Sebagian pihak khawatir penyusunan ulang sejarah bakal mengaburkan sejumlah peristiwa dengan pendekatan tafsir tunggal versi pemerintah.
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Penulisan ulang sejarah Indonesia memicu polemik di kalangan sejarawan dan aktivis hak asasi manusia (HAM). Sebagian pihak khawatir penyusunan ulang sejarah itu bakal mengaburkan sejumlah peristiwa dengan pendekatan tafsir tunggal versi pemerintah.
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menuding upaya penulisan ulang sejarah dilakukan untuk kepentingan politik rezim Presiden Prabowo Subianto. Koalisi masyarakat sipil ini merupakan gabungan dari sejarawan dan ilmuwan lintas organisasi.
"Sejalan upaya mewujudkan visi serupa itu, lahirlah ilusi bahwa pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya. Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa," kata Ketua AKSI Marzuki Darusman, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR, Senin (19/5/2025).
Marzuki khawatir ada upaya membangun narasi sejarah yang monumental dan seragam demi kepentingan pemerintah.
Baca juga:
- Keluarga Korban Penculikan 98 Sebut Pertemuan dengan Elit Gerindra Bentuk Pembungkaman
- Koran Achtung Tulis Prabowo Penculik Aktivis 98, TKN: Fitnah dan Upaya Gagalkan Pemilu
Anggota AKSI Andi Achdian menilai proyek ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan demokrasi dalam penulisan sejarah. Ia meminta proyek penulisan ulang sejarah nasional dihentikan.
"Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia telah menjadi rujukan sejarah dunia, bagaimana pengalaman pahit bangsa Indonesia sebagai instrumen sejarah yang bertujuan memuliakan kekuasaan, menunjukkan bahwa penggelapan sejarah akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia," ujar Andi dalam kesempatan yang sama.
Menurut Andi, sejarah Indonesia tidak seharusnya menjadi instrumen untuk memuliakan kekuasaan dengan cara direkayasa melalui penulisan ulang.
Nasib Sejarah Reformasi
Salah satu peristiwa sejarah yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya yakni penculikan aktivis pro reformasi 1998. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid khawatir ada pengaburan terhadap peristiwa-peristiwa kelam saat itu.
"Ya, tentu saja ada kekhawatiran itu. Sangat ada. Apalagi sejarawan-sejarawan yang dekat dengan korban pelanggaran HAM, seperti Prof Asvi Warman Adam, Dr Andi Achdian, atau Ita Fatia Nadia, kelihatannya tidak dilibatkan. Ini bukan soal personal, tapi soal arah. Menyusun sejarah versi resmi pemerintah bisa mengarah pada penunggalan sejarah dan itu berbahaya," ujar Usman Kepada KBR, Rabu (21/5/2025).
Usman menilai proyek ini terlalu terburu-buru dan minim pelibatan publik, sehingga berpotensi mengabaikan kompleksitas dan keragaman pengalaman sejarah bangsa.
"Sejarah itu seharusnya kaya akan berbagai dimensi cerita, bukan hanya tentang keunggulan bangsa sendiri," lanjut Usman.
Dia khawatir ada penyederhanakan narasi sejarah dan mengarah pada penyeragaman tafsir yang berbahaya.
Ia menekankan sejarah bukan alat untuk memuliakan masa lalu, tetapi sarana memahami dan mencegah kesalahan yang sama di masa depan.
"Kalau sejarah hanya dibuat untuk membenarkan kekuasaan atau menutupi luka lama, itu berbahaya bagi masa depan demokrasi kita," kata Usman
Akankah Peristiwa Penculikan Aktivis Ditulis Lengkap?
Kasus penghilangan paksa aktivis pro reformasi terjadi pada kurun 1997-1998. Mengutip laporan Amnesty Internasional Indonesia dan KontraS, total ada 23 orang yang diculik oleh Tim Mawar —sebuah tim yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada masa Orde Baru. Kopassus saat itu dipimpin Prabowo Subianto, kini Presiden RI.
Sembilan korban penculikan dibebaskan, satu ditemukan tewas, sisanya hilang dan tak kembali hingga sekarang.

Berdasarkan catatan KontraS, Tim Mawar dibentuk di bawah Grup IV Kopassus berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto. Perintah tersebut diberikan kepada Komandan Grup 42 Kopassus Kolonel Chairawan, yang selanjutnya dilanjutkan kepada Komandan Batalyon 42 Mayor Bambang Kristiono. (Laporan Tim Ad Hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Yang Berat PPOSP 1997-1998 Halaman 301).
Kasus ini diusut oleh internal ABRI dan dibawa ke Mahkamah Militer. Ada tujuh perwira dan tiga bintara yang dianggap terlibat dalam kasus penculikan aktivis. Mereka dijatuhi hukuman pemecatan dan dituntut 15 bulan hingga 26 bulan penjara. Sedangkan Prabowo, diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Pada 2006, Komnas HAM juga membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi pro-yustisia dan merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM khusus untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun, rekomendasi tersebut belum dilaksanakan sampai sekarang.
Ketua Tim Penulis Ulang Sejarah Indonesia, Susanto Zuhdi, memastikan periode Reformasi 1998 hingga pemerintahan kontemporer akan menjadi bagian penting dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional yang tengah disusun.
Baca juga:
- Reformasi Kembali ke Titik Nol?
- 23 Tahun Reformasi, Amnesty Sebut Perlindungan Kebebasan Sipil Mundur
Reformasi yang menandai berakhirnya Orde Baru serta peralihan kekuasaan ke Presiden Habibie akan ditulis lengkap, termasuk dinamika politik yang menyertainya.
"Reformasi itu pasti masuk, dari peralihan Soeharto ke Habibie, kemudian Gus Dur, Bu Mega, sampai mungkin Jokowi kalau memungkinkan. Kami coba selengkap mungkin," ujar Susanto kepada KBR, Selasa (20/5/2025).
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu menekankan, tidak hanya akan menampilkan aspek-aspek positif dari sejarah, melainkan juga konflik, kegagalan, dan sisi gelap perjalanan bangsa.
"Bukan hanya yang baik-baik. Konflik juga akan kami pelajari dan tulis supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama. Sejarah itu catatan jatuh-bangunnya bangsa dalam mengejar cita-citanya," jelas Susanto.
Termasuk penculikan aktivis, pelanggaran HAM, dan dinamika demokratisasi di masa transisi.
"Kelam tidak kelam itu kan sebetulnya interpretasi, ya kami suguhkan aja data, fakta, kan sejarah itu kan begitu. Kalau terlalu ini, nanti interpretasi bisa beda-beda, ya tergantung. Jadi sejarah itu kan kejujuran kita untuk melihat kenyataan. Apakah itu yang kita sebut kelam, apakah kita gagal membangun demokrasi, kan begitu ya. Atau kita masih lemah, itu pilihan-pilihan di situ jadi penting," kata dia.
"Ya ditangkap, diculik, itu cerita-cerita itu kan. Ini kadang-kadang semuanya serem loh, penculikan, penghilangan, apa itu. Jadi gitu ya, itu kan soal diksi aja lah. Yang penting faktanya apa gitu ya," sambungnya.
Susanto mengatakan penulisan sejarah yang baik bukan untuk mengulang glorifikasi masa lalu, tetapi agar kesalahan yang sama tidak terulang.
Baca juga:
- Soeharto Dinilai Tak Layak Jadi Pahlawan, Korban Hingga Aktivis Bongkar Rekam Jejak HAM
- Pangkat Prabowo Dinaikkan, Keluarga Orang Hilang: Pengkhianatan Reformasi
Tanggapi Kritik
Menanggapi sejumlah kritik proyek ini akan menyederhanakan sejarah atau menjadi alat penguasa, Susanto menyampaikan kekhawatiran tersebut prematur dan tidak berdasar.
"Takut itu kan karena belum lihat. Kami tidak ditugasi siapa pun untuk menulis arah tertentu. Anggaran dari negara, iya, tapi kami profesional. Kalau nanti ada yang tidak puas, ya silakan tulis sejarah versi sendiri. Enggak usah menunggu kami," ujarnya.
Susanto memastikan draf sejarah ini akan dibuka ke publik melalui diskusi terfokus sebelum peluncuran resmi. Tim membuka pintu kritik dan saran, meskipun mengakui tidak semua masukan dapat diakomodir.
"Kami terbuka terhadap kritik, masukan, bahkan koreksi. Tapi kalau sumber datanya terbatas, tentu kami juga tak bisa terlalu banyak mengulas. Itu realitas menulis sejarah," tuturnya.

Susanto mengungkapkan proyek ini sudah mencapai 70 persen dan ditargetkan rampung pada Agustus 2025.
Tim sedang menyusun 10 jilid buku, masing-masing sekitar 500 halaman. Isinya mencakup sejarah Indonesia dari masa prasejarah hingga era kontemporer.
"Ini tinggal dua setengah bulan lagi. Kami sekarang tengah menyelesaikan dan mengedit isi tiap jilid. Koordinasi antarpenulis dari Aceh sampai Papua terus berjalan," kata Susanto kepada KBR, Selasa (20/5/2025).
Tim terdiri dari lebih 120 sejarawan profesional, dengan latar belakang akademisi mulai doktor dan lulusan S2 hingga S3 dari berbagai wilayah di Indonesia.
Klaim Berdasarkan Kajian
Penyusunan ulang sejarah ini digagas Kementerian Kebudayaan. Targetnya selesai Agustus tahun ini dan menjadi kado di HUT ke-80 RI.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan upaya ini bertujuan menyusun narasi sejarah Indonesia sebagai rujukan utama.
"Catatan sejarah Indonesia akan diperbaharui berdasarkan hasil kajian para ahli sejarah. Kami akan segera menulis updated version atau revisi penambahan di buku sejarah kita dalam rangka 80 tahun Indonesia merdeka," kata Fadli kepada wartawan, Kamis (8/5/2025).
Politikus Gerindra itu mengatakan proyek penulisan sejarah ini dikerjakan lebih dari 100 ahli sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.
Untuk bagian-bagian yang direvisi, ditambahkan, ataupun diluruskan, diklaim mengikuti hasil kajian para ahli dan buku-buku sejarah Indonesia yang dituliskan sebelumnya.
"Semua perlu di-update, kami update. Misalnya, periode terakhir dalam versi sejarah saat ini, itu periode sebelum Pak SBY. Kalau enggak salah. Nanti, tentu ditambahkan," kata Fadli.
Jangan Sampai Mengaburkan Sejarah
Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah tidak mengaburkan sejarah dalam proyek ini.
"Yang penting jangan ada pengaburan atau penulisan ulang terkait sejarah, kemudian tidak meluruskan sejarah," kata Puan, Selasa (20/5/2025), dikutip dari ANTARA.
Menurut Puan, penulisan sejarah versi terbaru perlu menekankan kepada perjuangan pahlawan. Dia mengatakan Indonesia berdiri setelah melalui masa pahit dan getir.
"Pahit dan getirnya, berhasil baiknya, itu karena memang sudah banyak sekali hal yang terjadi," katanya.
Dia pun meminta kepada pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun ulang sejarah. Dia bilang, penulisan sejarah bangsa ini harus dilakukan secara hati-hati.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengaku belum pernah dilibatkan dalam proyek penulisan ulang sejarah.
"Terus terang kami pun belum pernah bertemu secara langsung dan membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya," kata Hetifah, Senin (19/5/2025).
Senada, Anggota Komisi X Fraksi PDIP Mercy Barends menyebut pemerintah belum pernah mengirimkan laporan soal rencana proyek ini.
Dia bahkan baru mengetahui rencana ini dari media sosial dan media massa.