Komnas Perempuan siap memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan penyelenggara MBG agar program ini tidak mengabaikan hak pekerja perempuan.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti sejumlah persoalan dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang melibatkan ribuan pekerja perempuan di dapur penyedia pangan dan gizi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Kasus kekerasan seksual di SPPG Jatiasih, Bekasi, menguak realita kerentanan perempuan pekerja di program MBG. Korban berinisial RDA sudah melaporkan terduga pelaku, M Kevin Pradana, yang merupakan Kepala SPPG. Ada dugaan korbannya tak berhenti di RDA.
Perempuan pekerja di program MBG juga rentan dieksploitasi dalam berbagai bentuk. Misalnya upah dan jam kerja tak jelas, minim perlindungan, hingga faktor keselamatan mereka selama bekerja. Sementara, jumlah perempuan pekerja di dapur MBG mencapai 55 persen dari total 40 ribu petugas SPPG.
Komisioner Komnas Perempuan untuk Gugus Kerja Perempuan Pekerja, Irwan Setiawan mengatakan besarnya komposisi perempuan di layanan MBG memicu kerentanan yang tinggi.
Menurutnya, operator dan pihak penyelenggara MBG semestinya menerapkan regulasi untuk hak perlindungan perempuan. Seperti implementasi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
“Misalkan MBG atau BGN punya satgas tidak untuk menangani itu? Kalau tidak, ya bentuk. Peraturan ini bertujuan menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual,” ujar Irwan dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (6/11/2025).
Irwan mengungkapkan hingga Oktober 2025, Komnas Perempuan telah menerima hampir 40 ribu laporan kekerasan terhadap perempuan, dengan sekitar 12 ribu di antaranya berasal dari pekerja perempuan.
“Yang paling banyak trennya akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual. Karena itu kami sudah menyampaikan kepada Kemenaker agar memastikan implementasi Permenaker 88 ini berjalan di seluruh perusahaan di Indonesia,” katanya.

SPPG Belum Siapkan Regulasi Pencegahan KS di Dapur MBG
Di sisi lain, Kepala SPPG Dapur Katulampa 2 Bogor Jawa Barat, Siti Nurul Uas Waqi’ah mengatakan, keamanan bagi pekerja perempuan menjadi perhatian utama. Meski begitu, kata dia, belum ada aturan baku yang mengatur soal perlindungan perempuan di dapur MBG.
“Isu tentang keamanan bagi perempuan ini jadi poin utama untuk kami perhatikan. Kami menyediakan CCTV dan memastikan perempuan tidak pergi sendiri di area dapur. Harus berkelompok agar aman,” jelasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (6/11/2025).
Siti mengapresiasi program MBG lantaran memberikan ruang lapang bagi pekerja perempuan. Meski begitu, ia mengaku SPPG yang dibawah pengelolaannya hanya mempekerjakan sekitar 30 persen perempuan.
“Tapi kalau di lapangan, proporsinya tuh nggak selalu 55%. Di SPPG saya aja itu 30% perempuan dan didominasi laki-laki. Tapi di tempat lain bisa 80% perempuan atau 20% laki-laki,” terangnya.
Siti mengungkapkan aktivitas kerja di dapur MBG dimulai sejak dini hari dan berjalan dengan sistem bergantian atau shifting. Sementara itu, sistem off bekerja diberlakukan bagi seluruh pekerja di dapur MBG jika sekolah dalam keadaan libur.
“Biasanya aktivitas di dapur itu dimulai dari jam 2 pagi, selama 8 sampai 9 jam. Setelah itu diteruskan oleh tim pengolahan bahan dan tim distribusi,” ungkapnya.

Status, Upah dan Perlindungan Pekerja Dapur MBG Tidak Jelas
Sementara itu, Hana Saragih, Staf Riset dan Advokasi dari FIAN Indonesia, menyebut masih banyak persoalan struktural dalam proyek MBG, terutama soal ketidakjelasan status kerja dan upah bagi perempuan.
“Dari pemantauan kami, tidak seluruhnya 55% pekerja perempuan itu berstatus karyawan. Ada juga yang berstatus relawan, dan sebagian besar justru perempuan,” kata Hana dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (6/11/2025).
Ia menjelaskan kondisi ini mencerminkan konstruksi sosial yang menempatkan perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama, sehingga dibayar rendah atau tidak sesuai dengan upah minimal di daerah.
“Perlindungan dan jaminan hak pekerja SPPG belum terpenuhi dengan baik. Ini berimbas pada pelanggaran hak atas pangan dan gizi bagi pekerja itu sendiri,” ujarnya.
Hana menjelaskan bahwa pihaknya bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil telah melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia atas pangan dan gizi kepada Komnas HAM pada Oktober 2025 lalu.
“Salah satu poinnya adalah tidak adanya transparansi soal perekrutan dan skema gaji di SPPG. Tidak jelas apakah ada perbedaan antara gaji perempuan dan laki-laki,” ungkapnya.
BGN Nonaktif SPPG di Bekasi
Badan Gizi Nasional (BGN) menonaktifkan Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Jatimekar, Bekasi yang diduga terlibat dalam kasus pelecehan verbal dan kekerasan terhadap rekan kerjanya. Langkah ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab kelembagaan dalam memastikan lingkungan kerja yang aman, tertib, dan bebas dari kekerasan.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan Polres Metro Bekasi Kota telah menjadwalkan pemanggilan terhadap Kepala SPPG untuk dimintai keterangan terkait laporan yang telah diterima.
“BGN menyatakan siap bekerja sama penuh dengan aparat penegak hukum guna memastikan proses berjalan transparan dan sesuai ketentuan hukum,” tuturnya.

Upah dan Perlindungan Pekerja MBG Dijamin Pemerintah?
Badan Gizi Nasional (BGN) mengalokasikan anggaran sebesar Rp20,16 miliar per bulan guna menjamin perlindungan kerja bagi sekitar 1,2 juta tenaga kerja yang terlibat dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi dalam keterangannya pada April 2025, mengklaim anggaran tersebut digunakan untuk membayar iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) melalui kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan.
"Setiap pekerja di dapur MBG, kini terlindungi jaminan BPJS Ketenagakerjaan, setidaknya jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian,” ujarnya dikutip dari ANTARA.
Selain menjamin perawatan medis pekerja MBG yang mengalami kecelakaan kerja, kata Dedek, jaminan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan juga akan membiayai pendidikan anak dari para pekerja hingga lulus S1 serta klaim dari peserta yang meninggal saat bekerja.
“Berbeda dengan skema umum di mana iuran dibayarkan bersama oleh perusahaan dan pekerja, dalam skema ini BGN menanggung seluruh iuran tanpa memotong gaji pekerja,” tuturnya.
“Gaji pekerja tidak dipotong sepeser pun,” tambahnya.
Hak Pekerja Perempuan Jangan Diabaikan!
Irwan menegaskan bahwa Komnas Perempuan siap memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan penyelenggara MBG agar program ini tidak mengabaikan hak pekerja perempuan.
“Masyarakat punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, karena ini dana publik. Pemerintah harus mendengar dan melakukan evaluasi menyeluruh,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa pelaksanaan proyek seperti MBG tanpa kesiapan dan perlindungan yang memadai bisa menjadi bentuk kekerasan negara terhadap rakyatnya.
“Evaluasi yang komprehensif itu sangat penting. Jangan sampai program ini dijalankan serampangan dan justru melahirkan masalah baru,” tegasnya.

Susun Payung Hukum MBG, Hormati Hak Perempuan!
Hana dari FIAN Indonesia mendorong agar pemerintah segera menyusun regulasi teknis berkaitan dengan status pekerjaan, upah, dan perlindungan pekerja di program MBG. Ia menyoroti kekosongan payung hukum yang menjadi akar dari berbagai masalah dalam proyek MBG.
“Ini menunjukkan fondasi legal proyek ini belum kokoh sedari awal. Akibatnya, terjadi pelanggaran berantai, dari kekerasan di tempat kerja sampai insiden keracunan makanan. Ini bukan sekadar kegagalan teknis, tapi juga pelanggaran hak,” ujarnya.
Hana menambahkan proyek MBG yang digadang-gadang untuk meningkatkan gizi anak justru gagal memenuhi empat dimensi hak atas pangan, ketersediaan, kelayakan, keterjangkauan, dan keberlanjutan.
“Banyak ditemukan makanan yang tidak sesuai untuk mencukupi gizi anak. Porsi kecil, sayur minim, bahkan makanan ultra-proses tinggi gula. Ini menunjukkan proyek MBG gagal menjamin pangan bermutu dan berkelanjutan,” tegasnya.
Hana mendesak agar proyek ini dievaluasi total dan lebih menghormati hak-hak perempuan. Sebab, perempuan merupakan kelompok berisiko yang perlu mendapat prioritas dan perlindungan dari program yang dijalankan negara.
“Dalam proses seleksi kerja, budaya patriarki harus dihindari. Tidak boleh ada pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan. Harus ada jaminan perlindungan kerja, termasuk cuti haid dan perlindungan kesehatan,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Relasi antara Pernikahan Dini, Ketidakstabilan Ekonomi, dan KDRT
- MUI Kota Bekasi Dinilai Diskriminatif terhadap Ragam Gender




