ragam
Menghalau Anak dan Remaja dari Bidikan Jaringan Teroris

Jangan sampai kita menangani dengan kacamata orang dewasa karena frontal cortex anak-anak itu belum berkembang penuh. Mereka belum bisa mikir masa depan dan ini berisiko. Mengapa?

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Anak-anak antusias menggunakan tablet, menunjukkan tren belajar dan bermain di era digital.
Ilustrasi anak dan remaja mengakses internet lewat gawai dengan pengawasan dari orang tua. Foto: Kecerdasan Buatan (AI)

KBR, Jakarta- Kecenderungan jaringan teroris yang kini menyasar kelompok anak dan remaja untuk disusupi paham radikal dan intoleran perlu menjadi perhatian bersama. Saluran digital seperti media sosial dan game online dianggap mudah menjadi wadah untuk perekrutan.

Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan peran dari orang tua mesti didorong lebih peduli terhadap aktivitas anak yang kini makin intens mengakses internet.

Ia turut mengingatkan agar para orang tua terus memberikan ruang interaksi teratur sehingga pemantauan dan pengawasan bisa dilakukan secara periodik.

"Mereka menjadikan game itu sebagai ruang untuk melampiaskan emosional mereka,” ujar Huda dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (24/11/2025).

Huda menekankan tugas orang tua agar bisa bijak mendidik dan membimbing anak dengan memberikan edukasi yang mudah dipahami. Apalagi, kata dia, dunia maya telah menjadi ruang baru yang mempengaruhi perilaku dan keputusan anak-anak.

"Jangan sampai kita menanganinya dengan kacamata orang dewasa karena frontal cortex anak-anak itu belum fully develop. Mereka belum bisa mikir masa depan, risiko ini,” jelas Huda yang juga merupakan pendiri Ruangobrol.id.

Tangan seseorang bermain game PUBG Mobile di layar smartphone yang menampilkan pesawat terbang di atas peta.
Ilustrasi: Pengguna ponsel sedang memainkan game online (ANTARA News/Natisha Andarningtyas)
Advertisement image

Kolaborasi Lintas Lembaga, Siapa Saja?

Kasubdit Perlindungan WNI Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Solihuddin Nasution mengatakan upaya kolaborasi lintas lembaga dalam mengawasi dan mencegah perekrutan anak serta remaja melalui media sosial terus dilakukan.

"Pasti kita perlu kolaborasi dengan seluruh elemen bangsa, terutama dengan KOMDIGI, kemudian seluruh aparat intelijen 88 (Detasemen Khusus), BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI), BIN (Badan Intelijen Negara), kemudian aparat intelijen dari TNI dan Polri,” ujar Solihuddin dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (24/11/2025).

Menurutnya, peran lembaga di luar BNPT sangat diperlukan untuk membantu dalam mengidentifikasi dan mencegah jaringan teroris masuk ke dalam ruang-ruang digital anak.

“Meskipun BNPT punya alat pemantau media sosial, (tapi) kolaborasi dengan instansi lain seperti Densus 88, BAIS, BIN, dan Polri sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil efektif dan terkoordinasi dengan baik,” tuturnya.

Warga berdemonstrasi menentang radikalisme di Indonesia, sebagian tampil dengan riasan wajah dan membawa spanduk 'NO RADIKAL'.
Ilustrasi penolakan terhadap aksi terorisme dan radikalisme. ANTARA FOTO/Maulana Surya
Advertisement image

110 Anak dan Remaja Direkrut Jaringan Teroris

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mencatat hingga saat ini terdapat 110 anak yang diduga direkrut jaringan terorisme.

“Ada sekitar 110 anak yang berusia rentang antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi, yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 18 November 2025 dikutip dari ANTARA.

Catatan ini naik drastis, lantaran tahun 2011-2017, Densus 88 hanya mengamankan kurang lebih 17 anak korban rekrutmen.

Trunoyudo mengungkapkan, modus propaganda yang digunakan jaringan terorisme adalah melalui ruang digital secara bertahap.

Ia mengatakan ada lima tersangka yang menggunakan modus merekrut anak dan pelajar melalui ruang digital, di antaranya media sosial, game online, aplikasi perpesanan instan, dan situs-situs tertutup.

Lima Tersangka Jaringan Teroris Ditangkap Dimana Saja?

Densus 88 Antiteror Polri menangkap lima tersangka yang diduga menjadi perekrut anak untuk bergabung ke dalam kelompok terorisme.

“Ada lima tersangka yang sudah diamankan oleh Densus 88 dengan tiga kali penegakan hukum dari akhir Desember 2024 hingga kemarin, hari Senin tanggal 17 November 2025,” kata Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 18 November 2025 dikutip dari ANTARA.

Konferensi pers yang dihadiri Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkominfo, perwakilan Detasemen Khusus 88 AT Polri, dan pejabat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana (tengah) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025). (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)
Advertisement image

Lima tersangka itu adalah FW alias YT yang berasal dari Kota Medan, Sumatera Utara, dan ditangkap pada 5 Februari 2025.

Berikutnya, LM (23) yang berasal dari Kabupaten Bangai, Sulawesi Tengah. Lalu, PP alias BBMS (37) yang berasal dari Sleman, DI Yogyakarta dan ditangkap pada 22 September 2025.

Selanjutnya, MSPO (18) yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Terakhir, JJS alias BS (19) yang berasal dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar).

Apa Upaya Mitigasi Radikalisasi?

Solihuddin kembali menegaskan bahwa BNPT bersama berbagai lembaga negara telah melakukan berbagai upaya untuk memitigasi radikalisasi melalui dunia maya.

“Salah satu langkah yang diambil adalah mengedukasi generasi muda untuk aktif membuat konten yang positif di media sosial dan menjauhi konten-konten radikal,” terangnya.

Upaya ini, lanjut Solihuddin, termasuk dengan melibatkan para blogger muda untuk memproduksi konten yang sesuai dengan usia mereka dan menghindari penyebaran paham radikal.

“Karena kalau kita hanya mengantarkan konten-konten yang dibuat oleh ustad, tokoh agama, itu kan yang seduksinya mereka, makanya perlu kita melibatkan generasi muda dalam grup namanya duta dunia maya,” tambah Solihuddin.

Tangan memegang smartphone menampilkan aplikasi Plague Inc. dengan pilihan wabah seperti Neurax Worm, Necroa Virus, dan Simian Flu dari film Dawn of the Planet of the Apes.
Ilustrasi: Seorang anak sedang bermain game online simulasi wabah "Game Plague Inc". ANTARA/Ardika
Advertisement image

Membangun Proteksi Diri pada Anak dan Remaja

Noor Huda menyarankan agar seluruh pihak tidak hanya melihat anak dan remaja sebagai objek intervensi, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu membangun ketahanan dari dalam.

Menurutnya, perlindungan secara berlapis mulai dari keluarga, sekolah, dan negara menjadi krusial untuk mencegah anak terpapar paham terorisme.

"Kita harus melibatkan mereka dalam proses pencegahan, bukan hanya menjadi target intervensi,” jelasnya.

Huda menyebut anak dan remaja seringkali terpapar konten radikal melalui game yang mereka mainkan, seperti lewat fitur chatroom pribadi atau komunitas di aplikasi seperti Discord.

Ia menilai game online juga dibutuhkan untuk daya kembang anak, sehingga regulasi yang tepat lebih urgen ketimbang melarangnya.

“Aturan yang lebih bijak dan memperhatikan fitur-fitur yang digunakan untuk grooming,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media

Baca juga:

Mengapa Gen Alpha dan Z Disasar Jaringan Teroris Lewat Medsos dan Game Online?

Desakan Perppu KUHAP Ditolak Yusril, Koalisi Sipil Tegaskan 'Semua Bisa Kena'

terorisme
#PerlindunganAnak
remaja
jaringan teroris
gawai
medsos
game online


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...