Koalisi sipil menilai pengerahan TNI ke wilayah-wilayah sipil seperti Jakarta, Aceh, dan Papua bertentangan dengan tugas utama institusi tersebut. Mengapa?
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Wacana penempatan personel TNI di sejumlah wilayah strategis seperti Jakarta, Aceh, dan Papua yang dilontarkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menuai beragam tanggapan.
Sebagian pihak menilai kebijakan tersebut perlu di kaji ulang karena dinilai berpotensi melampaui tugas pokok TNI serta berisiko memunculkan pelanggaran HAM dan ketidakpastian ekonomi.
Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Periode 2011-2013 Soleman B.Ponto berpendapat penempatan pasukan merupakan ranah TNI secara kelembagaan. Itu sebab, wacana penambahan pasukan lewat usulan Menhan mesti dikaji ulang.
“Menhan itu tugasnya adalah kebijakan bukan operasional penempatan. Penempatan itu ada di tangan TNI,” ujar Soleman dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Pertahanan bekerja dalam lingkup Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, sementara urusan penempatan pasukan berada dalam Undang-Undang TNI.
Ponto menilai jika ancaman yang dibicarakan bergeser ke ranah sosial, maka itu sudah keluar dari perencanaan militer.
“Dalam menghadapi ancaman militer, menempatkan TNI sebagai unsur utama. Lah bagaimana tiba-tiba belok ke sosial? Nah, kalau kita bermain begini, main offside semua, ya sudah,” tegasnya.

Menguatkan Gejala Militeristik
Sementara itu, Koalisi masyarakat sipil menilai penambahan pasukan TNI bakal menambah kekhawatiran masyarakat dan memperlihatkan gejala militerisasi dalam pemerintahan saat ini.
“Penambahan ini semakin menunjukkan adanya militerisasi di dalam pemerintahan Prabowo saat ini,” ujar Anggota Koalisi sekaligus Pelaksana Tugas Kepala Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/12/2025).
Ia menilai, pengerahan TNI ke wilayah-wilayah sipil seperti Jakarta, Aceh, dan Papua bertentangan dengan tugas utama institusi tersebut.
Yahya merujuk pada Pasal 30 UUD 1945 yang menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menjaga kedaulatan dan pertahanan negara.
“Kita bisa melihat ke Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 disini dijelaskan bahwa tugas pokok utama dari TNI itu sendiri adalah menjaga kedaulatan negara, menjaga pertahanan negara,” terangnya

Trauma Konflik Berulang
Yahya juga menyoroti trauma masyarakat atas konflik masa lalu yang belum dituntaskan negara. Seperti, kata dia, di wilayah Aceh dan Papua.
“Di saat permasalahan-permasalahan tersebut belum selesai, belum tuntas, negara justru menambah atau memunculkan potensi konflik selanjutnya,” ujarnya.
Soleman turut mengingatkan dampak internasional jika penempatan pasukan dilakukan secara masif, khususnya di Aceh yang telah memiliki kesepakatan damai.
“Aceh itu sudah ada MoU yang membatasi jumlah militer itu hanya 14.700. MoU Helsinki itu dicatat di Uni Eropa,” kata Soleman.
Sebaliknya, DPR Dukung Kehadiran TNI
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menilai kehadiran TNI di daerah untuk mendukung pembangunan dan perlindungan masyarakat.
“Di tiap-tiap Kabupaten itu minimal ada satu batalion. Fungsinya itu bukan untuk menakut-nakuti, fungsinya itu bukan untuk mengancam,” kata Dave dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa konflik teritorial pembangunan mencakup dukungan terhadap sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur. Selain itu, ia juga menilai peran TNI dibutuhkan dalam pencegahan kejahatan lintas wilayah.
“Inilah fungsi TNI untuk ke depannya memastikan hal-hal ini tidak terjadi, tidak terulang, bahkan bisa dihentikan”, ujarnya.
Lebih lanjut, Dave menegaskan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan penyidikan.
“TNI tidak dapat melakukan penindakan, tidak dapat melakukan operasi seperti mengejar, menangkap atau melakukan penyidikan,” tegasnya.

Wacana Menhan Tambah TNI di 3 Wilayah
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan TNI dikerahkan untuk memperkuat pertahanan di tiga titik strategis di Indonesia yakni Jakarta, Aceh dan Papua.
Tiga wilayah itu dikatakan Sjafrie, menjadi Center of Gravity yang menjadi tolok ukur keamanan Indonesia.
"Kita sudah menetapkan tiga Center of Gravity yang harus kita jamin faktor keamanannya dalam rangka menunjang kegiatan, baik itu kegiatan sosial maupun kegiatan ekonomi serta pembangunan," kata Sjafrie usai di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, dikutip dari ANTARA.
Sebagai contoh, Sjafrie mengatakan, Jakarta menjadi titik prioritas pertama yang harus diamankan lantaran menjadi tempat berputarnya aktivitas pemerintahan pusat sekaligus salah satu pusat perekonomian.
"Jakarta sendiri kita amankan baik dari pengamanan pantai, maupun pengamanan udara, serta pengamanan di darat kita lakukan," jelas Sjafrie.
Sjafrie melanjutkan, Aceh menjadi titik prioritas kedua peningkatan pengamanan karena berlokasi di ujung barat wilayah Indonesia.
Terakhir, pihaknya akan memperkuat wilayah Papua yang menjadi sisi paling timur Indonesia.

Khusus Papua, Pendekatan Metode Smart Approach
Di wilayah Papua, Sjafrie akan memerintahkan TNI untuk menerapkan metode smart approach atau pendekatan pintar untuk menciptakan keamanan di Papua.
"Kita akan menempatkan pasukan di Papua dan menerapkan satu metode yang kita sebut smart approach. Di mana antara soft approach, pendekatan teritorial, dan hard approach yaitu operasi taktis, kita gabungkan," kata Sjafrie
Sjafrie menjelaskan, soft approach atau pendekatan teritorial dilakukan dengan cara tindakan yang berkaitan dengan kegiatan humanis.
Ragam kegiatan humanis itu harus diberikan TNI agar masyarakat merasakan kehadiran prajurit sebagai representasi pemerintah dalam membantu rakyat Papua.
Di sisi lain, Sjafrie memastikan TNI juga akan melalukan hard approach melalui operasi penindakan jika ke depan terjadi upaya penyerangan yang dapat menciptakan situasi tidak aman di Papua.
Dengan penguatan pertahanan di tiga titik itu, Sjafrie memastikan seluruh program strategis pemerintah di bidang pertahanan maupun penguatan perekonomian dapat dijalankan dengan maksimal tanpa adanya gangguan.

Buka Lebar Risiko Pelanggaran HAM
KontraS kembali menyoroti kondisi Papua yang hingga kini dinilai masih rawan pelanggaran HAM.
Yahya menyebut penerjunan aparat militer di Papua kerap dilakukan tanpa dasar hukum operasi militer yang jelas.
“Setiap penerjunan aparat militer ke Papua itu tanpa diimbangi oleh aturan hukum yang jelas, kita sebut dengan penerjunan yang illegal,” katanya.
Ia juga mengungkap keberadaan pengungsi internal yang menurutnya selama ini disangkal pemerintah.
“Padahal nyatanya tak ada, dan itu karena adanya penempatan aparat militer yang secara masif ke Papua,” ujarnya.
Yahya juga menyinggung kasus-kasus yang belum dituntaskan seperti peristiwa di Yuguru, Papua. Itu sebab, ia mendorong agar wacana Menhan bisa diperhitungkan ulang.
“Perlu untuk dikaji ulang dan dijelaskan kepada masyarakat,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Menghalau Anak dan Remaja dari Bidikan Jaringan Teroris
- Jejak Industri Ekstraktif dan Pembabatan Hutan di Balik Banjir-Longsor Sumatra






