ragam
Menguji Klaim E10 Ramah Lingkungan dan Dapat Mengurangi Impor BBM

Proyek bioetanol di Merauke hanyalah wajah lain dari transisi energi palsu.

Penulis: Putri Khalisa, Dita Alyaaulia

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Menguji Klaim E10 Ramah Lingkungan dan Dapat Mengurangi Impor BBM
Pembukaan lahan oleh PT Murni Nusantara Mandiri, konsorsium penggarap PSN Kebun Tebu di Merauke. Foto: Pusaka.or.id

KBR, Jakarta– Proyek pengembangan perkebunan tebu dan produksi bioetanol di Merauke, Papua Selatan, berpotensi merusak hutan alami dan mengancam ruang hidup masyarakat adat di sana.

Proyek yang dilakukan dengan membuka sekitar dua juta hektare lahan itu menuai penolakan dan kritik dari masyarakat adat hingga pegiat lingkungan.

Salah satunya Hendrikus Franky Woro, warga Suku Awyu, yang mendiami wilayah Papua Selatan. Kata dia, dampak lingkungan dan sosial mulai dirasakan langsung masyarakat. Ia menyebut, perubahan suhu dan curah hujan kini terasa semakin ekstrem di wilayahnya.

“Sekarang kami sudah rasakan panas yang tidak biasa. Hujan juga tidak beraturan dan sering terjadi banjir di berbagai tempat,” ujar Hendrikus kepada KBR, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, perubahan itu bukan semata fenomena alam, melainkan akibat pembukaan lahan besar-besaran yang mengubah bentang alam dan ekosistem hutan.

Tanah dan Hutan sebagai Warisan Leluhur

Bagi masyarakat Awyu, tanah dan hutan bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan bagian dari jati diri dan warisan budaya. Hendrikus menjelaskan, di dalam hutan terdapat jejak leluhur dan situs-situs keramat yang menjadi bagian dari identitas mereka sebagai masyarakat adat.

“Di hutan itu ada jalan leluhur, kuburan moyang, dan tempat-tempat keramat. Itu sebabnya kami bertahan supaya hutan tetap terjaga. Kalau rusak, maka cerita dan warisan leluhur akan hilang,” katanya.

Ia menambahkan, hutan adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Selain menyediakan pangan dan air, hutan juga menjadi ruang spiritual dan tempat berlangsungnya berbagai ritual adat. “Kalau hutan hilang, kami kehilangan rumah, sejarah, dan hubungan kami dengan leluhur,” tutur Hendrikus.

Menolak Narasi Tanah Kosong

Hendrikus juga menolak narasi pemerintah dan investor yang kerap menyebut wilayah Papua sebagai lahan kosong pembangunan. Ia menegaskan, setiap jengkal tanah di Papua memiliki pemilik dan keterikatan adat yang kuat.

“Tidak ada tanah kosong di Papua. Semua tanah punya marga, punya sejarah. Tanah itu bukan milik pribadi, tetapi milik bersama yang diwariskan dari leluhur,” tegasnya.

Ia menilai narasi “tanah kosong” sering digunakan untuk melegitimasi pengambilalihan lahan tanpa persetujuan masyarakat.

“Begitu perusahaan datang, mereka bilang ini lahan negara, padahal kami sudah tinggal turun-temurun di situ,” tambahnya.

red
Ilustrasi: Mahasiswa dan aktivis masyarakat adat Papua protes soal perusakan hutan di Bumi Cenderawasih. Foto: Greenpeace
Advertisement image


Tanpa Persetujuan Masyarakat Adat

Menurut Hendrikus, proyek bioetanol di Merauke dijalankan tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan dan konsultasi. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

“Investasi itu masuk tanpa sepengetahuan kami. Bahkan ada aktivitas sebelum izin keluar. Mereka memanfaatkan saudara-saudara kami yang belum paham, sehingga menimbulkan perpecahan di masyarakat,” ujarnya.

Hendrikus menyebut, dalam beberapa kasus, masyarakat dibujuk dengan janji pekerjaan dan pembangunan fasilitas umum. Namun, hingga kini belum ada kejelasan manfaat yang diterima warga. “Janji banyak, tapi yang kami lihat justru hutan mulai dibuka dan tanah kami mulai hilang,” katanya.

Pola Lama Seperti MIFEE

Hendrikus menilai, proyek bioetanol ini mengulang pola lama dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010. Program tersebut juga diklaim sebagai proyek strategis nasional, tetapi justru meninggalkan konflik agraria dan kemiskinan di tingkat lokal.

“Dulu kami lihat juga banyak korban. Sampai sekarang masyarakat tidak sejahtera. Tanah sudah dibuka ribuan hektare, tetapi kami tidak menikmati hasilnya,” ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat adat tidak menolak pembangunan, tetapi menolak cara-cara yang merugikan mereka. “Kalau pembangunan menghancurkan hutan dan membuat masyarakat kehilangan tanah, itu bukan kemajuan, tapi kemunduran,” ucapnya.

Ancaman bagi Generasi Muda

Selain kerusakan ekologis, Hendrikus khawatir proyek bioetanol akan menghilangkan sumber air bersih dan pangan masyarakat adat. Ia mengatakan pembukaan hutan menyebabkan sumber air mengering dan kualitas lingkungan menurun.

“Air itu sumber hidup kami. Kami biasa minum langsung dari sungai di hutan. Kalau hutan dibuka, sungai-sungai akan rusak. Generasi kami nanti akan kehilangan segalanya,” tuturnya.

Hendrikus juga mengingatkan potensi hilangnya warisan adat bagi generasi muda. “Kalau tanah dijual, anak cucu nanti akan bertanya, kenapa orang tua mereka menyerahkan tanah dan membuat mereka menderita,” katanya.

red
Ilustrasi: Aksi Suku Awyu menolak perusakan hutan di Papua. Foto: Greenpeace
Advertisement image


Energi Bersih yang Semu

Klaim soal proyek bioetanol E10 sebagai tonggak “energi hijau nasional” turut dikritik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut mereka, di balik klaim jargon energi bersih itu, ada ancaman serius terhadap hutan, lahan rawa, dan kehidupan masyarakat adat Papua.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menilai, klaim “energi hijau” pemerintah tidak bisa dibenarkan. Menurutnya, energi bersih tak dapat dilihat hanya dari kecilnya emisi yang dilepaskan kendaraan pengguna bioetanol, tetapi dari keseluruhan proses produksinya.

“Bagaimana mungkin etanol bisa disebut energi bersih kalau pembukaan lahannya dilakukan dengan cara membuka hutan?” ujarnya kepada KBR, Senin (20/10/2025).

“Pembukaan hutan melepaskan emisi besar dan menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Jadi, dari awal prosesnya saja sudah tidak bersih,” tambahnya.

Ia menjelaskan, konsep energi bersih yang sejati seharusnya bebas dari proses pelepasan emisi besar di sepanjang rantai produksinya, bukan hanya di tahap akhir konsumsi.

“Energi bersih itu bukan cuma soal kendaraan yang emisinya kecil. Kalau dari hulu sudah merusak hutan dan melanggar hak rakyat, itu bukan energi bersih, itu greenwashing,” tegasnya.

Lebih jauh, Uli menyoroti aspek keadilan sosial. Menurut WALHI, energi tidak dapat disebut bersih apabila dihasilkan dengan cara merampas tanah dan hak hidup masyarakat adat.

“Energi bersih itu juga harus berkeadilan. Tidak bisa dibangun di atas perampasan tanah dan air mata rakyat,” kata Uli.

Ancaman Ekologis yang Nyata

Dari hasil pemantauan WALHI, pembukaan jutaan hektare lahan untuk perkebunan tebu di Papua Selatan berpotensi memicu bencana ekologis besar. Perubahan bentang alam, hilangnya hutan rawa, dan rusaknya savana alami akan berdampak langsung terhadap tata air dan keanekaragaman hayati.

“Ketika hutan dibuka untuk kebun tebu monokultur, fungsi penataan air langsung hilang. Akibatnya, banjir dan longsor akan semakin sering terjadi. Lagi-lagi, masyarakatlah yang jadi korban,” jelas Uli.

Ia menambahkan, di wilayah Merauke banyak terdapat flora dan fauna endemik yang kini terancam punah.

“Biodiversitas Papua itu luar biasa. Tetapi, kalau bentang hutan dan savananya diubah, maka satwa dan tumbuhan yang bergantung pada ekosistem itu akan hilang. Kita kehilangan ekosistem esensial yang seharusnya dilindungi,” katanya.

Uli mengingatkan, savana di Merauke bukanlah lahan kosong seperti yang sering diasumsikan pemerintah.

“Savana itu ekosistem penting. Dia menyerap karbon dengan daya yang cukup tinggi, sama pentingnya dengan hutan tropis dan mangrove. Kalau savana hilang, kemampuan alam menyerap emisi juga ikut hilang,” tegasnya.

red
Deforestasi hutan di Papua Selatan. Foto: Ulet Ifansasti/Gecko Project
Advertisement image


Politik di Balik Status Kawasan Hutan

WALHI juga menyoroti Keputusan Menteri Kehutanan No. 591 Tahun 2025 yang mengubah status kawasan hutan seluas 486.939 hektare di Papua Selatan meliputi Merauke, Mappi, dan Boven Digoel demi mendukung proyek pangan dan energi nasional. Uli menyebut kebijakan ini menunjukkan tata kelola kawasan hutan di Indonesia sangat politis.

“Perubahan status kawasan hutan sebesar itu dilakukan tanpa partisipasi penuh masyarakat adat. Ini membuktikan pengelolaan hutan kita tidak berbasis keberlanjutan, tapi keputusan politik semata,” ujarnya.

Ia menegaskan, masyarakat adat Papua, termasuk komunitas Malind Anim, Maklew, Khimahima, Yei, Wambon Kenemopte, dan Awyu, tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik terkait proyek ini.

“Mereka tidak ditanya, tidak dimintai persetujuan, padahal wilayah itu adalah tanah leluhur mereka,” kata Uli.

Menurut WALHI, hal ini melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan bebas dan didahulukan sebelum proyek dijalankan.

“Nyaris tidak ada proyek pembangunan di Indonesia yang benar-benar menerapkan FPIC secara bermakna. Ketika masyarakat menolak, bukan dihormati haknya, tetapi malah dikriminalisasi,” tegas Uli.

Ia menambahkan, “Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi soal hak asasi manusia. Pemerintah seolah tidak belajar dari konflik-konflik agraria sebelumnya.”

Hidrologi yang Runtuh dan Risiko Kebakaran Gambut

Wilayah Merauke dikenal memiliki karakter tanah rawa dan sistem hidrologi unik yang berfungsi sebagai penyimpan air alami.

Pengeringan lahan untuk perkebunan tebu akan menghancurkan sistem ini. Uli menyebut WALHI menemukan bukti lapangan bahwa daerah yang sebelumnya tak pernah banjir kini justru sering tergenang air.

“Satu kawasan di Merauke yang selama 20 tahun terakhir tidak pernah banjir, sekarang hampir setiap tahun tergenang. Itu bukti nyata rusaknya sistem hidrologi akibat pembukaan hutan untuk kebun tebu dan cetak sawah baru,” jelasnya.

Ia juga memperingatkan potensi kebakaran gambut yang tinggi.

“Merauke punya bentang gambut yang luas. Kalau dikeringkan untuk kebun tebu, maka risikonya sama seperti di Sumatra dan Kalimantan. Begitu gambut kering, dia mudah terbakar. Dan biaya penanganan kebakaran itu sangat besar,” katanya.

Menurutnya, biaya kerusakan lingkungan semacam ini tidak pernah dimasukkan dalam perhitungan ekonomi proyek.

“Pemerintah selalu bicara soal penghematan impor BBM, tetapi tidak pernah menghitung biaya eksternalitas dari kerusakan hutan, banjir, longsor, atau kebakaran gambut. Padahal semua itu akan ditanggung negara dan rakyat,” ujarnya.

Ekonomi Hijau yang Cacat Logika

Pemerintah mengklaim proyek bioetanol dapat mengurangi impor BBM hingga 4,2 juta kiloliter per tahun. Namun, WALHI menilai logika tersebut tidak realistis dan menutup mata terhadap fakta lapangan.

“Dengan produktivitas tebu kita yang hanya 7%, jauh di bawah Thailand yang hampir 12%, target swasembada bioetanol itu mustahil tercapai tanpa membuka lahan baru,” kata Uli.

Ia menilai, proyek ini akan menciptakan ketergantungan baru, baik pada impor bahan baku maupun utang pembangunan.

“Kalau tidak cukup bahan baku dari dalam negeri, pasti akan impor lagi. Kalau tidak, pemerintah akan terus buka lahan baru. Ujungnya sama: hutan habis, rakyat rugi,” ujarnya.

Lebih jauh, Uli menyebut transisi energi pemerintah masih terjebak paradigma bisnis, bukan pemenuhan hak dasar rakyat.

“Energi itu hak, bukan komoditas. Tapi selama energi dilihat sebagai bisnis, rakyat tidak akan pernah bisa mengaksesnya secara adil. Tidak akan pernah ada kata cukup bagi korporasi,” ujarnya.

red
Pembukaan lahan oleh PT Murni Nusantara Mandiri, konsorsium penggarap PSN Kebun Tebu di Merauke. Foto: Pusaka.or.id
Advertisement image


Transisi Energi yang Palsu

Menutup pandangannya, Uli menegaskan, proyek bioetanol di Merauke hanyalah wajah lain dari transisi energi palsu.

“Model transisi energi pemerintahan sekarang tidak berbeda dari sebelumnya berbasis bisnis, hutang, dan korporasi besar. Ini bukan transisi energi berkeadilan, tapi transisi energi palsu,” ujarnya.

Ia menyerukan, pemerintah mengubah cara pandang terhadap energi dan pembangunan.

“Kalau energi dilihat sebagai hak rakyat, maka tujuannya adalah memastikan semua orang bisa mengakses energi bersih, adil, dan berkelanjutan tanpa mengorbankan hutan dan manusia,” tutupnya.

Risiko Ketergantungan Impor Etanol

Analisis yang sama juga disampaikan ekonom pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian. Menurutnya, produktivitas tebu nasional masih jauh tertinggal dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Rendemen atau tingkat kandungan gula tebu Indonesia baru sekitar 7 persen, sedangkan Thailand sudah mencapai 12 persen.

“Artinya 100 ton tebu itu menghasilkan 12 ton gula. Jadi, kalau semakin banyak sukrosa yang dihasilkan dari tetes tebu itu, yang diubah jadi etanol, ini kan lebih efisien dari sisi produksi dan juga bahan baku etanol per liternya. Jadi, lebih murah itu adalah dari Thailand, bukan dari Indonesia,” ujar Eliza kepada KBR, Senin, (20/10/2025).

Ia memperingatkan, rendahnya efisiensi produksi akan membuat harga bahan baku etanol di dalam negeri lebih mahal. Akibatnya, harga bahan bakar campuran etanol seperti E10 bisa menjadi tidak kompetitif dan justru membebani masyarakat.

“Padahal kan kita tujuannya tadi ingin meningkatkan produksinya di dalam negeri, membangun kemandirian ketahanan energi untuk mencapai swasembada energi. Tetapi, kalau misalkan di dalam dunia sendiri belum siap, sementara implementasi E10 itu sudah harus serentak, nah ini kan juga dapat memicu kelangkaan dari sisi jumlah karena rebutan sama gula konsumsi,” kata Eliza.

red
Peta lahan yang akan dibuka PT Murni Nusantara Mandiri, konsorsium penggarap PSN Kebun Tebu di Merauke. Foto: Pusaka.or.id
Advertisement image


Kebutuhan Gula Nasional

Menurutnya, kebutuhan gula nasional saat ini 6,5 hingga 7 juta ton per tahun. Dibutuhkan sekitar 60 juta ton tebu mentah untuk memenuhinya. Namun, produksi aktual baru sekitar 35 juta ton.

Kondisi itu membuat Indonesia masih harus mengimpor gula untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga apalagi jika sebagian produksi tebu dialihkan untuk bahan bakar bioetanol.

“Jadi, ini bisa kalau misalkan tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas, akan memicu persoalan lain, yaitu harga gula untuk konsumsi dalam negeri ini akan terus meningkat. Karena dialihkan untuk bio-etanol. Sementara kita jadinya porsi untuk impor gula ini akan semakin meningkat. Jadinya kita bukannya swasembada gula dalam hal untuk konsumsi, tetapi kita malah tergantungan terhadap impor,” jelasnya.

Eliza juga mengingatkan, potensi bioenergi Indonesia sangat beragam, tetapi tebu hanya menyumbang 2–3 persen dari total potensi bioenergi nasional. Dengan porsi sekecil itu, kontribusi bioetanol dari tebu tidak akan signifikan menekan impor BBM secara nasional.

“Dari 3 persen itu saja tidak cukup untuk meningkatkan kemandirian energi. Dan kalau kita lihat dari sisi sebarannya, potensi tebu itu paling baik di Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan Sulawesi. Sementara pemerintah ingin menanam tebu di Papua. Proyek MIFEE saja dulu enggak berhasil karena dipaksakan, dan dari sisi kesesuaian lahan juga kurang,” tegasnya.

Ia menyarankan, pemerintah tidak hanya bergantung pada tebu sebagai sumber bioenergi, tetapi mengembangkan diversifikasi bahan baku seperti limbah padi dan kelapa sawit, yang ketersediaannya jauh lebih besar dan sebarannya merata di Indonesia.

“Sebetulnya kita sudah punya potensi bioenergi Indonesia dari Sabang sampai Merauke, lengkap dengan jenis-jenis dan sumbernya. Seharusnya pemerintah mengacu ke sana karena itu sudah berbasis riset dan kajian ilmiah,” katanya.

Eliza menilai pemerintah perlu berhati-hati agar ambisi mencapai kemandirian energi tidak justru mengulang kesalahan lama dalam kebijakan pangan dan energi di Papua. Ia menekankan, setiap program strategis seharusnya disusun berdasarkan riset yang komprehensif dan mempertimbangkan kondisi sosial-ekologis daerah.

“Karena kalau tidak sesuai hasil kajian, nanti hasilnya akan berulang seperti program-program sebelumnya, seperti MIFEE di Merauke menanam padi dan juga tebu yang pada akhirnya berakhir gagal dan hanya meninggalkan kerugian, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun anggaran APBN,” pungkas Eliza.

red
Deklarasi Solidaritas Merauke tolak PSN yang diserukan masyarakat adat dan rakyat korban proyek. Foto: WALHI
Advertisement image


Berisiko Timbulkan Konflik

Dari sisi lingkungan dan sosial, Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai proyek bioetanol di Merauke dikembangkan tanpa kajian mendalam mengenai kesesuaian lahan maupun dampak ekologisnya.

Menurut Franky, pemerintah sering menggunakan narasi besar tanpa dasar ilmiah yang jelas.

“Saya sebenarnya belum mendapatkan dokumen yang memperkuat bahwa 25% lahan di Merauke ini cocok untuk pengembangan usaha tebu. Tetapi, saya kira narasi seperti ini sering digunakan oleh negara maupun korporasi untuk menjustifikasi pandangan mereka. Secara akademik kami belum pernah menemukan hal yang mendukung penggunaan lahan seluas itu,” ujar Franky.

Ia menambahkan, hingga kini tidak ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau dokumen akademik yang bisa menjadi dasar pengembangan proyek tersebut. Pendekatan seperti ini, mengabaikan pengetahuan lokal masyarakat adat yang telah turun-temurun menjaga kawasan hutan.

“Masyarakat adat kan sudah turun-temurun tinggal di tempat itu, jadi mereka tahu apa fungsi lahan terkait sosial, ekologi, dan budaya. Perubahan dan alih fungsi kawasan hutan untuk tanaman monokultur seperti kelapa sawit atau tebu akan memengaruhi ekosistem dan biodiversitas secara luas. Apalagi kalau skalanya jutaan hektare, ini tidak masuk akal,” katanya.

Franky menyebut, proyek-proyek energi skala besar yang berorientasi korporasi seperti ini sering mengulangi pola lama meminggirkan masyarakat lokal dan merusak lingkungan. Ia menegaskan, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan energi bersih berbasis masyarakat lokal, seperti tenaga surya, tenaga air, atau biomassa dari limbah organik.

“Jadi, seharusnya negara menghentikan proyek itu dan mempertanggungjawabkan atas kerusakan ekologis maupun konflik-konflik sosial yang sudah terjadi. Bukan hanya merehabilitasi, tetapi juga memulihkan hak-hak masyarakat maupun ekologi hutan yang sudah dirusak,” tegasnya.

“Demikian juga dalam konteks bisnis dan HAM. Perusahaan-perusahaan yang sudah melakukan operasi bisnisnya itu harus menghentikan dan bertanggungjawab untuk melakukan pemulihan.”

Franky menyoroti siapa yang kemungkinan besar akan diuntungkan dari proyek ini. Berdasarkan penelusuran dokumen perizinan, keuntungan utama, akan mengalir kepada sekitar 10 perusahaan besar di sektor perkebunan tebu dan bioetanol.

“Kalau kita menelusuri beneficial ownership perusahaan-perusahaan ini, itu hanya berpusat pada beberapa orang, dalam hal ini keluarga Fang Yono dan Martua Sitorus. Sedangkan masyarakat adat Malind Anim dan Iyei justru akan tersingkir,” pungkasnya.

Franky menekankan pentingnya keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi sebagai fondasi dalam transisi energi. Menurutnya, proyek energi seperti bioetanol seharusnya tidak menjadi alat baru bagi korporasi besar untuk menguasai lahan masyarakat adat.

“Pemerintah seharusnya mengembangkan, membangun sumber-sumber energi baru yang bersumber dari masyarakat tempat yang memperkuat sumber-sumber energi baru masyarakat tempat,” tegas Franky.

red
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat bicara soal transisi energi, Jumat, 18 Juli 2025. Foto: esdm.go.id
Advertisement image


Klaim Pemerintah

Sebelumnya, pemerintah menyusun peta jalan penerapan E10 atau bahan bakar minyak mengandung etanol 10 persen. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pengembangan E10 bermula dari keberhasilan pemerintah menerapkan biodiesel dari campuran solar dan minyak mentah atau B10, yang kini menuju B50.

Kata dia, penerapan E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku singkong maupun tebu. Hal ini juga selaras dan disetujui kepala negara soal pembangunan industri etanol.

Tujuannya, mengurangi emisi karbon dan ketergantungan terhadap impor BBM.

"Tebu kemungkinan besar itu di Merauke, sementara singkong lagi dipetakan," katanya, Rabu, 8 Oktober 2025, seperti dikutip dari ANTARA.

Karena itu, pemerintah akan mewajibkan campuran etanol dan bensin untuk membuat BBM yang diklaim ramah lingkungan dan dapat mengurangi impor.

Mandatori

Menteri Bahli menargetkan, pewajiban pencampuran etanol 10 persen dan bensin kemungkinan mulai berlaku 2027. Ia bilang, saat ini pemerintah masih melakukan kajian dan waktu tepat untuk menerapkan E10 yang aman bagi mesin kendaraan.

"Tetapi, menurut saya, yang kita lagi desain, kelihatannya paling lama 2027 tu sudah bisa jalan," kata Bahlil, senin, 20 Oktober 2025, dikutip dari Bisnis.com.

Bahlil menambahkan, pemerintah mengebut proyek E10 karena jadi salah satu program menekan impor BBM. Saat ini, Indonesia masih mengimpor BBM 27 juta ton per tahun.

Kajian dan jadwal penerapan wajib E10 terus berjalan dan paralel dilakukan dengan pembangunan industri etanol. Nantinya ada dua pabrik etanol, yakni di Merauke dengan bahan baku tebu, dan singkong yang masih dicari lokasinya.

Batal

Campuran etanol dalam bensin ini menyeruak tatkala SPBU swasta membatalkan rencana pembelian BBM dari Pertamina. Sebab, berdasarkan hasil uji laboratorium terdapat kandungan etanol 3,5 persen.

Meski masih di bawah batas maksimal yang diperbolehkan regulasi, yakni 20 persen, SPBU swasta enggan melanjutkan pembelian BBM dari Pertamina. Dua SPBU swasta itu adalah Vivo dan APR.

Mengutip Tempo.co, Penjabat Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun menjelaskan, pencampuran dalam BBM praktik yang diterapkan internasional, semisal di Brasil, yang sudah mencapai E27.

Langkah ini bagian upaya global menekan emisi karbon, mendukung transisi energi, dan meningkatkan kualitas udara.

"Dengan mencampurkan etanol ke dalam BBM, emisi gas buang kendaraan bisa berkurang sehingga kualitas udara lebih baik," katanya Jumat, 3 Oktober 2025, dikutip dari Tempo.

Bioetanol adalah alkohol etil yang dibuat dari fermentasi bahan nabati seperti jagung, tebu, atau singkong dan digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang aman bagi lingkungan.

red
Ilustrasi pengisian BBM E10. Foto: Pertamina
Advertisement image


Bagaimana dengan Mesin Kendaraan?

Campuran etanol 3 persen dan BBM:

  •  Kenaikan oktan minimal-efisiensi pembakaran kecil.
  •  Dampak penghematan BBM dan penurunan emisi minim.
  •  Aman untuk semua jenis kendaraan tanpa modifikasi.

Campuran 1o persen etanol dan BBM:

  •  Kenaikan oktan optimal-efisiensi pembakaran lebih tinggi.
  •  Emisi CO2 turun sekitar 5-10 persen.
  •  Konsumsi BBM naik kurang lebih 2-3 persen karena energi etanol lebih rendah.
  •  Risiko korosi dan kerusakan komponen karet pada kendaraan lama.

Upaya dan Harapan

Masyarakat adat Awyu telah melakukan berbagai bentuk penolakan terhadap proyek biotenol di Merauke, Papua Selatan.

Mulai dari pemalangan jalan, pemasangan tanda sasi (larangan), hingga pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Namun, mereka merasa pemerintah belum berpihak pada suara masyarakat.

Mereka khawatir dengan semua dampak lingkungan yang bakal timbul, dan sudah mulai dirasakan sekarang.

“Kami tidak mencuri orang punya barang. Kami hanya menuntut keadilan atas tanah kami sendiri,” ujarnya.

Ia berharap perhatian dunia internasional terhadap kasus-kasus perampasan tanah adat di Papua.

“Tanpa tambang, tanpa sapi kami masih bisa hidup. Tetapi, tanpa hutan adat dan tanah adat, kami tidak bisa hidup. Sayangilah tanah dan kami,” pungkas Hendrikus.

Ia meminta, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan proyek bioetanol tidak melanggar hak masyarakat lokal.

“Kalau setiap proyek disertai militer, pasti akan timbul konflik. Pemerintah harus melihat ini dengan serius,” ujarnya.

Ia juga mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hukum yang kuat.

“Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat adat akan terus jadi korban pembangunan,” tegasnya.

Baca juga:

Kementerian ESDM
BBM E10
Etanol


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...