden
Advertisement image

Kementan Sebut Indonesia Surplus Beras

Produksi padi dan beras Indonesia mencatat tren positif sepanjang 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, periode Januari–Oktober 2025 diperkirakan produksi beras nasional mencapai 31,04 juta ton atau meningkat 12,16% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Peningkatan ini didukung oleh luas panen yang lebih besar dan produksi gabah yang melimpah, sehingga stok pangan nasional semakin kuat dan terjaga.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut capaian ini sebagai hasil kerja keras petani, dukungan pemerintah, dan sinergi seluruh pihak dalam memperkuat ekosistem pangan.

“Dengan tren positif ini, Indonesia tidak hanya menuju swasembada, tetapi juga terus melangkah menuju cita-cita besar sebagai lumbung pangan dunia,” tuturnya.

Ia menambahkan saat ini produksi beras nasional sudah mengalami surplus hingga 4 juta ton.

Sementara itu, Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Nasional 2025 mencapai skor 73,00, terdiri dari aspek ketersediaan pangan (61,47), keterjangkauan pangan (82,70), dan pemanfaatan pangan (74,99).

red
Global Food Security Index GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2021 berada di level 59,2. Sumber: Economist Intelligence Unit
Advertisement image

Target Swasembada Tiga Bulan ke Depan

Kepala Badan Pangan Nasional sekaligus Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan arahan Presiden Prabowo Subianto agar percepatan swasembada pangan dilakukan seiring peningkatan kesejahteraan petani melalui kebijakan yang menguntungkan dan berkeadilan.

"(Tugas khusus dari Presiden Prabowo) swasembada (pangan) secepat-cepatnya, menguntungkan petani, konsumen tersenyum," kata Amran usai serah terima jabatan sebagai Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) dari Arief Prasetyo Adi di Jakarta, Senin (13/10).

Dia menegaskan target swasembada, khususnya komoditas beras, yang pada awalnya dibidik dapat tercapai dalam waktu empat tahun, namun dipercepat menjadi hanya satu tahun oleh Presiden Prabowo.

"Doakan mudah-mudahan tidak ada halangan dua sampai tiga bulan ke depan. Mimpi kita, target Bapak Presiden empat tahun swasembada, itu kita capai dalam waktu satu tahun dan itu adalah lompatan besar yang kita buat bersama," ujar Amran.

red
Produksi beras Januari-Oktober 2025 naik signifikan. Sumber: Instagram Kementerian Pertanian
Advertisement image

Swasembada Diklaim Meningkatkan Kesejahteraan Petani

Pemerintah menargetkan percepatan swasembada pangan sebagai langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengungkapkan, kebijakan ini mulai menunjukkan hasil signifikan dalam satu tahun terakhir.

"Saya juga diberi Keppres (Keputusan Presiden) mengenai percepatan swasembada pangan. Saya ambil contoh, baru satu tahun ya nilai tukar petani dari 101-106, sekarang 124 setahun," ujar Zulhas dalam acara ESG Now Awards 2025 di Jakarta, Kamis (16/10/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Hasil panen jagung petani di area lahan jagung di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Minggu (5/10/2025). Hasil kerangka sampel area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas panen jagung pipilan di Indonesia pada Agustus 2025 seluas 0,23 juta hektare, sedangkan jagung pipilan kering dengan kadar air 14 persen pada Agustus 2025 sebanyak 1,39 juta ton. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Advertisement image

Diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional.

Tim Koordinasi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tim Koordinasi memiliki tugas melakukan sinkronisasi, koordinasi, monitoring, evaluasi, dan pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional.

Apakah Food Estate Jawab Tantangan Swasembada?

Mengutip dari ANTARA, pemerintah menargetkan penambahan empat juta hektare luas panen baru dan peningkatan produksi beras, hingga 10 juta ton dalam lima tahun ke depan. Langkah itu menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang menekankan perluasan kawasan lumbung pangan atau food estate dan modernisasi pertanian.

Pemerintah menetapkan Papua Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan sebagai wilayah prioritas pengembangan pangan nasional.

Papua Selatan, khususnya Kabupaten Merauke, disiapkan sebagai kawasan produksi pangan terpadu dengan potensi lahan sekitar satu juta hektare. Pembangunan infrastruktur berupa jalan dan dermaga menjadi langkah awal memperlancar distribusi hasil panen di kawasan timur Indonesia.

Pemerintah juga menargetkan pencetakan sawah baru seluas 150 ribu hektare pada 2025 di Provinsi Kalimantan Tengah. Proyek itu dikembangkan berdasarkan evaluasi terhadap program sebelumnya yang menghadapi kendala produktivitas dan pengelolaan lahan gambut.

Pendekatan baru diarahkan agar pengelolaan kawasan lebih berorientasi pada karakter lahan mineral serta melibatkan petani lokal secara aktif. Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur juga menjadi bagian dari pengembangan pangan tahap berikutnya, dengan fokus pada komoditas unggulan, seperti jagung, sorgum, dan hortikultura.

red
Foto udara sawah untuk program food estate di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Foto diambil Sabtu (8/10/2022). (Foto: ANTARA/Makna Zaezar)
Advertisement image

Permasalahan Program Food Estate

Ketua Umum SPI Henry Saragih menilai bahwa selama ini kebijakan pangan masih berpihak pada korporasi, bukan petani. Sebab, program food estate dianggap bukan memprioritaskan kehadiran petani untuk memberi sumbangsih.

“Pertanian itu dikelola oleh petani-petani, bukan oleh korporasi-korporasi pangan. Karena kalau food estate itu ya dulu sudah ada di Indonesia yang namanya plantation estate. Tapi ya plantation estate di Indonesia yang maju, produksinya tinggi, tapi untuk ekspor dan untuk colonial,” ujar Henry.

“Jadi kalaupun ini food estate ya menurut kita bukan untuk petani, tapi untuk korporasi-korporasi pangan itu,” tambahnya.

Di lain pihak, Riyono mengingatkan kebijakan food estate yang bakal terus dilanjutkan pemerintah memiliki risiko besar.

“Food estate ini potensi gagalnya sangat tinggi. Kuncinya justru pada pangan lokal. Pangan lokal adalah pangan masa depan,” ujar Riyono.

Data dari Pantau Gambut menunjukkan program food estate berupa perkebunan singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah gagal total. Pasalnya, singkong tidak bisa tumbuh di sana. Padahal ratusan hektare hutan sudah kadung dibabat.

Tak jauh berbeda dengan Kalimantan Tengah, proyek lumbung pangan yang dibangun di atas 2,2 juta hektare lahan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, juga menambah catatan panjang polemik food estate.

red
Ilustrasi lahan food estate. Foto: greenpeace.org
Advertisement image

Percepatan Modernisasi Teknologi Pangan Dinanti

Eliza menyoroti tingginya biaya produksi dan distribusi beras di Tanah Air. Itu sebab, diperlukan akselerasi teknologi pangan yang memadai di seluruh daerah produksi.

“Sewa lahan dan biaya tenaga kerja itu hampir setengah dari total produksi beras. Karena kita masih labour intensif dan belum menerapkan teknologi modern,” ungkapnya.

Ia mendorong agar pemerintah meningkatkan investasi dalam riset dan inovasi pertanian, memperbaiki irigasi, serta memastikan antar kementerian bekerja dalam satu visi.

“Untuk mencapai swasembada pangan, semua kementerian harus searah, bukan hanya Kementerian Pertanian saja,” ujar Eliza.

Reforma Agraria Kunci Swasembada Pangan

Henry Saragih menyampaikan bahwa keberlanjutan kedaulatan pangan tidak bisa hanya bergantung pada produksi semata.

Menrutnya, pemerintah perlu menata ulang kebijakan agraria, memperkuat riset dan inovasi, membangun kelembagaan petani, serta memastikan keseimbangan dari hulu hingga hilir.

“Dunia bukan kekurangan pangan, tetapi rakyat di dunia yang tidak bisa membeli pangan. Jadi soal utamanya bukan sekadar produksi, tetapi memastikan pangan itu bisa dibeli oleh rakyat,” terangnya.

red
Pengunjuk rasa melakukan aksi Hari Pangan Sedunia di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (16/10/2025). Aksi tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali bahwa reforma agraria adalah sebuah kunci untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Advertisement image

Sementara itu, Eliza Mardian turut menilai reforma agraria yang dilakukan pemerintah masih terbatas dalam bentuk legalisasi aset, bukan redistribusi tanah yang sesungguhnya.

“Buktinya rasio gini lahan kita itu masih tinggi. Nah padahal lahan ini bukan hanya sekedar aset, tapi itu juga mencerminkan stabilitas dan kestabilan untuk para petani kita,” tuturnya.

Selain itu ia juga meyoroti pentingnya reforma agraria sebagai fondasi utama peningkatan kesejahteraan petani.

“Bagaimana mungkin produksi petani meningkat bisa bawa kejahteraan kalau mayoritas petani kita adalah petani gurem, yang jumlahnya itu lebih dari 60 persen. Mayoritas sekarang kan sudah lebih dari 16 juta jiwa,” tegasnya.

Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai cita-cita reforma agraria yang menjadi jalan yang ditawarkan Prabowo-Gibran untuk menyejahterakan petani hanya menjadi janji politik belaka.

“Tapi tidak benar-benar dieksekusi secara serius tatkala menjabat. Itulah sebabnya konflik agraria terus meruyak. Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan makin menganga. Hanya dengan modal lahan yang cukup janji-janji petani akan sejahtera setidaknya bisa ditungggu,” katanya.

Swasembada yang Dipertanyakan

Khudori mempertanyakan program swasembada pangan era Prabowo. Sebab, kata dia, sejak dilantik sampai saat ini presiden dan para pembantunya di Kabinet Merah Putih belum pernah menjelaskan.

“Apa yang dimaksud dengan Apakah swasembada pangan diterjemahkan dalam swasembada komoditas, seperti era Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima KBR Media, Senin (20/10/2025).

“Jadi, ada sekian komoditas yang ditargetkan swasembada. Atau swasembada berbasis gizi: swasembada karbohidrat, swasembada protein, swasembada lemak. Sumber karbohidrat bisa dari pangan apa saja,” tambahnya.

red
Pengunjuk rasa membawa poster aspirasi saat aksi Hari Tani Nasional ke-65 di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
Advertisement image

Khudori mengingatkan agar pemerintah memperjelas definisi swasembada. Menurutnya, tanpa kejelasan maksud swasembada pangan maka akan sulit bagi publik untuk menilai capaian karena tidak ada patokan atau rujukan yang pasti.

“Apakah swasembada dimaksudkan ketika 90% kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dari produksi domestik? Jadi ada ruang impor 90%. Atau harus tidak ada impor alias 100% kebutuhan domestik harus dipenuhi dari produksi sendiri,” terangnya.

Swasembada Pangan atau Komoditas?

Khudori mengatakan jika swasembada pangan yang dimaksud Presiden mengacu pada definisi di UU Pangan, maka mustahil Indonesia bisa meraih swasembada pangan.

Ia menyebut, meskipun Indonesia kaya sumber daya alam dan plasma nutfah, namun tidak mungkin semua kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari produksi sendiri.

“Apalagi kalau menggunakan definisi swasembada manakala tidak ada impor alias 100% kebutuhan konsumsi dipenuhi dari produksi sendiri,” tegasnya.

Menurut Analisis Khudori, jika merunut penjelasan Presiden dan menteri Kabinet Merah Putih di berbagai kesempatan, sepertinya yang dimaksud swasembada pangan adalah swasembada berbasis komoditas.

“Di tahun-tahun awal ini difokuskan pada komoditas padi dan jagung. Komoditas lain digarap pada tahun-tahun berikutnya. Lalu, definisi swasembada adalah ketika 90% kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dari produksi sendiri,” jelasnya.

Beras Dinilai Sudah Swasembada

Untuk beras, Khudori beralasan jika kalau menggunakan definisi di atas, sebenarnya Indonesia sudah lama swasembada. Menurutnya, hanya pada tahun-tahun tertentu saja Indonesia ini tidak swasembada.

“Periode 2018-2024, impor beras (Bulog dan swasta) rerata hanya 3,85% dari total konsumsi. Pada periode itu porsi impor terbesar, yakni 15,03%, terjadi di tahun 2024. Tahun lainnya porsi impor di bawah 10%. Impor jagung pun selalu di bawah 10%,” ungkapnya.

red
Petugas mengamati proses pengemasan beras SPHP saat sidak di Gudang Bulog Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (9/10/2025). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra
Advertisement image

Tahun ini produksi beras diperkirakan ada surplus cukup besar, lebih dari 3 juta ton. Ini surplus terbesar sejak 2019. Produksi jagung pun naik lumayan tinggi: lebih 8%. Selain karena peningkatan jumlah volume pupuk subsidi, peningkatan anggaran, dan cuaca yang bersahabat, tentu juga lantaran pengawalan intens jajaran Kementerian Pertanian.

“Kalau produksi tidak naik justru menjadi pertanyaan besar,” tutur Khudori.

Budidaya Pertanian Abaikan Keberlanjutan

Khudori menambahkan sistem budidaya pertanian Indonesia kian menjauhi kaidah keberlanjutan. Ia mengungkap temuan 66,49% lahan pertanian di Indonesia, merujuk Survei Ekonomi Pertanian 2024 BPS, masuk kategori tidak berkelanjutan.

Selain itu, kata dia, lebih 75% lahan-lahan sawah intensif kekurangan bahan organik. Dengan kandungan bahan organik di bawah 2% membuat lahan sawah kurang optimal dalam usaha tani.

“Seresah panen perlu dikembalikan ke sawah dan mengombinasikan pupuk kimia dengan pupuk organik,” katanya.

Dalam 10 tahun terakhir, lanjut Khudori, jumlah petani gurem (menguasai lahan kurang 0,5 ha) bertambah banyak.

“2,64 juta orang. Naik dari 14,25 juta pada 2013 menjadi 16,89 juta petani gurem pada 2023,” jelasnya.

Selain itu, kata Khudori, Menurut hasil Sensus Pertanian 2023, rerata penguasaan sawah petani hanya 0,2 hektare (ha).

“Bagi petani berlahan secuil ini, pendapatan dari non-usaha tani jauh lebih besar dan jauh lebih penting. Karena itu, usaha tani hanya sambilan,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Korban Bullying Meninggal di Grobogan, Kasus Berulang yang Perlu Pendekatan Holistik

Menteri Agama Bilang Kekerasan Seksual di Pesantren Dibesar-besarkan Media, Faktanya?

Presiden prabowo
Prabowo Subianto
swasembada pangan
pangan
Prabowo-Gibran
Petani
kesejahteraan petani


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...