ragam
Menteri Agama Bilang Kekerasan Seksual di Pesantren Dibesar-besarkan Media, Faktanya?

22 orang perempuan diduga jadi korban kekerasan seksual seorang ustaz di pondok pesantren Desa Kekait, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Penulis: Heru Haetami

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Kekerasan Seksual di Pesantren Itu Fakta bukan Dibesar-besarkan Media
Menteri Agama Nasaruddin Umar (foto- ANTARA-Rivan Awal Lingga)

KBR, Jakarta- Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di pondok pesantren merupakan fenomena nyata, bukan dibesar-besarkan media.

Penegasan ini disampaikan Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Daden Sukendar menanggapi pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar soal kejahatan seksual di pesantren.

Daden bilang, kekerasan seksual di pesantren adalah persoalan serius, tidak dapat dianggap sepele dan dinormalisasi.

“Perlu upaya konkret terutama dari Kementerian Agama untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di pesantren. Komnas Perempuan selama ini mencatat kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, merupakan fenomena nyata, bukan sekadar rumor atau hiperbola media,” kata Daden kepada KBR, Kamis, (16/10/2025).

Dalam periode 2015-2021, Komnas Perempuan mencatat, kekerasan berbasis gender (KBG) di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam sekitar 16 persen. Urutan kedua setelah perguruan tinggi.

Daden bilang, kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan berbasis gender di lembaga pendidikan. Dalam data catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, periode 2015-2021, terdapat 87,91 persen dari kasus KBG di pendidikan adalah kekerasan seksual; termasuk perkosaan, pencabulan, dan pelecehan.

Pelakunya, seringkali adalah guru, dosen, atau ustaz/figur pengajar yang memiliki otoritas atau hubungan yang dipercaya korban.

Dalam laporan CATAHU 2022 disebutkan, pelaporan kekerasan seksual di pendidikan pesantren mengalami fluktuasi selama periode 2015-2021.

“Tidak selalu naik atau turun secara linear. Misalnya, di antara lembaga pendidikan, jumlah laporan di pesantren atau pendidikan berbasis agama islam tetap cukup besar, tetapi tidak selalu yang tertinggi setelah perguruan tinggi,” katanya.

red
Data Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan (data: Komnas Perempuan, grafis: AI)
advertisement


Komnas Perempuan selama ini sudah terlibat penanganan sejumlah kasus kekerasan seksual di pondok pesantren di tanah air.

“Contoh: kasus MSAT/Bechi di Jombang, dan menjalin kerja sama berbagai lembaga untuk memastikan hak korban terpenuhi. Banyak lagi yang sudah kita lihat dan dengar seperti kasus HW di Bandung yang melakukan kekerasan seksual terhadap 13 santrinya di Bandung, dan banyak lagi kasus-kasus lain di Indonesia,” ungkap Daden.

Secara umum, jumlah kasus kekerasan di lembaga pendidikan mengalami kenaikan pada 2024. Yang paling dominan adalah kekerasan seksual dengan persentase 42 persen.

Angka ini berdasarkan pemantauan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dari Januari hingga Desember 2024.

“Di model asrama, sekolah-sekolah berasrama ada juga yang bentuknya pesantren itu 15 persen,” ucap Ubaid Matraji Koordinator Nasional JPPI, Rabu, (15/10/2025).

Pencegahan Lemah

Ubaid bilang, penyebab utama tingginya kasus kejahatan, khususnya kekerasan seksual, adalah kurang optimalnya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan atau Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK).

“Satgas-satgas pencegahan kekerasan itu tidak punya peran cukup kuat. Mereka belum bekerja secara optimal, bahkan dalam beberapa kasus sekolah-sekolah tidak ada TPPK, tim pencegahan dan penanggulangan kekerasan itu belum terbentuk,” katanya.

Menurut Ubaid, lemahnya perspektif gender dan perlindungan anak dari para pemangku kepentingan dapat memperparah situasi tersebut. Pemahaman yang keliru mengenai keadilan gender dapat membuat kelompok tertentu menjadi pelaku kekerasan.

Itu sebab, alih-alih menuding media membesar-besarkan kasus kekerasan seksual di pesantren. Ubaid mendorong pemerintah menguatkan pemahaman perlindungan anak yang adil gender.

“Karena itu maka menjadi sangat penting di level lembaga pendidikan, kemudian pemerintah daerah, dan juga pemerintah pusat itu menguatkan tentang perspektif gender dan perlindungan anak,” ujar Ubaid.

red
Ilustrasi (foto: kecerdasan buatan)
advertisement


Tantangan Besar yang Dihadapi Korban

Sementara itu, di lembaga pendidikan keagamaan, seperti pesantren, relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku menjadi masalah besar yang dihadapi korban.

Komisioner Komnas Perempuan Daden Sukendar mengungkap, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan terjadi karena pelaku memiliki posisi otoritatif dan spiritual.

“Misalnya kiai, ustaz, pengasuh, atau guru senior. Sementara korban adalah santri yang secara sosial, ekonomi, dan spiritual bergantung pada lembaga tersebut. Kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren sering kali terjadi dalam konteks relasi kuasa yang asimetris. Korban sulit menolak atau melapor karena pelaku memiliki otoritas agama dan sosial yang tinggi,” ucap Daden.

Persoalan lain kata Daden, adanya budaya tutup mulut yang kuat di lembaga berbasis agama, di mana kekerasan dianggap aib yang harus disembunyikan agar tidak mencoreng nama lembaga atau guru.

“Korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan mengalami tekanan ganda. Takut stigma sosial dan takut dianggap mencemarkan nama lembaga,” katanya.

Selain itu, minimnya mekanisme pengaduan dan perlindungan internal bagi korban. Ketiadaan SOP dan mekanisme pengaduan juga membuat korban tidak tahu harus melapor ke mana, dan siapa yang bisa dipercaya.

“Komnas Perempuan mendorong Kemenag menerapkan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren, tapi implementasinya masih terbatas dan belum merata,” ujar Daden.

Hal lain adalah stigma dan ketakutan sosial. Rasa malu, takut disalahkan, dan stigma agama menjadi penghalang utama bagi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan untuk melapor.

Belum lagi persoalan hambatan akses terhadap keadilan hukum, minimnya pendampingan dan pemulihan korban.

“Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah adanya keterbatasan literasi tentang kekerasan seksual. Akibatnya, mereka tidak menyadari bahwa yang mereka alami adalah kekerasan, bukan ujian atau bentuk kasih sayang guru,” imbuhnya.

Peran Media dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual

Daden mengakui, media mempunyai fungsi penting untuk membuka ruang publik dan edukasi publik agar kasus kekerasan tak tersembunyi. Peran media sangat krusial untuk menembus kultur diam atau silence culture.

“Peran media sangat penting dalam mengungkap kekerasan berbasis gender yang selama ini tersembunyi, termasuk di lembaga pendidikan berbasis agama. Pemberitaan bukan pembesaran, melainkan bentuk akuntabilitas sosial,” katannya.

Bagi daden, tanpa media, publik tak akan tahu sejauh mana kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan keagamaan.

“Tetapi, dengan media yang sensitif korban, kita bisa mulai bicara soal keadilan dan pemulihan. Komnas menekankan, pemberitaan sensitif dan berbasis korban membantu; mengangkat suara korban yang tak punya ruang untuk bicara langsung, mendorong aparat penegak hukum bertindak, menekan lembaga pendidikan agar memperbaiki tata kelola dan SOP perlindungan, mengubah opini publik dari ‘aib lembaga’ menjadi ‘tanggung jawab bersama’.” pungkasnya.

red
Ilustrasi di Pesantren. (foto: kecerdasan buatan)
advertisement


Pernyataan Menag Umar

Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut kasus kejahatan seksual di lingkungan pondok pesantren dibesar-besarkan media.

Itu dikatakan Menteri Agama Nasaruddin Umar di kantor Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PM), Selasa, 14 Oktober 2025.

Menteri Umar menilai pemberitaan tentang kejahatan seksual menjadi ancaman bagi pesantren.

“Adanya kejahatan seksual di pondok pesantren yang dibesar-besarkan media, padahal itu hanya sedikit jumlahnya. Jangan sampai pihak-pihak yang berkeringat beratusan tahun lamanya sudah lebih 200 tahun membangun Pondok Pesantren itu yang terpaksa, yang dikonotasikan sangat negatif," katanya.

Kekerasan Seksual di Pesantren

Tahun ini beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di sejumlah pesantren terungkap ke publik. Contohnya, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Di sana sembilan santri jadi korban kekerasan seksual salah satu pengasuh pondok pesantren.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan, tidak ada satu pun anak dan perempuan boleh menjadi korban kekerasan, terlebih kekerasan seksual. Karena itu, ia mengecam dan prihatin dengan peristiwa ini.

"Tindakan kekerasan seksual, terlebih jika dilakukan pihak yang seharusnya berperan sebagai pendamping dan pelindung bagi anak, merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan," katanya di Jakarta, Senin, 26 Juli 2025, seperti dikutip dari situs Kemenpppa.go.id.

Kekerasan seksual di ponpes itu diduga terjadi sejak 2016-2024. Salah satu korban melaporkan apa yang dialaminya. Berdasarkan pendalaman, ada salah satu korban hamil dan kemudian digugurkan pada 2018.

Polres Sumenep telah menangani laporan kasus ini pada 3 Juni 2025. Berkasnya telah diserahkan ke kejaksaan pada 17 Juli 2025.

"Polres Sumenep manangkap pelaku pada 20 Juni 2025 di Kabupaten Situbondo. Kami akan terus memantau proses hukum yang berjalan, agar pelaku mendapat hukuman sesuai perundang-undangan," kata Menteri Arifah.

red
Sejumlah perempuan berfoto dengan alat peraga kampanye Indonesia Bebas Kekerasan Seksual di Aceh Utara (10/12/2019). (Foto: ANTARA/Rahmad)
advertisement


Puluhan Santri

Sebelum kasus di Sumenep terungkap, sekitar 22 orang perempuan diduga jadi korban kekerasan seksual seorang ustaz di pondok pesantren Desa Kekait, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Menurut Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB, Joko Jumadi, puluhan korban itu sebagian besar berstatus alumni ponpes.

Dari jumlah tersebut, baru ada tujuh orang yang berkenan memberikan keterangan ke Polresta Mataram. Mereka berani melapor karena terinspirasi film Bidaah karya sineas Malaysia yang sempat viral.

Kekerasan seksual diduga terjadi sejak 2016-2023 di kamar asrama pada waktu dini hari. KSKS NTB mendampingi korban melapor pada Rabu, 16 April 2025.

"Yang diduga mengalami persetubuhan sekitar 10 orang, sisanya mengalami pencabulan. Semuanya masih anak-anak saat kejadian," kata Joko, Senin, 21 April 2025, seperti dikutip dari ANTARA.

Kata Joko, terduga pelaku, yakni AF, menjanjikan "keberkatan" pada rahim para korban agar dapat melahirkan anak-anak yang akan menjadi wali.

"Terduga pelaku menggunakan relasi kuasa dan kedekatan spiritual untuk memanipulasi korban secara psikologis," katanya.

Kurikulum Antipencabulan

Soal kekerasan seksual di satuan pendidikan baik di sekolah formal maupun berbasis keagamaan seperti pesantren, Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Lalu Hadrian Irfani pernah mengingatkan soal pentingnya kurikulum antipencabulan.

Sebab menurutnya, pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan prestasi, tetapi juga melindungi martabat.

Karena itu, ia mengajak pemerintah menjadikan pendidikan antipencabulan di sekolah dan pesantren sebagai prioritas kurikulum nasional.

"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian berkata 'tidak' terhadap pelecehan," katanya Selasa, 22Juli 2025, dikutip dari ANTARA.

Anggota DPR asal NTB ini mencontohkan sejumlah negara yang sudah menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak, seperti Jerman, Swedia, dan Belanda.

Ia tidak ingin, sekolah dan pesantren yang seharusnya jadi tempat menumbuhkan karakter dan keadaban anak bangsa malah menjadi tindak pencabulan. Tak sedikit anak-anak usia SD dan SMP jadi korban pencabulan guru, ustaz, hingga pengasuh ponpes.

"Tempat yang seharusnya jadi rumah kedua bagi anak-anak, kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," ujarnya.

Baca juga:

Menteri Agama Nasaruddin Umar
Kekerasan Seksual
Pondok Pesantren

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...