Ada berbagai faktor yang saling berkaitan.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Sindu

KBR, Yogyakarta- Tren kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia fluktuatif dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada 2024 mencapai 330.097 kasus. Meningkat sekitar 14,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 289.111 kasus.
Angka tersebut menunjukkan, kekerasan, termasuk KDRT, masih menjadi persoalan serius yang mengancam stabilitas keluarga dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Isti’anah ZA menilai, KDRT tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor saling berkaitan. Mulai dari tekanan ekonomi, ketidaksetiaan dalam rumah tangga, hingga praktik perkawinan usia dini.
Menurutnya, tekanan ekonomi menjadi faktor paling dominan yang kerap memicu konflik keluarga. Kondisi finansial yang tidak stabil dapat menyebabkan stres, emosi tidak terkendali, hingga berujung pada tindakan kekerasan.
“Banyak pasangan yang akhirnya saling menyalahkan ketika kebutuhan hidup sulit terpenuhi. Situasi seperti ini sering kali memicu pertengkaran dan berujung pada kekerasan, baik terhadap pasangan maupun anak,” katanya di Ruang Senat Fakultas Hukum UMY, Kamis, (30/10/2025).

Bukan Faktor Tunggal
Namun, faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab. Dalam sejumlah kasus, KDRT juga terjadi pada keluarga yang tergolong mapan secara finansial.
“Tidak sedikit keluarga berkecukupan yang tetap mengalami kekerasan. Setelah ditelusuri, penyebab utamanya adalah ketidaksetiaan dalam rumah tangga. Kecenderungan untuk berselingkuh atau membangun hubungan tidak sehat menjadi pemicu utama munculnya kekerasan,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti perkawinan usia dini sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka KDRT. Pasangan yang menikah di bawah usia matang umumnya belum siap menghadapi dinamika dan tanggung jawab kehidupan berumah tangga.
Bentuk kekerasan yang muncul pun beragam, mulai dari fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran keluarga.
Meski Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan telah menetapkan batas minimal usia menikah menjadi 19 tahun. Namun, praktik perkawinan anak masih marak terjadi, karena ada celah hukum berupa dispensasi dari pengadilan.
“Dispensasi ini sering diberikan terlalu mudah. Bahkan, banyak hakim menghadapi dilema ketika permohonan diajukan karena pihak perempuan sudah mengandung. Akibatnya, angka perkawinan di bawah umur justru semakin meningkat,” terangnya.
Isti’anah menegaskan, pengurus negara perlu mengambil langkah konkret dan sistematis untuk menekan angka perkawinan dini serta memperkuat ketahanan keluarga.
Ia mendorong, ada strategi nasional yang tidak hanya sebatas kebijakan di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan secara konsisten di lapangan.
“Diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam memberikan edukasi sejak dini tentang kesiapan menikah, pengelolaan ekonomi keluarga, dan pembinaan moral. Jika tiga aspek ini diperkuat, saya yakin angka KDRT dapat ditekan secara signifikan,” tandasnya.

Korban Ganda
Di sisi lain, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah menambahkan, persoalan kekerasan berbasis gender dan ketimpangan sosial bukan lagi isu domestik, melainkan problem kemanusiaan yang harus diselesaikan sistematis.
Menurutnya, banyak perempuan dan anak menjadi korban ganda, tidak hanya mengalami kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga menghadapi kesulitan mengakses keadilan hukum akibat keterbatasan pengetahuan, dukungan, dan sumber daya.
“Keadilan itu tidak boleh berhenti di ranah hukum formal. Ia harus menyentuh hati, menyentuh nurani, dan memihak kepada yang lemah. Banyak perempuan menderita dalam diam karena tidak tahu ke mana harus mencari perlindungan,” ujarnya, Sabtu, (25/10/2025).
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, tercatat 578 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juni 2024.
Bentuk kekerasan tersebut mencakup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, hingga perundungan.
"Angka ini menjadi pengingat bahwa masalah tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan empati, tetapi perlu langkah nyata dan berkelanjutan," jelasnya.
Pos Bantuan Hukum
Salah satu bentuk komitmen ‘Aisyiyah menghadapi persoalan tersebut adalah melalui pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di berbagai wilayah Indonesia.
Program ini menjadi bagian dari gerakan hukum berbasis komunitas berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan dan anak korban kekerasan.
Melalui Posbakum, masyarakat dapat memperoleh layanan pendampingan hukum, konsultasi, dan penyusunan dokumen hukum secara gratis.
“Hingga Oktober 2025, telah berdiri 109 Posbakum ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia, dan sembilan di antaranya sudah terakreditasi secara nasional. Pimpinan pusat menargetkan launching nasional akan dilaksanakan pada Milad ‘Aisyiyah tahun 2026,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Salmah menekankan, perjuangan hukum yang dijalankan ‘Aisyiyah bukan semata-mata kegiatan advokasi administratif, tetapi bagian dari dakwah sosial berkeadilan. Gerakan hukum ini diharapkan mampu membangun kesadaran hukum lebih luas dan menumbuhkan masyarakat yang hidup dalam tatanan berkeadilan dan berkeadaban.
“No one left behind dalam keadilan. Ini bukan hanya urusan hukum, tetapi urusan kemanusiaan. Perempuan yang kuat akan melahirkan keluarga yang kuat, dan keluarga yang kuat akan melahirkan bangsa yang berkeadilan,” katanya.

Penguatan Keluarga
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UMY, Iwan Satriawan menyoroti pentingnya memperkuat keluarga sebagai fondasi utama membangun ketahanan sosial bangsa. Menurutnya, Posbakum ‘Aisyiyah memiliki peran strategis dalam mengurai berbagai persoalan sosial yang berawal dari kerentanan keluarga.
“Masalah keluarga saat ini semakin kompleks, mulai dari KDRT, perceraian, kehamilan tidak diinginkan, hingga lansia telantar. Jika tidak ditangani dengan baik, ini akan menimbulkan masalah sosial yang lebih besar. Tidak ada negara yang kuat tanpa kehidupan sosial yang tangguh, dan tidak ada kehidupan sosial yang tangguh tanpa keluarga yang kuat,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas bidang dalam menangani permasalahan keluarga. Menurutnya, pendekatan hukum perlu disinergikan dengan pendekatan psikologis agar penyelesaian masalah dapat lebih menyeluruh.
Iwan membuka peluang kolaborasi bagi mahasiswa Fakultas Hukum UMY melalui program magang dan pengabdian masyarakat di Posbakum ‘Aisyiyah.
“Kalau aspek hukum didampingi dengan psikologi, dampaknya akan luar biasa. Ketika keluarga punya masalah, minimal ada tempat bertanya. Kami di UMY siap mendukung melalui kerja sama akademik dan program RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) bagi para praktisi hukum yang ingin meningkatkan kualifikasi,” jelasnya.
Baca juga:




