ragam
Pemerkosaan Massal Mei 98, Ita Fatia: Saya Tidak Berbohong!

Tragedi Pemerkosaan Massal Mei 1998 terancam hilang dan terlupakan. Pemerintah, melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menyebutnya sebagai rumor.

Penulis: Heru Haetami

Editor: Wahyu Setiawan, Malika

Google News
Pemerkosaan Massal Mei 98, Ita Fatia: Saya Tidak Berbohong!
Kredit dalam foto: Ita Fatia Nadia (tangkap layar youtube/TEDx Talks), Peti Ita Martadinata (X/@Andreasharsono), Arsip Antara, AP Archive.

Sedang berada di mana kamu saat kerusuhan Mei 1998?

Jakarta, 13 Mei 1998.

Televisi, radio, dan surat kabar dipenuhi berita duka. Empat mahasiswa Universitas Trisakti dimakamkan. Mereka tewas sehari sebelumnya saat demonstrasi menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai presiden.

Di tengah suasana berkabung, kerusuhan meruyak di sebagian kota Jakarta.

Gedung-gedung dibakar, mal dan pertokoan dijarah massa. Ibu kota mencekam.

Dengan cepat huru-hara menjalar ke Bogor, Tangerang, Bekas, hingga ke Solo, Surabaya, dan lainnya.

Lebih dari 1.200 nyawa melayang, di antara mereka adalah juga korban pemerkosaan.


KBR, Jakarta - Ita Fatia Nadia menghela napas panjang. Tatapannya sejenak kosong menerawang. Dia mencoba menyusun kembali memori pilu 27 tahun lalu.

“Wah, ini berat, Mas. Saya harus recalling memory ya,” kata Ita mengawali ceritanya kepada KBR.

Ita saat itu menjabat direktur Yayasan Kalyanamitra, lembaga pemerhati isu perempuan.

Dia menerima pengaduan beruntun soal kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah tempat di Jakarta.

Di Pluit, Glodok, Cengkareng, Tangerang…

“Dia meninggal di pangkuan saya. Dan itu pukul 11.15 WIB, itu Hari Senin, saya masih ingat betul. Saya datang karena saya mendapatkan, dulu kan tidak ada HP ya, nggak punya HP. Dulu pager (radio panggil). Jadi ada korban di Tangerang, Cina Benteng,” ungkap perempuan 67 tahun itu.

Fransisca, gadis keturunan Tionghoa meregang nyawa di pangkuannya pada 19 Mei 1998.

“Itu mamanya sudah meninggal, juga diperkosa. Kakaknya juga meninggal. Dia itu diperkosa, itu orang Tangerang di Cina Benteng yang miskin ya,” ujarnya.

Masih lekat dalam ingatan Ita ketika mendapati bocah kecil itu menderita menahan sakit.

Fransisca diperkosa menggunakan botol yang kemudian pecah di alat reproduksinya, kondisinya kritis.

Pecahan beling masih menancap di tubuh anak itu.

“Jadi saya datang dan saya melihat dia sudah dalam keadaan bleeding. Kemudian ditunggui beberapa suster di suatu klinik. Kemudian saya datang dan suster itu bilang, Ibu, ini sepertinya sudah tidak ada harapan lagi,” tuturnya.

Pelan-pelan dia mendekap tubuh mungil gadis 11 tahun itu.

“Saya peluk dan saya berbisik di telinganya dia. Saya bilang, Fransisca, kalau kamu sudah tidak kuat, pergilah. Mama dan cici sudah pergi. Ibu sekarang mendampingi kamu. Jadi waktu saya bilang begitu, dia memegang tangan saya keras sekali dan kemudian meneteskan air mata. Itu 11.15 WIB dia pergi,” ungkapnya lirih.

Ita merasakan hembusan napas terakhir Fransisca. Anak itu telah pergi selamanya.

“Kemudian saya pegang, saya bisikkan lagi, saya akan membersihkan kamu sampai bersih dan saya akan mengantar kamu sampai kremasi,” janji Ita saat itu.

Ita mengusap perlahan tubuh Fransisca. Dengan hati-hati dia mencabut serpihan kaca yang masih menancap.

Kamu harus meninggal dalam keadaan cantik, gumam Ita.

“Kami mandikan bersama-sama suster, sama perawat. Kami belikan baju yang bagus, kami masukkan di peti.”

Ita mendampingi Fransisca hingga jasadnya melebur menjadi abu.

“Kemudian besoknya, saya antar sendiri dengan ambulans. Ya, dengan papanya, papanya masih ada waktu itu. Sekarang sudah meninggal. Saya antar dia dan sampai ke kremasi di Cilincing. Saya tungguin semua sampai abu terakhir, saya masukkan dalam guci,” tutur Ita.

Usai melarungnya di lautan utara Jakarta, Ita bersumpah akan terus memperjuangkan keadilan bagi korban pemerkosaan Mei 98.

“Bagi saya, pembunuhan Fransisca ini adalah yang mengubah saya sebagai ibu, tapi juga saya sebagai manusia, bahwa ini tidak bisa dibiarkan. Dan saya mengatakan pada Francisca ketika itu, ketika dia sebelum peti masuk ke kremasi, saya bilang, saya tidak akan berhenti menyuarakan tentang perkosaan Mei 1998 sampai selesai hidup saya.”

Ita menyisir satu per satu korban. Menemui mereka yang selamat dan mendata yang tewas.

Saat itu, ia menjadi Ketua Tim Relawan untuk Kekerasan Perempuan TRKP.

“Waktu itu kami menemukan 150 korban perkosaan. Itu ada dari Palembang, kami dikirimi, dari Medan, dari Bagansiapiapi, dari Surabaya, dari Solo. Nah, itu kami simpan,” kata dia.

Ita mengaku kerap mendapat ancaman dan teror pada masa itu.

“Kamu kalau tidak berhenti, maka anakmu akan diculik dan akan mengalami sesuatu. Untuk saya sebagai ibu, maka saya juga berpikir. Saya harus melindungi anak saya. Tetapi di lain pihak, seluruh korban perkosaan juga bertumpu kepada kami.”

red
(Grafis: KBR/Hafidz)

Ancaman tak berhenti, bahkan ketika ia masuk ke dalam Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF. Tim yang dibentuk Presiden kala ittu, BJ Habibie, untuk menginvestigasi kerusuhan Mei 98, termasuk kasus pemerkosaan.

“Saya ditekan, saya didatangin ke rumah, kalau kamu tidak memberikan dokumen pada kami, kamu akan, kamu mengerti sendiri. Jadi, saya ditekan begitu rupa,” ungkapnya.

TGPF merampungkan investigasi peristiwa kerusuhan Mei 98 pada Oktober 1998.

Dalam laporan yang dirilis Komnas Perempuan, jumlah korban pemerkosaan yang terdata hingga awal Juli 98 sebanyak 168 orang. Kemungkinan, masih banyak korban lain di luar Jakarta yang tak tersentuh.

Dari angka itu, korban yang berhasil diverifikasi sebanyak 85 orang. 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual.

Laporan itu diterima Habibie. Presiden tak membantah temuan itu, kata Ita.

“Saya percaya dan saya menerima dokumen ini. Karena TGPF juga dibentuk melalui satu keputusan, lima menteri, satu jaksa agung, tapi juga dokumen-dokumen ini valid. Karena keponakan saya punya teman yang diperkosa,” kata Ita menirukan.

Habibie juga mengakui peristiwa itu saat pidato pertama sebagai presiden di hadapan parlemen, 16 Agustus 1998.

“Huru hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan terutama dari kelompok etnis Tionghoa. Seluruh rangkaian tindak kejahatan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri. Sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama, kita mengutuk perbuatan biadab tersebut,” ujar Habibie kala itu.

Ungkapan penyesalan Habibie juga termuat dalam dokumen Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan terpampang jelas dalam sebuah prasasti yang terletak di depan pintu masuk kantor Komnas Perempuan.

Sejak saat itu, tragedi pemerkosaan 98 tak pernah dibantah. Buku Sejarah Nasional juga menyebut peristiwa itu.

Pernyataan Presiden RI-3 BJ Habibie mengenai pemerkosaan Mei 1998 yang diabadikan menjadi sebuah prasasti di depan Kantor Komnas Perempuan. (KBR/Heru Haetami)

Ponsel Ita berkali-kali berdering, beberapa pesan singkat masuk di waktu hampir bersamaan.

Pesan itu baru dibacanya malam hari. Beberapa pesan isinya serupa, yakni potongan sebuah video.

“Ada perkosaan massal? Betul nggak ada perkosaan masal? Kata siapa itu? Nggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan,” ujar Fadli dalam sebuah wawancara dengan IDN Times, Senin (13/6/2025).

“Ketika malam hari itu, saya mendengarkan, saya tersentak betul dan hampir tidak tidur sampai pagi. Sama sekali tidak tidur. Saya merasa gelisah. Kegelisahan saya itu sebetulnya, karena sebetulnya sudah hampir lima tahun ini sebetulnya tidak ada penyangkalan terhadap Mei 98,” respons Ita.

Ita terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia saksikan: Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal terjadinya peristiwa pemerkosaan massal Mei 98 dan menyebutnya sebagai rumor.

“Jadi saya tidak serta-merta fokus hanya pada statement itu, tidak. Tapi, statement Fadli Zon ini punya korelasi apa dengan rencana penulisan sejarah nasional dan juga tentang kekuasaan sekarang, penguasa sekarang, yang di mana penguasa sekarang ini mempunyai noktah-noktah hitam ketika Mei 97, 98, penculikan, semuanya.”

Baca juga: Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Penculikan Aktivis Reformasi 1998 Ditulis Lengkap?

Korban pun gusar. Salah seorang di antaranya menawarkan diri kepada Ita untuk memberikan kesaksian kepada publik guna membantah pernyataan Fadli Zon.

“Bu Ita, apa saya pulang dan testimoni? Enggak. Kalau kamu pulang dengan testimoni, kamu enggak bisa kembali. Padahal ada dua anak, dia sudah hidup bahagia,” ujar Ita.

Alih-alih meminta maaf kepada korban, Fadli Zon berkilah. Dia menunjuk pada penggunaan istilah "massal" dalam tragedi pemerkosaan 1998 yang menurutnya masih butuh bukti-bukti dan penelusuran.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat penutupan Bali International Film Festival (Balinale) ke-18 di Denpasar, Bali, Sabtu (7/6/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana mengatakan istilah massal saat itu sama dengan konsep terstruktur, sistematis, dan masif. Terjadi di mana-mana dan banyak korbannya.

“Dan di Surabaya malahan kita sempat untuk mewawancarai korban-korban kerusuhan yang pada umumnya mereka juga mengemukakan adanya terjadinya pelecehan seksual di banyak tempat di Surabaya. Itu yang kenapa kita kemudian menggunakan kata perkosaan massal yang secara legal itu TSM itu ya,” ungkap Nursyahbani dalam Konferensi Pers, Selasa, (17/6/2025).

Beberapa korban diperkosa di dalam rumah, di toko, bahkan di jalanan.

“Saya ingin menegaskan bahwa peristiwa kekerasan 98 khususnya berkenaan dengan perkosaan massal itu selain ada laporan TGPF, ada laporan Komnas HAM, ada laporan Komnas Perempuan dan yang terpenting lagi pada waktu itu pemerintah mengundang Radhika Coomaraswamy pelapor khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan ke Indonesia untuk juga melakukan penyelidikan tentang peristiwa perkosaan massal itu. Sayangnya juga anehnya laporan itu ketika dipresentasikan di PBB ditolak oleh pemerintah Indonesia sendiri. Padahal kehadirannya itu diundang oleh pemerintah,” katanya.

Namun, hingga kini rekomendasi TGPF tak pernah ditindaklanjuti.

“Saya kira kita sudah bisa mengambil keputusan bahwa pemerintah Indonesia atau negara Indonesia itu unwilling and unwanted untuk menindaklanjuti kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tahun 98 itu khususnya yang terkait dengan perkosaan masal gitu.”

red
Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI menulis peristiwa pemerkosaan Mei 1998.

Dari dokumen yang beredar dan diperoleh KBR, pemerintah ditengarai hanya akan menuliskan dua peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yakni tragedi Tanjung Priok dan Talangsari.

KBR mencoba menghubungi Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi untuk mengonfirmasi hal tersebut. Namun dia tak merespons permintaan wawancara.

Sebelumnya, Susanto mengklaim periode Reformasi 1998 akan menjadi bagian penting dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional yang tengah disusun.

"Reformasi itu pasti masuk, dari peralihan Soeharto ke Habibie, kemudian Gus Dur, Bu Mega, sampai mungkin Jokowi kalau memungkinkan. Kami coba selengkap mungkin. Bukan hanya yang baik-baik. Konflik juga akan kami pelajari dan tulis supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Sejarah itu catatan jatuh-bangunnya bangsa dalam mengejar cita-citanya," ujar Susanto kepada KBR, Selasa (20/5/2025).

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan membawa poster saat mengikuti aksi Kamisan ke-865 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/6/2025). ANTARA FOTO/Jasmine Nadhya Thanaya

Meski begitu, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah membangkitkan alarm tanda bahaya bagi para pegiat HAM. Mereka khawatir peristiwa Mei 1998 bakal dipinggirkan dalam penulisan ulang sejarah.

Aktivis 98 yang juga turut melindungi etnis Tionghoa dari sasaran kekerasan dan perkosaan pada masa itu, Usman Hamid.

“Saya tidak melihat Kementerian Kebudayaan saat ini menempatkan penulisan ulang sejarah dalam kerangka penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.”

Kata Usman, Fadli Zon tak berhak menyangkal peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa itu.

“Justru sikapnya yang secara spontan, secara terburu-buru mengatakan perkosaan massal itu adalah rumor, itu sama dengan sikap yang tidak bertanggung jawab. Tidak pernah ia mengujinya secara akademik, tidak pernah ia mengujinya secara legal dalam kapasitas sebagai Menteri Kebudayaan,” ucap Usman dalam keterangan pers daring, Selasa (18/6/2025).

Usman menduga proyek ini dibuat untuk melancarkan keinginan Presiden Prabowo Subianto menetapkan Soeharto menjadi pahlawan nasional.

“Menteri Kebudayaan sendiri adalah salah satu orang kepercayaan Prabowo. Jadi mudah sekali untuk menyimpulkan bahwa ada unsur subjektivitas di dalam kebijakan ini. Karena Prabowo sendiri kan sebelum jadi presiden sudah menyatakan akan menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, seandainya ia terpilih sebagai presiden. Itu kan dari awal begitu. Jadi tanpa proses kajian pun niat itu sudah terlihat dari awal,” ucap Usman kepada KBR.

Apapun itu, sejarah tak boleh dikaburkan oleh penguasa.

“Jadi, jangan-jangan penyataan itu tidak lebih dari sekedar usaha untuk menghapuskan sejarah, menggantikan narasi sejarah itu dengan sejarah yang baru, sehingga lebih berisi tentang kejayaan di masa itu, tentang orde baru, tentang nama baik bangsa.”

“Dan kalau itu memang mau dilakukan, saya kira kita harus menghentikan.”

27 tahun berlalu..

Ita Nadia tidak pernah sekalipun alpa menyalakan lilin di malam hari untuk menerangi dua bingkai berisi foto korban tragedi pemerkosaan mei 98; Fransisca dan Ita Martadinata.

“Saya tidak berbohong! Saya punya datanya. Saya berani bertanggung jawab!. Bagaimana tidak marah, saya?. Dua anak itu ada di dalam diri saya.”

“Coba bayangkan. Semua itu akan disangkal oleh Fadli Zon. Dikatakan rumors. Itu yang membuat saya marah. Itu yang membuat saya bangkit, dan perang melawan Fadli Zon.”

Penulis: Heru Haetami

Editor: Wahyu Setiawan, Malika

HAM
sejarah
pemerkosaan mei 98

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...