ragam
Fakta Peringatan Kampanye 16 HAKTP 2025, Masih Ada 1 dari 4 Perempuan Pernah Alami Kekerasan

Korban kekerasan mengungkap bahwa aparat sering membuat perempuan enggan atau takut untuk melapor. Mengapa bisa terjadi?

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Gambar siluet pria mengancam wanita meringkuk, ilustrasi KDRT dan kekerasan terhadap perempuan.
Ilustrasi seorang perempuan yang duduk meringkuk dengan bayangan besar atau sosok agresif di belakangnya. Foto: Kecerdasan Buatan (AI)

KBR, Jakarta- Perempuan masih berada dalam pusaran korban kekerasan. Kerentanan ini diperkuat dengan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024, di mana 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan selama hidupnya.

Ironisnya, catatan negatif ini tersaji dalam peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 2025.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Desy Andriani mengatakan perempuan rawan mengalami kekerasan di berbagai ruang, baik di rumah, ruang publik, tempat kerja, hingga area bencana dan konflik.

“Masih adanya diskriminasi, stereotip gender, marjinalisasi, dan kekerasan berbasis gender yang terus terjadi, termasuk pada perempuan penyandang disabilitas maupun mereka yang berada dalam kondisi darurat sosial,” ujar Desy di Jakarta, Sabtu 29/11/2025 dikutip dari ANTARA.

Kampanye HAKTP berlangsung selama 16 hari, yaitu dari tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Periode ini dipilih untuk menghubungkan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia Internasional (10 Desember).

Infografis data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) menunjukkan penurunan prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan dari 2016 hingga 2024, menandakan tercapainya target RPJMN.
Data kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Foto: Tangkapan Layar Youtube Komnas Perempuan
Advertisement image

Cerita Perempuan Korban Kekerasan

Sekretaris Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Anindya Shabrina, menceritakan pengalaman sebagai perempuan korban kekerasan. Secara spesifik, dirinya mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sejak 2018.

Kekerasan yang dialami Anindya terjadi selama beberapa tahun, dan bentuknya beragam.

“Mulai dari penyebaran identitas pribadi dari tahun 2018 ke 2019 ya di Twitter (saat ini X). Waktu itu belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) seperti sekarang ya, alamat dan lain sebagainya KTP disebar oleh buzzer di Twitter,” ungkap Anindya dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (26/11/2025).

Lebih dari itu, ia bahkan mendapat teror digital yang terus menerus masuk ke nomor ponselnya lewat aplikasi pesan di media sosial.

“Sampai di tahap yang advance seperti misal nomor handphone saya yang sekarang sudah saya matikan itu tiba-tiba mengirim broadcast pesan yang tidak saya kirim dengan narasi yang tidak saya tulis itu,” tambahnya.

Tak Dapat Perlindungan Memadai

Meski mendapat teror berulang, Anindya mengaku tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Termasuk, ketika dirinya mengadu ke polisi.

“Itu mau lapor ke polisi kemungkinan besar siapa yang punya akses terhadap nomor itu, karena saya juga ke provider, saya tanya ini bagaimana ini kena hacking dan lain sebagainya, mereka juga tidak bisa memberikan proteksi, jadi cuman ya ini harus diganti aja mbak emailnya blablabla cuman sebatas normatif,” ujarnya.

Anindya menekankan bahwa aparat sering membuat korban enggan atau takut untuk melapor. Sebab, ia berpendapat terkadang polisi terkesan tidak terbuka dalam menerima dan menanggapi perempuan korban kekerasan yang melapor seperti dirinya.

“Mereka juga harus paham gitu ya, harus minimal ada basic empati lah, tidak boleh ada pertanyaan, ‘bukannya itu enak ya bukannya kamu menikmati ya’, dan lain sebagainya, itu tidak boleh ditanyakan kepada korban harusnya seperti itu,” terangnya.

Seorang perempuan berhijab dan berkacamata hitam memegang poster bertuliskan 'WOMEN'S RIGHTS ARE HUMAN RIGHTS' di tengah kerumunan aksi unjuk rasa hak perempuan.
Seorang perempuan berhijab dan berkacamata hitam memegang poster bertuliskan 'WOMEN'S RIGHTS ARE HUMAN RIGHTS' di tengah kerumunan aksi unjuk rasa hak perempuan. Foto: ANTARA
Advertisement image

Kekerasan di Ruang Digital Meningkat

Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyebut menegaskan jumlah aduan meningkat setiap tahun dan mengibaratkan seperti fenomena gunung es.

“Aduan yang masuk ke SAFEnet juga kita tahu tiap tahun itu selalu terus meningkat. Misalnya di tahun ini pun kemungkinan besar akan jauh lebih tinggi daripada angka di 2024,” ujar Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum Prijadi dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (26/11/2025).

Lebih lanjut, ia mengingatkan dampak masif perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan atau artificial intelegence dapat memperbesar risiko kekerasan digital.

“Dengan Generatif AI orang bisa dengan mudah memanipulasi foto dan gambar yang akhirnya bisa digunakan untuk menarget siapapun gitu ya menjadi korban kekerasan,” ucap Nendan.

Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik 4 (empat) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024.

Korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.

Ribuan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Terus Terjadi

Mengutip dari data resmi Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terjadi kenaikan tren kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam dua dekade.

Tahun 2024 mencatat peningkatan signifikan, yaitu 330.097 kasus atau naik 14,17% dari tahun sebelumnya—dengan dominasi kasus di ranahpersonal.

Kemudian pada 2025, laporan KBGO meningkat sebesar 40,8 persen dari laporan tahun sebelumnya. Padahal di 2024 ada 1.791 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Lalu, pelaporan kekerasan seksual pada tahun 2022 mencapai 6.315 kasus, namun pada 2024 mencapai 20.958 kasus atau naik lebih dari 200 persen.

Sementara berdasarkan pemantauan media, Komnas Perempuan menghimpun data kurun 1 November 2024–31 Oktober 2025 terdapat 453 pemberitaan pembunuhan perempuan, dan 239 kasus teridentifikasi sebagai femisida.

Data Komnas Perempuan merinci statistik dan tren peningkatan kasus kekerasan seksual, termasuk KBGO dan eksploitasi anak, di Indonesia periode 2022-2024.
Data Komnas Perempuan merinci statistik dan tren peningkatan kasus kekerasan seksual, termasuk KBGO dan eksploitasi anak, di Indonesia periode 2022-2024. Foto: Tangkapan Layar Youtube Komnas Perempuan
Advertisement image

Upaya Apa yang Mesti Dilakukan?

Dalam peringatan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) Komnas Perempuan mendorong seluruh pihak mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, media, komunitas keagamaan, hingga masyarakat luas, untuk memperkuat komitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

“Komnas Perempuan akan terus memperkuat pemantauan, advokasi, edukasi publik, dan kolaborasi lintas sektor, guna memastikan bahwa ruang aman bagi perempuan dapat diwujudkan sebagai fondasi penting menuju Indonesia yang setara dan bebas dari kekerasan,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih dikutip dari rilis resmi Komnas Perempuan.

Ia mengatakan selama implementasi UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tetap menghadapi tantangan serius dalam tiga tahun pemberlakuannya.

“Sosialisasi yang belum merata, resistensi aparat penegak hukum untuk menggunakannya dalam proses penanganan kasus, serta lambannya penyelesaian aturan turunan, menjadi hambatan utama dalam memastikan hak-hak korban benar-benar terpenuhi,” jelas Dahlia.

Tahun ini, Komnas Perempuan mengangkat tema nasional “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman”. Sementara, Secara global, kampanye 16 HAKTP 2025 mengusung tema “UNiTE to End Digital Violence against All Women and Girls” atau “Seruan untuk bersatu mengakhiri kekerasan digital terhadap perempuan dan anak perempuan”.

Enam dari Tujuh Peraturan Pelaksana UU TPKS Sudah Dijalankan

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Desy Andriani mengeklaim implementasi UU TPKS yang telah berlaku selama tiga tahun berjalan cukup baik.

Hanya saja, dari tujuh peraturan pelaksana UU TPKS, masih ada satu peraturan pelaksana yang belum ditetapkan, yakni Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

"Kami juga menindaklanjuti dengan menyusun peraturan menteri mengenai petunjuk teknis sebagai panduan bagi para pemangku kepentingan, termasuk tata kelola UPTD PPA yang merupakan amanah dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024,” tutur Desy.

Ia memastikan refleksi dan proyeksi upaya perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan yang telah dilakukan oleh pemerintah bersama pemangku kepentingan lainnya.

Momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diharapkan dapat memperkuat koordinasi multipihak dalam mencegah kekerasan dan memastikan setiap perempuan di Indonesia mendapatkan hak atas perlindungan, keadilan, dan pemulihan.

Infografis Komnas Perempuan ini merinci mandat UU TPKS, menampilkan daftar peraturan pemerintah dan peraturan presiden terkait penanganan, perlindungan, dan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual.
Infografis Komnas Perempuan ini merinci mandat UU TPKS, menampilkan daftar peraturan pemerintah dan peraturan presiden terkait penanganan, perlindungan, dan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual. Foto: Tangkapan Layar Youtube Komnas Perempuan
Advertisement image

16 HAKTP Tetap Menjadi Refleksi bagi Pemerintah

Asisten Deputi KemenPPPA, Prijadi Santoso, mengatakan 16 HAKTP harus menjadi refleksi bagi pemerintah. Ia mengaku, kekurangan yang ada bakal terus diperbaiki ke depannya.

“Maka memang beberapa hal yang harus kami perhatikan, karena memang pemerintah itu kan pada dasarnya memang yang harus menjamin melindungi warganya. Tapi memang faktanya tidak bisa sendiri juga,” ujar Prijadi dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (26/11/25).

Prijadi menekankan pentingnya solidaritas bersama dalam serta pemanfaatan momentum 16 HAKTP untuk meningkatkan kesadaran publik.

Selain itu, KemenPPPA, kata dia bakal memperkuat mekanisme layanan di pusat dan daerah melalui Unit Pelaksanaan Teknis Daerah Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPPA).

“Setiap daerah wajib membentuk UPTT PPPA unit itu untuk mereka menerima aduan maupun mendampinginya, memastikan mereka (korban) itu dapat haknya. Itu yang diutamakan,” tuturnya.

Prijadi menambahkan, nantinya penanganan kasus kekerasan perempuan yang tidak bisa diselesaikan di ranah kabupaten/kota maka akan dialihkan ke pusat.

“Tapi kalau yang sifatnya misalnya pelakunya itu adalah pejabat publik, tokoh masyarakat, kemudian juga apa namanya militer atau polisi itu langsung atensi dari pusat,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media

Baca juga:

Menghalau Anak dan Remaja dari Bidikan Jaringan Teroris

Menagih Perlindungan Paripurna untuk Pekerja MBG

HAKTP
HAKTP 2025
16 HAKTP 2025
Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan
SPHPN


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...