Kawasan seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, dan Papua bagian selatan masuk dalam zona yang berpotensi mengalami hujan intens yang memicu longsor dan banjir
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Yogyakarta- Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra kembali mengingatkan betapa rentannya daerah tersebut terhadap curah hujan ekstrem dan degradasi lingkungan.
Hujan berkepanjangan membuat sungai meluap, merendam permukiman, serta memicu pergeseran tanah di area perbukitan yang menyebabkan akses terputus dan rumah-rumah rusak.
Eks Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa prediksi BMKG sudah menyebut bahwa sampai bulan Maret 2026, ada potensi kejadian-kejadian siklon tropis terutama di belahan bumi selatan.
"Jadi posisinya pindah ke selatan. Misalnya dari barat daya Bengkulu, terus ke selatan mendekati Selat Sunda lalu nanti muter ke Jawa. Kadang-kadang nanti siklonnya nggak muter tapi lanjut ke Australia, sehingga kita itu belum selesai," ungkapnya dalam diskusi Pojok Bulaksumur di UGM, Kamis (4/12/2025).
Fenomena ini, lanjutnya, lebih dominan di belahan selatan bumi sehingga wilayah selatan khatulistiwa perlu berada dalam kondisi siaga terhadap cuaca ekstrem.
Kawasan seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, dan Papua bagian selatan masuk dalam zona yang berpotensi mengalami hujan intens yang memicu longsor dan banjir.
“Wilayah-wilayah tersebut seharusnya berada dalam kondisi siaga terhadap cuaca ekstrem sebagaimana yang baru saja terjadi di Sumatra,” tuturnya.
Selain kondisi kerentanan wilayah dan kerentanan dari aspek iklim, faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah adanya kerentanan ekologi.
"Artinya, tempat-tempat hunian saat ini, itu merupakan akumulasi endapan banjir bandang purba yang sudah berkali-kali, sehingga memang lahan itu merupakan lahan banjir bandang,” jelasnya.

Peringatan Dini Bahkan Tak Mampu Cegah Bencana Sumatra
Dwikorita mengungkapkan peringatan awal terkait potensi hujan ekstrem sudah terdeteksi di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sejak September 2025.
Menurutnya, sistem peringatan dini mestinya ditindaklanjuti dengan respons yang tepat untuk meminimalisasi dampak bencana hidrometeorologi.
"Early warning system ini harus diikuti dengan early response, ini yang harus ditekankan. Bahkan di bulan Oktober lalu, saya dengan Pak Bobby Nasution (Gubernur Sumut, red) sudah zoom, itu sudah siap-siap,” ungkapnya.
Dwikorita bahkan mengungkapkan telah menginformasikan adanya risiko terjadinya banjir bandang di wilayah Sumatra, salah satunya Sumatra Utara kepada Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Diana Kusumastuti.
“Jadi mohon PU juga harus siap, karena November di wilayah Sumatra Utara itu (potensi banjir bandang, red) begitu, data-data begitu. Waktu itu khusus ditemui lewat zoom oleh gubernur untuk menyiapkan kesiapsiagaan banjir bandang,” terang Pakar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Perubahan Iklim Diperburuk Kerusakan Ekologi Sumatra
Pakar Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) UGM, Hatma Suryatmojo menilai, perubahan iklim menjadi pemicu terjadinya bencana banjir bandang. Beberapa riset, kata dia, menyebutkan jika di kawasan Sumatra terjadi hujan lebih dari 50mm, maka akan terjadi banjir. Sedangkan pada saat banjir bandang akhir November 2025, menurut BMKG debit air mencapai 308mm.
"Jadi mau ekosistem sebaik apapun, karena ekosistem alaminya berpotensi menyebabkan banjir. Apalagi ini ekosistemnya sudah berubah, sehingga kemampuan mengendalikan hujan ini menurun, ditambah dipicu oleh hujan ekstrem, selesailah," paparnya.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Hatma, tiga lokasi banjir bandang Sumatra di bagian hulu dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki fungsi utama sebagai kawasan lindung.
“Jika kawasan yang berada di bawah kawasan lindung ini rusak, berarti ada sesuatu di DAS yang melindungi. Artinya bisa diindikasikan bahwa kejadian kemarin selain dipicu oleh iklim ekstrem, ada yang salah dengan sistem di daerah hulunya,” ungkapnya.

Pentingnya Investigasi Penyebab Utama Bencana Sumatra
Hatma mengatakan, semua pihak perlu melakukan identifikasi lebih detail terkait penyebab utama bencana masif di Sumatra.
Hatma bahkan mendorong investigasi mendalam untuk mengungkap sumber kayu gelondongan yang turut terbawa arus dalam banjir bandang tersebut. Ia memperkirakan kayu tersebut berasal dari kawasan yang bervegetasi atau disebut kawasan hutan.
"Kawasan hutan yang ada dimana? Apakah kawasan hutan yang ada di lahan negara yang dikelolah Kementerian Kehutanan, atau itu kawasan hutan yang berupa kawasan statusnya non hutan yang sering kita sebut Areal Penggunaan Lain (APL) yang dikelola pemda, " ujarnya dalam diskusi Pojok Bulaksumur di UGM, Kamis (4/12/2025).
Hatma menjelaskan bagian hilir dari suatu perbuktian di pengunungan vulkanik terdapat lokasi kipas vulkanik sebagai tempat material menuju ke laut. Menurutnya, hal ini bakal berdampak parah jika banjir dating bersama material berat seperti batang pepohonan.
“Contoh Kota Padang itu dia benar-benar ada di kipas vulkanik, sehingga dengan kondisi alami ini kalau kita tidak hati-hati dan memperhatikan alam, maka ketika alam itu bereaksi untuk menyesuaikan dirinya, itu ada potensi kita terkena dampak," tambahnya.

Komnas HAM Dalami Penyebab Bencana Sumatra
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan lembaga tersebut tengah mendalami penyebab bencana hidrometeorologi yang melanda dan menewaskan ratusan korban jiwa di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
"Komnas HAM sedang melakukan pengamatan situasi untuk mendalami faktor-faktor penyebab bencana," katanya di Kota Padang, Rabu (10/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Hal tersebut disampaikan Pramono saat menyelenggarakan doa bersama dalam rangkaian Peringatan Hari HAM Sedunia serta refleksi atas bencana ekologis yang melanda tiga provinsi di Sumatra.
Ia mengatakan Komnas HAM juga akan mempelajari dan mendalami dampak bencana serta langkah-langkah pemerintah daerah dalam menangani bencana di Sumbar.
“Komnas HAM ingin memastikan para penyintas ditangani dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun mengabaikan prinsip HAM,” terangnya.
Jumlah Korban Bencana Sumatra
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat jumlah korban meninggal akibat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat hingga Kamis (11/12/2025) pukul 08.00, mencapai 969 orang.
Selain itu, sebanyak 252 orang masih dinyatakan hilang dan lebih 5.000 warga mengalami luka-luka.
BNPB juga mencatat jumlah rumah yang rusak akibat bencana dahsyat yang terjadi pada akhir November 2025 tersebut hingga kini sudah mencatat 158.00 unit. Sebanyak 52 kabupaten dan kota di tiga provinsi terdampak bencana tersebut.
Selain itu bencana turut merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung perkantoran, serta putusnya 498 jembatan.
Baca juga:
- Deforestasi Sumatra Tuai Bencana, Apakah Raja Juli Mampu Rehabilitasi Hutan?
- Tahan Status Bencana Nasional Sumatra Bikin Prabowo Digugat, Pakar: Secara Yuridis Penuhi Syarat





