ragam
MUI Kota Bekasi Dinilai Diskriminatif terhadap Ragam Gender

Terselip agenda hipnoterapi yang diduga sebagai praktik konversi. Praktik ini dikritik tidak manusiawi dan melanggar HAM.

Penulis: Tim KBR

Editor: Tim KBR

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Sarasehan pencegahan LGBT yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pelatihan Wilayah Kota Bekasi bersama Pemkot Bekasi di Aula Garuda BBPLK Cevest Bekasi pada 5 November 2025.
Acara Sarasehan Pencegahan LGBT yang dihelat MUI Kota Bekasi, Rabu (5/11/2025). (Foto: Tim KBR)

KBR, Jakarta- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, Jawa Barat, diprotes karena menggelar acara yang dinilai menyudutkan kelompok minoritas ragam gender. 

Acara itu bertajuk "Sarasehan Pencegahan LGBT Berbasis Nilai Keagamaan dan Kebangsaan", di Aula Garuda BBLK Cevest, Bekasi, Rabu, (5/11). Di dalamnya juga terselip agenda hipnoterapi.

Menurut Iyan Rama, Focal Point Inti Muda Jawa Barat, acara itu dihadiri 200-an peserta dari komunitas ragam gender di Bekasi. Iyan juga ada di lokasi sedari mula.

Kata dia, para peserta sejak awal merasa tidak nyaman, tetapi masih berkomitmen mengikuti.

Namun, mereka makin resah begitu para pembicara mulai tampil di panggung. Banyak pernyataan terlontar bernada menghakimi dibalut narasi agama nan kental.

Ketua MUI Kota Bekasi Saifuddin Siroj dalam sambutannya panjang lebar mengulas Islam tidak menerima LGBT.

"Saya bertanya, memang ada di Kota Bekasi, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Karena Bekasi ini kota agamis lo, kayaknya kok enggak nyambung otak saya kalau ada LGBT di Kota Bekasi," kata Ketua MUI Kota Bekasi, Saifuddin Siroj.

Banyak peserta terlihat menunduk, memegang gawai, bermain gim atau bertukar pesan singkat. Iyan bilang, grup chat ramai dengan keluhan peserta.

“Dia bilang, ‘Kak ini gimana, yang pas awal speech itu kok kayak gini, ya? Ini sebenarnya dia siapa? kok bicaranya kayak kurang bagus, ya?’, kayak gitu,” ujar Iyan.

Dipaksa Naik Panggung

Puncaknya saat salah satu pembicara, Ulfiah, Guru Besar Fakultas Psikologi di UIN Bandung, memaksa beberapa peserta naik ke panggung. Semua mata di aula langsung tertuju ke mereka. Pertanyaan dan komentar si pembicara terkesan menyudutkan.

"Sudah menikah?"

"Belum pernah." 

"KTP Islam?"

"Islam."

"Coba ceritakan kisahnya, kisah bisa jadi dua nama."

"Enggak tahu." 

"Tertariknya sama laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki." 

"Kenapa tertariknya sama laki-laki, tidak sama perempuan?"

"Ya, enggak tahu, dari kecil."

Kata Iyan, banyak peserta yang mundur atau keluar dari aula.

Rame banget itu di WA, 'aduh ini udah ditunjuk-tunjuk, kita mau diapain, nih? Apalagi nanti ada hipnoterapi apakah kita nanti dipajang di depan terus kemudian di-hipnoterapi bareng-bareng secara massal ditontonin orang apa gimana, nih?,” tutur Iyan menirukan beberapa pesan singkat dari peserta yang mulai panik.

Iyan kemudian maju, mengajukan protes. Ia mengkritik keras, karena acara berjalan tidak sesuai konsep awal hasil obrolan dengan MUI.

"Kami menganggapnya (sebagai) framing yang kurang elok bagi teman-teman. Ini sama saja mengeksploitasi teman-teman dong. Buat apa naikkin teman-teman ke atas?" ucap Iyan, disambut gemuruh tepuk tangan para peserta.

Kritik terhadap aksi pemanggilan paksa beberapa peserta juga diutarakan Sri Nurhidayah dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kota Bekasi.

“Keberatan hati nurani saya, dan etisnya sebenarnya saya tidak sepakat. Kecuali komunitas ini komunitas khusus,” ucap Sri yang juga psikolog.

Situasi makin tidak kondusif, agenda hipnoterapi dibatalkan. Salah satu trainer Perhisa (Perkumpulan Hipnoterapis Profesional Indonesia), Taufiq, memberikan pernyataan bernada simpatik ke para peserta. Ia mengingatkan, bahwa WHO sudah menyatakan LGBTIQ+ bukanlah penyimpangan. Taufiq juga meminta MUI lebih mengayomi.

“Karena terbukti di Indonesia, yang mukul-mukul enggak laku, yang nge-jangan-jangan enggak laku, yang nge-kafir-kafir-in enggak laku,” ujar Taufiq.

Di akhir acara, Ketua MUI Saifuddin Siroj menyayangkan aksi tersebut dan mengklaimnya sebagai insiatif pribadi si pembicara.

“Saya menyayangkan itu, tetapi saya juga mengatakan ini beliau kayaknya tidak sengaja. Terjadi spontanitas kayaknya itu,” tuturnya kepada KBR.

Harapan Meleset

Iyan Rama, Focal Point Inti Muda Jawa Barat menuturkan, ratusan individu ragam gender di Bekasi mau datang ke acara MUI karena beranggapan kegiatan tersebut adalah forum tabayun dan saling mengenal antara komunitas dan para ulama Bekasi.

“Apalagi MUI ini bisa dibilang satu majelis keagamaan yang cukup besar. Jadi, harapannya bisa nge-counter berita-berita negatif yang beredar di luar terkait isu HIV ataupun teman-teman LGBT yang ada di Kota Bekasi,” ujar Iyan.

Pihak komunitas sempat bertemu MUI beberapa waktu sebelum acara. Tidak ada informasi soal konsep kegiatan, termasuk agenda hipnoterapi. Mereka juga sudah menyampaikan keberatan soal judul “Sarasehan Pencegahan LGBT”, tetapi tak digubris.

Menurut Iyan, anggota komunitas hadir karena berharap forum di MUI bakal sama seperti Program Peningkatan Keimanan dan Ketakwaan (Pekat) yang diadakan Komisi Penanggulangan AIDS Bekasi bekerja sama dengan PC NU Bekasi. Program yang sudah berjalan tiga bulan ini, diisi dengan mengaji bareng di minggu ketiga saban bulan. Di forum itu, mereka bisa beribadah tanpa dihakimi.

“’Kamu, mau bagaimanapun, kalau kamu sudah punya niat baik, sok mangga dilakukan. Mau diterima atau tidak, mau berapa besar pahalanya, bukan manusia kok yang menilai, toh juga, para ustaz dan alim ulama ini belum tentu bisa masuk surga’, dibilangnya sih begitu,” tutur Iyan menirukan ucapan ustaz.

Praktik konversi

Acara MUI Kota Bekasi ini juga disorot Crisis Response Mechanism (CRM), khususnya terkait upaya terapi konversi lewat agenda hipnoterapi.

Richa F. Shofyana, Koordinator Advokasi, Jaringan dan Respon Krisis di CRM, mengatakan, praktik konversi merupakan tindakan paksaan dan tidak manusiawi.

“Orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit yang perlu disembuhkan. Upaya mengubah atau ‘menormalkan’ seseorang justru melanggar etika profesi psikologi dan prinsip HAM,” ujar Richa kepada KBR.

CRM mendesak penghentian praktik konversi dalam bentuk apa pun.

“Tidak ada ruang bagi kekerasan dan penyiksaan terselubung atas nama moralitas,” tegasnya.

Saat ini, CRM bersama Koalisi Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) tengah mendorong penyusunan payung hukum penghapusan diskriminasi menyeluruh terhadap kelompok rentan yang selama ini tidak diakomodasi negara.

Baca juga:

LGBT
LGBTIQ+
komunitas ragam gender
MUI


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...