KIKA menilai surat edaran sebagai bentuk pembungkaman yang bertentangan dengan konstitusi.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kontroversi mencuat usai Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) terkait larangan pelajar terlibat dalam aksi demonstrasi terbit.
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah atau yang akrab disapa Castro, mengatakan surat edaran sebagai bentuk pembungkaman yang bertentangan dengan konstitusi.
“Larangan bagi pelajar untuk terlibat dalam demonstrasi jelas adalah bentuk pembatasan sekaligus pemukaman terhadap kebebasan ekspresi mereka. Kita mesti paham bahwa kebebasan berekspresi adalah mandatori dari Undang-Undang Dasar Pasal 28. Saya pikir itu, no debat,” ujar Herdiansyah dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (11/9/2025).
Ia juga menyinggung aspek historis, bahwa pelajar selalu punya peran dalam perjalanan politik bangsa sejak puluhan tahun silam.
“Kalau kita belajar misalnya dari founding parents kita, mereka sudah terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik bahkan sejak usia 15-16 tahun. Jadi kalau ada upaya pembatasan pelajar untuk terlibat di dalam demonstrasi, itu sama saja dengan mengerdilkan peran pelajar,” katanya.
Hambat Kesadaran Politik Generasi Muda
Menurut Herdiansyah, surat edaran ini bisa menghambat tumbuhnya kesadaran politik generasi muda. Apalagi, kata dia, pembelajaran politik penting dimulai dari pemuda yang menuntut ilmu di sekolah.
“Kalau kemudian larangan itu diterapkan di sekolah-sekolah, itu sama saja dengan menghambat pertumbuhan kesadaran politik bagi pelajar. Itu sayang banget gitu. Kita akan kehilangan generasi yang seharusnya bisa membuka mata dan telinganya terhadap semua peristiwa politik,” terangnya.
Herdiansyah menegaskan, bahwa larangan pelajar berunjuk rasa bukan merupakan solusi untuk menghambat sikap kritis mereka. Itu sebab, SE larangan pelajar untuk demo semestinya dicabut.
“Yang paling penting adalah bukan melarang, tetapi menuntun supaya kesedaran itu bertumbuh dengan baik. Bagaimana justru harusnya menuntun mereka, memimpin mereka, mengorganisasi mereka supaya gerakan pelajar juga adalah gerakan yang terpimpin dengan baik,” ujar Herdiansyah.
“Surat edaran itu, kalau kita baca secara detail, itu bentuk pembangkangan terhadap perintah konstitusi. Jadi memang sebaiknya, dicabut saja,” tegasnya.

Salah Satu Contoh Sikap Pemda
Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Chico Hakim, menegaskan bahwa Pemprov tetap mematuhi arahan pemerintah pusat, namun tidak akan menjatuhkan sanksi administratif kepada pelajar yang ikut turun ke jalan.
“Bahwa tidak ada sanksi terhadap siswa yang ikut berdemonstrasi karena ini bagian dari menyalurkan aspirasi. Bapak Gubernur sudah mengatakan bahwa ini tidak boleh terjadi,” ujar Chico dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (11/9/2025).
Chico menekankan, fokus utama Pemprov adalah aspek keselamatan, terutama karena mayoritas siswa berusia di bawah 16 tahun.
“Alasan utamanya adalah alasan keselamatan banyak sekali di antara mereka kan usia 16 tahun ke bawah. Kami concern terhadap apa yang terjadi apabila terjadi peristiwa akibat demonstrasi itu,” ujarnya.
Meski begitu, ia membuka kemungkinan adanya pendekatan baru untuk menyalurkan aspirasi pelajar.
“Apakah kita perlu melakukan semacam workshop-workshop untuk para pelajar berkait dengan memberikan pengetahuan lebih berkait dengan aksi, berkait dengan unjuk rasa supaya tidak terpancing berkait dengan provokasi-provokasi,” kata Chico.
SE Larangan Demo Pelajar Buntut Aksi Unjuk Rasa 25-31 Agustus 2025
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Abdul Mu'ti menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2025 tentang Penerapan Nilai Karakter Positif Peserta Didik sebagai Warga Negara yang Demokratis dan Bertanggung Jawab dalam Penyampaian Pendapat.
Surat edaran tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikdasmen Suharti, yang ditujukan kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi serta Kabupaten/Kota di Indonesia.
SE tersebut guna menyampaikan imbauan terkait pembinaan partisipasi anak dalam menyampaikan pendapat yang harus diarahkan melalui jalur pendidikan, dialog, dan ruang-ruang pembelajaran yang aman sehingga hak anak untuk berpendapat tetap terjamin tanpa mengorbankan aspek keamanan dan keselamatan dirinya.

Kemendikdasmen melalui surat edaran itu pula meminta Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi peserta didik melalui kebijakan teknis, instruksi, atau pengawasan di wilayah masing-masing dengan pelaksanaan yang transparan, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Wamendikdasmen Atip Latipulhayat menegaskan pihaknya memberikan pedoman agar sekolah tidak melibatkan diri dalam kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi, melainkan tetap fokus dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
“SE tersebut memberikan pedoman agar sekolah tidak melibatkan diri dalam kegiatan unjuk rasa, melainkan tetap fokus dalam kegiatan belajar mengajar,” kata Wamendikdasmen Atip saat dihubungi di Jakarta, dikutip dari ANTARA.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya juga sudah memberikan arahan kepada para Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota agar memberikan pembinaan kepada para siswa yang sudah terlibat dalam kegiatan unjuk rasa dan mengembalikannya kepada orang tua murid.
Ada Sekolah yang Tolak SE Tersebut
Organisasi Kesiswaan SMA Kolese Gonzaga serta Senat Kolese Gonzaga, menyatakan sikap terkait SE larangan pelajar ikut demonstrasi. Dalam keterangannya mereka menolak pandangan yang melarang pelajar ikut berdemonstrasi.
Pernyataan sikap itu ditandatangani pada 4 September 2025 oleh Ketua Senat Christopher Kana Cahyadi dan Kepala SMA Kolese Gonzaga Pater Eduard C. Ratu Dopo sebagai pihak yang mengetahui.
Lewat laman Instagram @senatgonzaga Senat Kolese Gonzaga membagikan pernyataan tersebut.
"Kami menolak pandangan umum bahwa pelajar SMA/SMK dan setingkat dianggap tidak perlu untuk berpartisipasi dalam kegiatan demokratisasi melalui kampanye media sosial, penyebaran petisi, penyuaraan aspirasi dan sejenisnya, sebab bentuk-bentuk tertera merupakan bentuk yang hidup dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (3) UUD 1945," demikian isi poin pertama pernyataan sikap Senat Kolese Gonzaga.

Pelajar Demo karena Terpancing Ajakan di Medsos
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut keterlibatan anak dalam aksi unjuk rasa di sejumlah daerah pada beberapa waktu lalu, dipicu karena ajakan menyesatkan melalui aplikasi percakapan.
“Dari penjajakan yang kami lakukan, jadi mereka lewat WhatsApp itu informasinya mau diajak nonton konser, mau diajak nonton pertandingan sepak bola, tetapi ternyata mereka diturunkan di tempat itu (lokasi aksi),” kata Arifah di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (9/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, pola ajakan melalui pesan menyesatkan ini membuat anak-anak mudah terbujuk tanpa menyadari risiko yang dihadapi ketika berada di tengah kerumunan massa.
Ia mencontohkan di Jakarta misalnya, tercatat ada 156 anak ikut demo pada 25 Agustus dan 110 anak pada 28 Agustus 2025. Bahkan, satu pelajar bernama Andika di Tangerang pun dilaporkan meninggal usai mengikuti aksi unjuk rasa.
Di daerah lain, kata dia, pelibatan anak pun tercatat cukup banyak seperti di Makassar ada satu anak, Bali 39 anak, Semarang sekitar 300 anak, Yogyakarta 25 anak dan Surabaya 56 anak.
“Sedangkan untuk di Jawa Barat, jumlah seluruhnya sekitar 293 anak,” ujarnya.

Jangan Mengekang Kebebasan Aspirasi Pelajar
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), menyebut surat edaran itu “abu-abu” dan berpotensi mengekang kebebasan.
“Secara substansi, memang surat edaran tersebut kami kira ada wilayah abu-abunya. Sepertinya kementerian juga mencoba hati-hati karena diawali dengan bahwa demonstrasi adalah hak. Baru di bawahnya itu ada kata-kata yang multitafsir,” ucap Iman dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (11/9/2025).
Iman mengingatkan pentingnya perspektif sejarah. Kata dia, pelajar sebagai generasi muda malah menjadi tonggak bagi akar suara dalam memberikan suatu pandangan yang kritis.
“Pergerakan tahun 1920-an, tahun 1945, anak-anak seumuran 13 tahun itu yang mencorat-corat tembok kolonial. Demo 98 itu secara histroris, kalau kita runut, ada demo pelajar SMA dulu di Yogyakarta. Jadi sebenarnya itu kita tidak boleh menghambat anak-anak itu untuk ikut dalam jalannya sejarah,” ujar Iman.
Namun, ia mengkritik keras jika surat edaran ini berujung pada pendisiplinan berlebihan di sekolah.
“Secara relasi kuasa, ada penyebutan satuan pendidikan, penyebutan guru harus mengawasi. Itu sinyalemen itu sesuatu yang sangat merepotkan. walaupun SE ini kelihatannya abu-abu, tetapi sebetulnya yang terjadi adalah pendisiplinan di level fisik,” terangnya.
Menurut Iman, pelajar saat ini memiliki realita yang berbeda, termasuk pengaruh lingkungan digital yang tak bisa dikontrol guru maupun orang tua.
“Mereka sekarang hidup di empat lingkungan. Satunya lagi adalah lingkungan digital. Apakah kita bisa mengontrol itu? Mereka punya jenis-jenis solidaritas yang kita tidak tahu”, katanya.
P2G, kata dia, tengah menyusun panduan praktis agar pelajar dan guru bisa menyalurkan aspirasi secara aman.
“Kami menyebutnya sebagai protokol keamanan demonstrasi untuk guru dan siswa. Apa yang mesti mereka bawa, kemana mereka mesti melapor, di mana titik aman dan lain sebagainya,” tutupnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Banjir Besar Menerjang Bali, Mengapa Bisa Terjadi?
- Desakan Keadilan untuk Vian Ruma: Kejanggalan di Balik Kematian Aktivis Lingkungan NTT