ragam
Deforestasi Sumatra Tuai Bencana, Apakah Raja Juli Mampu Rehabilitasi Hutan?

Greenpeace menyebut tutupan hutan alami sendiri di Sumatra itu saat ini hanya tinggal angka persisnya itu sekitar 11,6 juta hektare maka hutan alami itu hanya tersisa 24%

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
ACEH
Tumpukan kayu di sebuah perkampungan pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). ANTARA FOTO

KBR, Yogyakarta - Banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menjadi bencana hidrometeorologi terbesar dalam beberapa dekade terakhir di Pulau Sumatra. Tak hanya air beserta lumpur, namun banjir juga membawa gelondongan kayu dari atas hutan mengalir deras ke permukiman warga.

Menurut Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, praktik deforestasi yang masif sudah terjadi sejak awal 1990-an, saat ekspansi sawit dan hutan tanaman industri (HTI) mulai gencar terjadi di Sumatra.

“Tutupan hutan alami sendiri di Sumatra itu saat ini hanya tinggal angka persisnya itu sekitar 11,6 juta hektare. 11,6 juta hektare kalau kita bandingkan dengan luas Pulau Sumatra, maka hutan alami itu hanya tersisa 24%,” jelas Kiki dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (9/12/2025).

Menurutnya, jumlah itu jauh dari peraturan yang disebutkan dalam Undang-Undang Kehutanan tahun 1999 yang disahkan pada saat zaman Presiden Habibie, bahwa setiap daerah itu harus punya minimal 30%.

Sementara itu, Greenpeace, lanjut Kiki, mencatat hampir seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra dalam kondisi kritis karena tutupan hutan di bawah 25%.

Ia bahkan menegaskan bahwa proses pembukaan hutan terbesar justru berasal dari izin legal pemerintah, bukan semata penebangan liar.

Kiki juga merinci temuan Greenpeace bahwa tiga provinsi terdampak banjir dibebani lebih dari seribu izin industri ekstraktif di Aceh.

“Ada 98 pelepasan kawasan, 186 izin konsesi sawit, 33 tambang, 15 PBPH. Total di Aceh saja itu ada 332 izin,” jelas Kiki.

Peta konsesi proyek energi dan pertambangan di Sumatera Utara, menampilkan lokasi PLTA Batang Toru, PLTP Sarulla, dan tambang emas PT Agincourt Resources.
Peta kerusakan hutan lindung Batang Toru di Sumatra Utara. Foto: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Advertisement image

Klaim Penurunan Deforestasi Dipertanyakan

Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet mempertanyakan klaim pemerintah mengenai penurunan deforestasi. Ia justru merasa heran ketika Kementerian Kehutanan bangga memaparkan data deforestasi yang menurun.

“Bisa jadi turunnya itu bukan karena angka-angka pemerintah yang sistematis, tetapi kawasan yang semakin memang sudah turun sehingga dengan sendirinya, maka secara angka statistik akan turun,” jelas Slamet dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (9/12/2025).

Lesgislator PKS ini menilai kerusakan hutan bukan fenomena baru, namun mencapai puncaknya dalam satu dekade terakhir, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.

Padahal, kata dia, saat itu partainya sudah melihat ada celah yang akan memberikan ruang untuk kemudian terjadinya kerusakan lingkungan lantaran tidak adanya kontrol dari DPR.

“Ini memberikan gambaran betapa memang pemerintah yang tentunya atas persetujuan DPR kemudian membuat ruang untuk kemudian terjadinya kerusakan lingkungan, khusus juga dengan deforestasi,” terang Slamet.

Grafik batang menunjukkan data persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) di Sumatera, di mana sektor tambang mendominasi dengan 38.206,46 dan 66 izin.
Sumber: Jatam. (Grafis diolah menggunakan AI)
Advertisement image

Menhut Klaim Deforestasi Menurun

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menyebut tingkat deforestasi di ketiga provinsi terdampak banjir di Sumatera mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 2024.

Raja Juli menjabarkan tingkat deforestasi secara nasional menurun dari 216.216 hektare pada 2024 menjadi 166.450 hektare per September 2025 atau turun 23,01 persen.

"Penurunan deforestasi tersebut juga teridentifikasi pada tiga provinsi terdampak banjir," kata Menhut Raja Juli Antoni dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Kamis (4/12/2025) dikutip dari ANTARA.

Untuk wilayah Aceh terjadi penurunan 10,04 persen dari 11.228 hektare pada 2023-2024 menjadi 10.100 hektare pada periode 2024 sampai September 2025

Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Sumatra Utara (Sumut) yang mengalami penurunan 13,98 persen dari 7.141 menjadi 6.142 hektare. Sedangkan di Sumatra Barat (sumbar) turun 14 persen dari 6.634 menjadi 5.705 hektare.

Seorang pejabat mengenakan kemeja batik gelap berbicara di mikrofon dalam rapat, sementara pejabat lain berbaju batik cokelat mendampingi.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (tengah) bersama Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki (kiri) dan Sekretaris Jenderal Kementerian Perhutanan Mahfudz (kanan) menyampaikan paparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/12/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Hentikan Izin Pembukaan Hutan

Kiki Taufik mendesak pemerintah agar tidak lagi memberikan izin pembukaan hutan untuk izin-izin industri ekstraktif, baik itu kelapa sawit, HTI, kebun kayu, ataupun juga pertambangan.

“Itu yang pertama, jadi zero deforestasi itu penting. Kedua adalah mulai dengan penegakan hukum,” tuturnya.

Menurut Kiki, izin seluruh perusahaan yang melanggar harus dicabut dan diberikan sanksi.

“Ketiga, itu adalah merubah mindset dari para pemimpin negeri kita, para anggota legislatif, bahwa yang menjadi aset negara ini adalah masyarakat. Ini masyarakat Indonesia itu aset,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengapresiasi langkah awal penyegelan sejumlah perusahaan, tetapi menilai itu belum cukup.

“Bukan cuma itu yang kita butuhkan. Kami membutuhkan bahwa Menteri Kehutanan, seperti tadi saya sampaikan, tidak lagi memberikan izin-izin untuk PBPH, untuk industri-industri ekstraktif, mulai saat ini,” jelasnya.

Peta Zona Pengorbanan Pulau Sumatra menampilkan distribusi konsesi tambang, izin pertambangan, dan wilayah panas bumi seluas jutaan hektar yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, berdasarkan data Kementerian ESDM dan JATAM.
Sumber: Jatam
Advertisement image

Menhut Segel 7 Perusahaan Penyebab Banjir Sumatra

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengumumkan kembali menyegel tiga subjek hukum yang diduga berkontribusi menyebabkan banjir di Sumatra, menjadikan total tujuh subjek hukum yang sudah disegel oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

"Penyegelan ini akan terus kami lakukan terhadap perusak hutan. Seperti janji saya kepada rakyat yang disampaikan di depan Komisi IV DPR RI. Jadi siapapun yang melakukan perusakan hutan akan kami tindak," kata Menhut Raja Juli Antoni dalam pernyataan diterima di Jakarta pada Senin (10/12/2025) dikutip dari ANTARA.

"Dengan penyegelan kali ini sudah ada 7 subyek hukum yang disegel. Masih ada 5 subyek hukum lainnya yang teridentifikasi dan akan kami lakukan pendalaman. Bila terbukti melakukan pelanggaran, kami tidak segan akan langsung segel," tambahnya.

Penyegelan tiga subjek hukum terbaru itu dilakukan setelah sebelumnya Kemenhut menyegel empat entitas yang terindikasi berperan menyebabkan banjir di sejumlah wilayah Sumatera, dimana dua lokasi berada di bawah konsesi milik korporasi dan dua lokasi merupakan dikelola Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di luar kawasan hutan.

Daftar 7 Perusahaan yang Disegel

Subjek yang disegel adalah dua areal konsesi PT AR di Ramba Joring, Desa Aek Pining, Kecamatan Batang Toru, PHAT Jon Anson di Kecamatan Arse, dan PHAT Mahmudin di Desa Sombadebata Purba, Kecamatan Saipar Dolok Hole. Ketiganya berada di areal Kabupaten Tapanuli Selatan.

Empat subjek hukum sebelumnya yang disegel adalah areal konsesi PT TPL di Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan, PHAT Jhon Ary Manalu Desa Pardomuan dan PHAT Asmadi Ritonga Desa Dolok Sahut, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara, serta PHAT David Pangabean di Desa Simanosor Tonga, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Seorang penyadap mengumpulkan getah pinus dari pohon di hutan, mendukung industri kehutanan dan ekonomi lokal.
Arsip foto - Seorang petani mengambil getah pohon kemenyan milik masyarakat di kawasan Hutan Tanaman Industri PT Toba Pulp Lestari sektor Habinsaran, Desa Simare, Bor-Bor, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Rabu (21/11/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Advertisement image

Jika Tidak Mampu, Sebaiknya Mundur . .

Greenpeace mendesak Kementerian Kehutanan harus fokus merehabilitasi hutan-hutan yang sudah hilang di Indonesia, bukan hanya di Sumatra, tetapi di Jawa, di Bali, di semua pulau yang sekarang saat ini rusak.

“Jangan hanya gimmick, jadi harus tunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan serius,” jelas Kiki.

Greenpeace, kata dia, bahkan mempersilakan Raja Juli untuk meletakkan jabatannya sebagai Menteri Kehutanan jika merasa tidak sanggup memperbaiki dan memulihkan eksosistem hutan di Tanah Air.

“Pak Raja Juli, kalau memang Anda gentle dan merasa tidak mampu, saya sepakat dengan seruan para anggota DPR mundur, gitu. Harusnya gentle, gitu, kalau memang nggak mampu,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media


Baca juga:

- Tahan Status Bencana Nasional Sumatra Bikin Prabowo Digugat, Pakar: Secara Yuridis Penuhi Syarat

- Sudahkah Pemenuhan Hak bagi Kelompok Rentan di Bencana Sumatra Terpenuhi?

deforestasi
deforestasi hutan
Bencana Sumatra
Aceh
sumatera barat
sumatera utara


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...