ragam
Korban Bullying Meninggal di Grobogan, Kasus Berulang yang Perlu Pendekatan Holistik

Pakar menilai urgensi keterlibatan lintas sektor dan komitmen serius dari pemerintah diperlukan untuk mengubah paradigma pendidikan yang masih permisif terhadap kekerasan.

Penulis: Naomi Lyandra, Astri Septiani

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
bully
Siswa mengikuti sosialisasi pencegahan perundungan (bullying) di SMP Negeri 4 Banda Aceh, Aceh, Senin (20/1/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kasus perundungan atau bullying terus terjadi di daerah, teranyar kematian siswa kelas VII SMP Negeri 1 Geyer, Grobogan, Jawa Tengah berinsial ABP, yang diduga meninggal akibat perundungan yang dilakukan kawannya di sekolah. Kasus ini menjadi sorotan publik dan menambah daftar panjang kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. 

Psikolog Anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyebut kasus perundungan yang terus terjadi ibarat fenonema gunung es.

Kak Seto, penggilan akrab Seto Mulyadi, menilai penyebab utama maraknya kasus perundungan karena faktor pembiaran dan ketidakpedulian dari orang tua, guru hingga dinas pendidikan di daerah.

“Tetapi beberapa kasus yang kemudian juga kami tangani, kami terjun ke sekolah, itu cenderung adanya tadi pembiaran. Bahkan beberapa orang tua ada yang mengatakan, ‘ah namanya juga anak-anak’, ‘jangan terlalu cengeng’, sedikit berantem, sedikit diejek, dan sebagainya itu enggak apa-apa, dan sebagainya. Jadi ini semua yang membuat tindakan bullying ini semakin merekah, semakin banyak terjadi karena ketidakpedulian tadi, ”kata Kak Seto dalam program Ruang Publik yang disiarkan di Youtube KBR Media, Kamis (16/10/2025).

Kak Seto mengatakan peristiwa kekerasan terhadap anak semestinya tidak terjadi di lingkungan sekolah yang menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang. Sebab, kata dia, aturan Undang-Undang Perlindungan Anak tegas mengatur soal hak anak yang wajib dilindungi dari berbagai tindak kekerasan di lingkungan sekolah.

red
Psikolog Anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto. Foto: Youtube KBR Media
advertisement

Kasus Bullying Terus Jadi Sorotan

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya siswa di Grobogan, Jawa Tengah, akibat dugaan bullying oleh teman-temannya.

KPAI juga menyoroti dua kasus serupa sebelumnya di Nusa Tenggara Timur dan Wonosobo yang juga menelan korban jiwa. Kata Aris, kasus-kasus ini menunjukkan bahwa sekolah belum menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak.

“KPAI menilai kurangnya pengawasan dari pihak sekolah, gagalnya sistem deteksi dini, dan minimnya koordinasi antar lembaga dalam mencegah serta menangani kekerasan di lingkungan pendidikan,” tutur Aris kepada KBR.

Untuk itu, kata dia, KPAI mendesak Kepolisian segera mengungkap motif dan memproses pelaku sesuai UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu Pemerintah Daerah diminta memberikan pendampingan psikososial, bantuan hukum, dan bantuan sosial kepada keluarga korban.

Selain itu, pihak sekolah dan pemerintah juga diminta memperkuat kapasitas SDM, sistem rujukan layanan anak, dan bimbingan teknis pencegahan kekerasan.

KPAI melaporkan bahwa sepanjang 2023 terdapat 3.800 kasus perundungan, hampir separuh di antaranya terjadi di sekolah dan pesantren. Kemudian pada tahun 2024, lembaga ini menerima 2.057 pengaduan terkait perlindungan anak, dengan 954 kasus sudah ditindaklanjuti.

red
Data jumlah kasus bullying KPAI dan JPPI. Sumber: JPPI
advertisement

Perlindungan Anak di Satuan Pendidikan Lemah

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Agustinus Sirait, berpendapat maraknya perundungan yang berujung pada kekerasan verbal maupun fisik di sekolah menunjukkan kelemahan implementasi perlindungan anak di satuan pendidikan.

“Komnas PA terakhir meluncurkan data sepanjang 2024 bahwa ada 24 persen dari total pelaporan digital, sebanyak 4.388, yang ini jadi catatan serius buat kita. Karena peristiwa kekerasan fisik dan psikis ini masuk ke dalam bullying, itu menempati 24 persen dan kluster kedua yang sangat memprihatinkan buat kita,” ujar Agustinus dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (16/10/2025).

Ia menyoroti lemahnya pelaksanaan peraturan yang seharusnya mewajibkan setiap sekolah membentuk satuan tugas perlindungan anak.

“Undang-undangnya menyebut harus dibentuk di setiap sekolah satgas pelindung anak dari kekerasan. Tapi fakta di lapangan seringkali satgas itu dibentuk hanya untuk mencairkan dana BOS, dana PIP, dan sebagainya. Artinya perangkatnya sudah ada, tapi kita semua belum menjalankan fungsinya dengan sungguh-sungguh,” katanya.

red
Siswa-siswi SMAN 1 Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (23/8/2025). ANTARA/HO-BKKBN Jateng
advertisement

Sementara itu, Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta sekaligus peneliti dan asesor, Dr. Eva Imania Elisa menilai fenomena bullying di sekolah-sekolah merupakan fenomena gunung es yang selama ini dibiarkan.

“Memang fenomena bullying itu kan fenomena gunung es. Kita tidak tahu di manapun itu pasti sebenarnya terjadi. Di setiap jenjang pendidikan itu ada kondisi bullying di sana, fenomena bullying. Ini sebenarnya merupakan kelalaian sistemik,”, ujar Eva dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (16/10/25).

Ia menyoroti lemahnya ketegasan dari pihak sekolah maupun otoritas pendidikan. Menurutnya, pembiaran terhadap perilaku bullying justru menormalisasi kekerasan di kalangan pelajar.

“Kita tidak bisa menganggap kalau dengan berdamai sudah selesai. Ini harus proses yang tegas. Karena bagaimanapun juga ketika ada pembiaran terjadi, kemudian menormalisasi bahwa ini wajar, ada kakak tingkat kemudian menindas adiknya, ini kan berarti tidak bisa dibenarkan terus-menerus,” kata Eva.

Dari Mana Akar Bullying?

Agustinus menyebut, akar masalah bullying sering kali berawal dari rumah. Selain iu, faktor lingkungan tempat tinggal dan pergaulan turut memengaruhi.

“Banyak kejadian ini terjadi karena anak-anak di rumah sendiri melihat kekerasan itu terjadi. Sehingga anak terbiasa dan membawanya ke rumah keduanya, ke sekolah,” ujarnya.

Ia menekankan soal budaya kekerasan yang masih mengakar kuat, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi. Itu sebab, diperlukan keterlibatan lintas sektor dan komitmen serius dari pemerintah untuk mengubah paradigma pendidikan yang masih permisif terhadap kekerasan.

“Kita masih menjalankan budaya kekerasan sesungguhnya. Misalnya di kampus atau komunitas, senior memberlakukan kekerasan kepada juniornya. Berikutnya kita mintakan juga pertanggungjawaban moral dari pengaruh media digital yang bisa memperparah perilaku anak-anak,” ucapnya.

Di lain pihak, Eva menegaskan, banyak faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya bullying, mulai dari lingkungan sekolah yang tidak nyaman, lemahnya peran keluarga dalam pola asuh, hingga pertemanan yang tidak sehat.

“Faktor pertamanya adalah bagaimana sekolah itu membuat kondisi yang nyaman, adanya ruang yang nyaman buat siswanya. Kemudian yang kedua faktor lainnya adalah bagaimana di situ keluarga berperan penting terhadap parenting kepada anaknya. Karena pertemanan ini justru ujung awalnya dari pertemanan katanya,” jelas Eva.

red
Pelajar SD Al Jihad melihat poster hasil karya siswa bertema stop bullying di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (17/4/2025). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/nym. (ANTARA FOTO/OLHA MULALINDA)
advertisement

Sanksi Tegas Kepada Sekolah Maupun Pelaku Anak

Terkait kasus perundungan di Grobogan, Kak Seto mendorong adanya sanksi tegas untuk setiap kejadian di lingkup satuan pendidikan.

“Bahwa harus ada sanksi yang tegas kepada sekolah. Apakah kepala sekolah yang paling

bertanggung jawab terhadap keadaan itu? Jadi bahwa itu ada pemidanaan itu jelas. Atau bisa saja pemidanaan, bisa juga sanksi dari dinas pendidikan setempat,” tutur Kak Seto.

“Ini juga saya kira karena ini merupakan suatu bagian dari tugas pendidikan mungkin koreksi terhadap kepala dinas setempat juga,” tambahnya.

Kak Seto menambakan pemberian sanksi kepada anak-anak terbuka untuk dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurutnya, pengenaan sanksi bisa bersifat edukatif.

“Karena kalau terus dibiarkan tanpa sanksi tegas, semua sekolah cenderung membiarkan berbagai proses perundungan ini,” terangnya.

Sementara, Eva menegaskan pentingnya sanksi yang jelas bagi pelaku dan pihak sekolah yang lalai, serta perlunya kepekaan orang tua dalam mengenali perubahan perilaku anak.

“Kalau kita menganggap itu sebagai normal biasa, bagaimana masa depan anak-anak Indonesia? Maka di sini faktor yang harus berperan penting memang ketegasan dari semua pihaknya. Baik dari sekolah itu seperti apa, kalaupun ada sanksi tegas harus seperti apa untuk efek jera," tambahnya.

red
Persentase korban bullying berdasarkan jenjang pendidikan. Sumber: SAFEnet
advertisement

Kasus Bullying di Grobogan

Polisi tengah mengusut kasus dugaan bullying berujung pada penganiayaan terhadap siswa SMP Negeri 1 Geyer, Grobogan, Jawa Tengah berinsial ABP. Setelah serangkaian pemeriksaan, dua orang ditetapkan sebagai tersangka.

"Kami juga telah melakukan gelar perkara terhadap kasus ini, sehingga dari rangkaian pengusutan tersebut, kepolisian tetapkan dua anak berhadapan dengan hukum sebagai tersangka," ujar Kapolres Grobogan, Rizky Ari Budianto, Rabu (15/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Sebanyak 17 saksi telah diperiksa polisi dalam pengusutan kasus ini. Dua tersangka kitu berinisial A dan F, yang merupakan teman satu kelas korban.

Rizky menjelaskan peristiwa itu berawal dari ejekan pelaku kepada korban. Kemudian mengakibatkan terjadinya perkelahian hingga korban mengalami luka di kepala dan berakhir meninggal di dalam kelas.

red
KAMPANYE STOP BULLYING DI MEDAN Sejumlah siswa mengikuti kampanye "Stop Bullying" di Medan, Sumatera Utara, Senin (12/11/2018). (ANTARA /SEPTIANDA PERDANA)
advertisement

Sekolah Mesti Berusaha Cegah Bullying

Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief mengingatkan bahwa semua sekolah di Tanah Air harus mempunyai komitmen yang kuat dalam menghapus praktik perundungan usai berulangnya kasus di Grobogan.

“Seluruh pihak di sekolah harus punya komitmen kuat untuk menghapus praktik perundungan. Guru dan kepala sekolah harus jeli memantau perilaku siswa. Jangan menyepelekan tanda-tanda perundungan hingga akhirnya murid menjadi korban,” ujar Habib di Jakarta, Senin (13/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Syarief menekankan bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan atau perundungan. Selain itu, ia mengingatkan pentingnya kewaspadaan dan kepedulian pihak sekolah terhadap gejala-gejala perundungan yang muncul di lingkungan pendidikan.

Syarief meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memberikan sanksi kepada pihak sekolah apabila terbukti gagal melindungi siswa dari praktik perundungan.

“Kami sangat prihatin atas kematian siswa bernama Angga. Ini bukan hanya duka bagi keluarga, tetapi juga bagi bangsa. Kasus ini harus diinvestigasi secara menyeluruh dan transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi,” tegasnya.

Apa Solusi untuk Mencegah Kasus Bullying?

Kak Seto mendorong pemberdayaan dari lingkungan keluarga untuk menciptakan komunikasi yang efektif dan terbuka, sehingga anak-anak dengan mudah bisa menceritakan pengalaman-pengalaman negatifnya termasuk jika mengalami bullying. Selain itu, orang tua juga diminta tidak terlalu sibuk dan berupaya meluangkan waktu untuk mendengar curahan hati putra putri mereka.

“Makna pendidikan sejati bukan sekadar mengisi kepala anak dengan informasi, tetapi mengembangkan potensi unik setiap anak. Semua anak cerdas, tetapi pada bidang yang saling berbeda,” tuturnya.

red
Siswa berinteraksi dengan peserta KKM FISIP Universitas Tanjungpura. Foto: ANTARA
advertisement

Kak Seto mengibaratkan, jika setiap anak ditanamkan cinta, kasih sayang dan kepedulian, maka akan timbul rasa nyaman sebagai dirinya sendiri. Selain itu, kenyamanan juga akan muncul ketika proses pendidikan berjalan di rumah, sekolah dan lingkungannya.

“Isu perundungan ini jadi kesadaran bersama, maka secara bertahap upaya-upaya mengatasi bullying ini juga akan semakin efektif,” terangnya.

Peran Keterlibatan Semua Pihak

Sementara itu, Aris Adi Leksono menegaskan pentingnya peran semua pihak dalam mencegah bullying, dengan membangun pergaulan yang setara, menumbuhkan resiliensi anak, dan menciptakan lingkungan yang peduli dan berani melapor.

“Harus berani melarang, melerai dan lapor ketika melihat kejadian bullying. Perilaku bullying bisa dicegah dengan mewujudkan pergaulan setara, tidak ada yang merasa lebih dan tidak ada yang merasa kurang. Penting juga menumbuhkan reseliensi anak, agar tumbuh self control untuk tidak melakukan tindak bullying,” kata Aris.

Menurutnya, kasus perundungan di Grobogan harus menjadi panggilan darurat bagi semua pihak untuk membangun pendidikan yang ramah anak dan bebas kekerasan.

“Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat, para tenaga hukum, pemerintah, dan masyarakat. Kita jadikanlah kasus tragedi di Grobogan ini menjadi sebuah panggilan darurat buat masing-masing kita. Kalau anak-anak hari ini sebetulnya adalah cerminan apa yang kita tulis masa lalu,” kata Agustinus.

Ia juga menyampaikan agar semua pihak menjadikan kasus ini sebagai tanggung jawab kolektif.

“Stop salahkan anak. Kegagalan perilaku buruk anak-anak hari ini adalah pecerminan kegagalan kita, orang dewasa. Kita harus jadikan masalah bullying ini menjadi tanggung jawab kolektif kita semua," tegasnya.

red
Dua orang remaja sedang mencurahkan perasaannya dalam dinding afirmasi positif pada acara Gebyar Mental Sehat Remaja Indonesia di Kantor Kemendukbangga/BKKBN, Jakarta, Kamis (14/8/2025). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
advertisement

Pendekatan Holistik Atasi Bullying

Di lain pihak, Eva menekankan perlunya pendekatan menyeluruh dalam menangani bullying, tidak hanya fokus pada korban dan pelaku, tetapi juga pada sistem pendidikan, pelatihan guru, dan peran orang tua.

“Masalah bullying ini kan masalah sistemik dan sosial yang luar biasa. Karena itu, penanganannya pun juga harus holistik dari semua sisi. Jadi pelaku juga ibaratnya ketika dia melakukan itu, harus ada unsur bahwa ini aku tidak akan melakukannya lagi,” ujar Eva.

“Menurut saya karena bullying adalah masalah sosial, masalah sistemik, maka harus ada penanganan yang holistik,” imbuhnya.

Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menekankan pentingnya pemerintah daerah, sekolah, dan keluarga untuk memperkuat pendidikan karakter serta membangun budaya tanpa kekerasan di lingkungan pendidikan.

"Kasus ini menjadi refleksi penting bahwa kekerasan di sekolah adalah persoalan serius yang harus dicegah bersama," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Jumat (10/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Setiap satuan pendidikan juga diharapkan memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPK) yang selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Menimbang Izin UMKM Urus Tambang

Tantangan Transformasi Museum Era Kekinian

perundungan
bullying
sekolah

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...