Pakar menilai bahwa HET beras medium harus tetap ada untuk menjaga daya beli kalangan menengah ke bawah.
Penulis: Naomi Lyandra, Shafira Aurel
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta-
Pemerintah tengah menggagas kebijakan satu harga beras sebagai solusi atas kesenjangan harga dan praktik beras oplosan yang marak terjadi. Jika diterapkan, klasifikasi beras premium dan medium akan dihapus, digantikan dengan satu jenis beras umum atau reguler yang memiliki satu Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diatur oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum matang dan berpotensi menimbulkan persoalan baru, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Akar Masalah Perberasan
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyoroti dua masalah utama dalam kebijakan perberasan saat ini yaitu praktik beras oplosan dan kenaikan harga beras di tengah suplai yang melimpah.
“Jadi sebetulnya saat ini itu kita dihadapkan dengan dua persoalan sebetulnya. Yang satu beras oplosan. Yang satu kenaikan harga beras di tengah supply kita yang relatif berlimpah,” ujar Eliza dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (4/8/2025).
Ia menilai penghapusan klasifikasi premium dan medium belum menjadi solusi tepat karena tetap dibutuhkan segmentasi harga dan kualitas. Eliza menyarankan agar harga eceran tertinggi (HET) premium dihapus karena fungsinya tidak relevan untuk kalangan atas.
“Kalau HET premium dihilangkan, nah ini produsen memiliki keleluasaan untuk menetapkan harga dan bisa memaksimalkan profit mereka dari premium tersebut. Dan perlu juga, terus ngapain pemerintah kita repot-repot mengurusi daya beli masyarakat kalangan atas?,” lanjut Eliza.
Namun, Eliza menegaskan bahwa HET medium harus tetap ada untuk menjaga daya beli kalangan menengah ke bawah.
“HET itu kan untuk menjaga daya beli. Nah yang seharusnya dijaga daya belinya itu adalah kalangan menengah bawah. Mereka lebih banyak spending untuk makanan. Jadi ketika ada kenaikan harga beras, itu tidak masalah bagi mereka yang atas. Tapi sangat berdampak bagi masyarakat bawah”, tambahnya.
Pentingnya Kajian Matang
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Slamet, menekankan pentingnya kajian yang matang dan keterbukaan informasi dari pemerintah. Ia khawatir jika kebijakan ini justru memperparah kondisi konsumen dan pelaku usaha kecil.
“Pemerintah harus transparan, apakah ini reaksi spontan atau memang sudah melalui kajian yang panjang. Karena itu kami akan minta kepada pemerintah untuk membuka secara transparan kajiannya seperti apa,” ujar Slamet dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (4/8/2025).
Slamet juga mengingatkan bahwa penghapusan kelas beras berpotensi menurunkan kualitas yang diterima masyarakat bawah.
“Bisa jadi kualitas beras yang diterima oleh masyarakat bawah tidak terjamin. Tetap harus ada pembeda, karena kemampuan daya beli masyarakat kita terutama ekonomi menengah dan bawah ini akan menyesuaikan,” tambahnya.

Tingkatan atau Kelas Beras Tertentu
Slamet mendukung wacana kelas atau grading beras sebagai alternatif segmentasi, agar tetap ada pilihan sesuai daya beli.
“Kalau tidak ada premium dan medium, maka grading menjadi penting. Grading A, B, C dengan kualitas tertentu apakah aromanya, kebersihannya atau butirnya. Saya pikir tetap perlu kita berpikir tentang grading ini,” tuturnya.
Kebijakan satu harga beras juga menimbulkan kegelisahan di kalangan pelaku usaha. Slamet menyebut para penggilingan padi dan ritel kini berada dalam tekanan akibat narasi negatif terkait oplosan.
“Retail hari ini ketakutan karena tadi ada bahasa oplosan dan kemudian kalau dia tidak menjual nanti tanda kutip ada ancaman lagi penimbunan dan lain-lain sehingga ini membuat suasana nampaknya tidak kondusif,” ujar Slamet.
Wacana Efektif Satu Harga Beras
Anggota Komisi IV DPR dari fraksi PDIP, Rokhmin Dahuri menilai wacana pemerintah menghapuskan beras premium dan medium efektif untuk mengatasi permasalahan beras di Tanah Air. Termasuk kasus oplosan dan kenaikan harga yang kerap dikeluhkan masyarakat.
Menurutnya, jika klasifikasi beras dihapus akan mempermudah pemerintah dan lembaga terkait dalam mengelola dan mengawasi tata kelola pangan.
"Ini momentum yang baik. Meniadakan klasifikasi beras premium dan medium itu akan lebih mudah untuk pemerintah mengawasi dan menegakkan hukumnya terhadap mafia beras. Pangan ini masalah krusial dan sangat berdampak pada masyarakat. Semua makan beras, maka dari itu hapuskanlah praktik-praktik culas itu," ujar Rokhmin kepada KBR, Senin (4/8/2025).
Jaga Mutu dan Kualitas
Meski demikian, Rokhmin juga meminta pemerintah untuk benar-benar menetapkan dan menjaga standar mutu beras dalam kategori aman dan layak dikonsumsi. Serta harga jual yang berkeadilan bagi para petani. Sebab ia menilai, selama ini pemerintah belum adil dalam menetapkan harga jual gabah petani.
"Nah jika sudah dihapus pekerjaan rumah utama yakni ada pada kualitasnya yang harus terjaga baik dan bagus. Selain itu, harga juga harus dikontrol agar tidak terlalu mahal. Petani dan masyarakat harus diuntungkan, jangan dirugikan lagi," katanya.
Lebih lanjut, Rokhmin juga mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera menindak tegas para mafia beras yang terlibat.
"Tangkap semua oknum itu, baik ada aparatnya, atau Kementannya, atau ada juga Bulog-nya. Pokoknya semua yang bermain tangkap dan beri efek jera. Negara tak boleh membiarkan rakyat terus sengsara," terangnya.

Peluang DPR Panggil Pemerintah
Slamet, Anggota Komisi IV DPR RI F-PKS, mengatakan penghapusan kasta beras dan penerapan satu harga bukan solusi menyeluruh atas problematika perberasan nasional.
“Tinggal sebenarnya masalah utamanya adalah di tata kelola perberasan nasional kita. Makanya jangan ngambil keputusan yang sifatnya simptomatis. Seperti sakit kepala dikasih obat pusing, tapi penyebabnya apa?," kata Slamet.
Ia menegaskan bahwa Komisi IV akan memanggil pemerintah dan stakeholder terkait dalam masa sidang mendatang untuk memastikan arah kebijakan ini benar-benar berpihak pada seluruh lapisan masyarakat.
Penerapan Beras Satu Harga Perlu Waktu
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi memastikan penerapan kebijakan beras terbaru oleh pemerintah bakal memiliki periode transisi dan zonasi harga menyesuaikan kondisi geografis Indonesia yang luas.
“Saya tentunya bersama seluruh stakeholder, termasuk kementerian dan lembaga dan juga teman-teman dari pelaku perberasan, kami juga sering intens berdiskusi supaya apapun yang jadi keputusan terbaik, ini bisa dijalankan,” kata Arief dalam keterangannya di Jakarta, Senin (4/8/2025) dikutip dari ANTARA.
Regulasi yang sedang dimatangkan pemerintah saat ini, kata Arief, adalah revisi terhadap Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 yang telah menetapkan 4 kelas mutu beras, yaitu beras premium, medium, submedium, dan pecah.
Selain itu, revisi terhadap Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2024 yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium dan premium untuk berbagai wilayah Indonesia.
Adapun kebijakan beras nasional yang ingin dipertajam oleh pemerintah melalui perubahan standar mutu, jenis, dan harga batas atas tersebut diharapkan dapat lebih diterima dengan baik, mulai dari pelaku usaha sampai konsumen.
Arief melanjutkan, nantinya setelah ada keputusan, pemerintah akan memberikan waktu transisi untuk penyesuaian, sehingga tidak serta merta langsung diterapkan.
Namun, ia menilai implementasi secara cepat juga diperlukan untuk meredam fluktuasi pasar beras.
“Kemudian sebagai informasi, antara harga di daerah sentra produksi dengan harga di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur, ada pembedaan harga. Itu juga nanti kita harus atur, karena tidak mungkin di wilayah seperti Indonesia yang luas ini dengan satu harga tanpa memberlakukan zona,” imbuhnya.

Beras Reguler yang Diatur Harga
Arief menekankan bahwa yang akan diatur pemerintah nantinya adalah beras reguler yang sering dikonsumsi masyarakat. Sementara beras khusus dikembalikan ke mekanisme pasar dan standar mutunya ditentukan melalui suatu proses sertifikasi.
“Untuk beras yang reguler, itu beras yang seperti kita makan biasanya, baik beras panjang maupun bulat. Itu harganya tetap akan pemerintah batasi. Syarat mutunya juga disiapkan dengan berbagai kriteria, tapi yang mutlak adalah derajat sosoh 95 persen dan kadar air 14 persen. Butir pecah berapanya, itu nanti disampaikan,” ujar Arief.
“Yang kedua untuk beras khusus, itu memang tidak diatur untuk berapa harganya. Tapi harus memiliki sertifikasi, tidak sembarangan juga,” tambahnya.
Arief menyebutkan beberapa jenis beras khusus yang telah pemerintah pantau selama ini antara lain beras ketan, beras hitam, dan beras merah. Ada pula beras dengan indeks glikemik yang rendah.
Di samping itu, ada beras khusus dengan indeks geografis dari daerah tertentu. Selanjutnya ada beras untuk kesehatan dan beras biofortifikasi dengan penambahan unsur gizi tertentu serta beras organik.
Dampaknya Terhadap Masyarakat Miskin
Eliza Mardian, Ekonom CORE Indonesia juga menyoroti dampaknya pada masyarakat miskin. Ia merujuk data BPS yang menunjukkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan meningkat, yang berarti masyarakat miskin semakin jauh dari garis kemiskinan.
“Mereka memfokuskan untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya dulu dan sementara harga beras kita relatif mahal sekarang ini. Bahkan dibanding Vietnam, biaya produksi kita 2,5 kali lipat lebih mahal,” tambah Eliza.

Hanya Respons Reaktif Pemerintah
Khudori, Pengamat dari Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), menyatakan bahwa kebijakan satu harga beras adalah respons reaktif dan tidak menyentuh akar masalah tata kelola perberasan nasional.
“Hal-hal seperti ini itu berulang kali terjadi pemerintah biasanya melakukan kebijakan-kebijakan yang sifatnya reaktif. Antara hulu, tengah, hilir, itu sudah lama tidak terintegrasi,” tegas Khudori.
Lebih lanjut Khudori juga mengkritik pernyataan pemerintah yang menyamakan seluruh bentuk oplosan, padahal praktik pencampuran beras dalam bisnis perberasan adalah hal yang lazim selama tidak menyalahi aturan.
“Oplosan itu mencampur, sesuatu yang normal dalam proses bisnis. Yang tidak boleh adalah mengoplos SPHP beras subsidi lalu dijual dengan harga tinggi. Itu memang delik pidana,” ujar Khudori.
Khudori juga menyebut bahwa diskusi bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas) belum menghasilkan konklusi yang jelas, meskipun ada tiga alternatif HET yang sedang digodok.
“Saya hadir di dua pertemuan dengan Bapanas, tapi dari dua pertemuan itu terus terang belum sampai kepada konklusi kira-kira mana yang akan dipilih. Pilihan-pilihan itu tentu harus didasarkan pada situasi yang ada dan sangat menentukan mana yang diuntungkan, mana yang dirugikan,” jelasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
- Bahaya Mengonsumsi Beras Oplosan dan Tips Sederhana Mengenalinya
- Skandal Beras Oplosan Rp100 Triliun: Kejahatan Ekonomi Terstruktur dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia