Keputusan pemerintah ini semakin memperberat beban stigma yang sudah lama hinggap pada keluarga korban tragedi 1965.
Penulis: Naomi Lyandra, Shafira Aurelia, Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengganjar Presiden ke-2 RI Soeharto dengan pemberian gelar pahlawan nasional, usai mengabaikan gelombang penolakan dari korban pelanggaran HAM, aktivis, tokoh masyarakat hingga akademisi.
Ironisnya, Soeharto bersandingan dengan Presiden ke-5 RI Gus Dur dan aktivis buruh perempuan, Marsinah, yang juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Uchikowati, keluarga penyintas 1965 yang mewakili keluarga penyintas tragedi 60 tahun silam, tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya.
Ia mengaku sulit menggambarkan perasaannya setelah mendengar kabar pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang memimpin era Orde Baru 32 tahun lamanya.
“Kalau ditanya tentang perasaan, saya tidak bisa mengungkapkan rasa apa yang sedang saya alami. Jadi mungkin rasa yang tidak terucap. Ada sedih, ada juga merasa kalah terus. Semua yang kami perjuangkan itu gagal,” ujar Uchi dengan suara bergetar dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (11/11/2025).
Ia menyebut keputusan pemerintah ini semakin memperberat beban stigma yang sudah lama hinggap pada keluarga korban tragedi 1965.
“Dengan penganugerahan ini, saya pikir stigma akan semakin berat. Akan semakin melekat erat pada kami,” ujarnya.
Bagi Uchi, langkah ini menunjukkan bahwa negara tidak pernah benar-benar berpihak kepada korban selama enam dekade lamanya.
“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto itu semakin memperkuat impunitas dan juga jauh dari rasa keadilan yang kami rasakan,” lanjutnya.
Meski begitu, ia merasa tetap ada perhatian yang disuarakan kalangan akademisi dan sebagian parlemen untuk keadilan keluarga penyintas ‘65.
“Kami percaya, melalui seni, puisi, dan cerita, ingatan ini akan kami wariskan ke generasi muda,” tutur Uchi.

Perempuan Korban Rezim Orde Baru, Gelar Pahlawan Soeharto Tak Pantas
Aliansi Perempuan Indonesia (API) mendesak Presiden Prabowo Subianto membatalkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menilai keputusan penganugerahan tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi serta pelecehan terhadap sejarah perjuangan rakyat, khususnya kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan rezim Orde Baru.
"Gelar pahlawan bagi Soeharto itu merupakan simbol kekuasaan yang membunuh, menyiksa, memperkosa, dan menyasar tubuh perempuan. Kami tentu saja mengecam keputusan dari Presiden Prabowo untuk memberikan gelar ini. Batalkan gelar ini, kita tidak bisa menerima ketika kita punya satu pahlawan nasional yang dia berlumuran darah dan tidak pernah diadili, baik dia maupun juga kroni-kroninya. Jadi tuntutan kita masih sama, posisi kita masih sama menolak tegas," ujar Ika kepada KBR, Selasa (11/11/2025).
Ika meyakini gelar pahlawan untuk Soeharto kental akan kepentingan politik, bukan murni berdasarkan jasa-jasanya.
“Ini sekaligus mempertegas sikap Presiden Prabowo yang mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang sentralistis dan mengabaikan partisipasi serta aspirasi masyarakat," katanya.
Lebih lanjut, Aliansi Perempuan Indonesia juga menyayangkan adanya narasi menyesatkan tentang kepahlawanan Soeharto. API mengancam akan terus melakukan perlawanan dengan berbagai aksi.
"Kami tidak akan berhenti. Kami akan terus berupaya untuk mengingatkan publik tentang jejak-jejak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Odeh Baru," ucap Ika.
Sikap Mengingkari Sejarah Pelanggaran HAM
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Bonnie Triyana menilai penganugerahan gelar tersebut sebagai bentuk pengingkaran negara terhadap sejarah pelanggaran HAM di masa lalu.
“Saya mencatat untuk pertama kalinya di dalam sejarah pemberian gelar pahlawan nasional kemarin, saya boleh katakan kemarin adalah deklarasi nasional pengingkaran negara atas kejahatan pelanggaran HAM berat,” tegas Bonnie dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (11/11/2025).
Ia menilai langkah ini menciptakan kebingungan dalam pendidikan sejarah bagi generasi muda.
“Bagaimana kita mengajarkan reformasi 98 yang dilakukan oleh mahasiswa. Untuk apa itu semua? Jadi, ini membuat semuanya menjadi absurd,” tambahnya.
Bonnie juga menyoroti proses politik di balik keputusan tersebut. Menurutnya, ada kejanggalan pemerintah yang menyandingkan Soeharto dengan tokoh lain seperti Gus Dur hingga Marsinah.
“Mungkin perhitungan politiknya sebagai bumper supaya tidak ada kritik yang lebih luas,” ujarnya.
Menurutnya, pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar menjadi indikasi kuat bahwa proses tersebut sarat kepentingan.
“Ini juga satu indikasi bahwa memang akan lancar,” kata Bonnie.

Komnas HAM: Prihatin, Keberatan, dan Cederai Reformasi
Komnas HAM menyatakan keprihatinan dan keberatan atas penetapan mendiang Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2025.
Komnas memandang penetapan ini tidak hanya menciderai cita-cita Reformasi 1998 yang mengamanatkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Penetapan sebagai pahlawan nasional mencederai fakta sejarah dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi masa pemerintahan Soeharto 1966 - 1998,” tulis pernyataan resmi Komnas HAM yang diterima KBR, Selasa (11/11/2025).
Komnas HAM menyebut ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di era Soeharto, diantaranya peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Talangsari, peristiwa Tangjung Priok, dan penerapan DOM Aceh.
“Peristiwa-peristiwa tersebut telah diselidiki Komnas HAM dengan kesimpulan merupakan pelanggaran HAM yang berat sesuai UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” tambah Komnas HAM.
Komnas HAM melanjutkan, terhadap Peristiwa kerusuhan Mei 1998, pada 2003 lembaga telah melakukan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat.
“Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” tulis Komnas HAM.
Melukai Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
Komnas HAM memandang penetapan Soeharto tidak hanya melukai para korban pelanggaran HAM yang berat, namun juga keluarganya yang masih terus menuntut hak-haknya sampai saat ini.
“Penetapan alm. Soeharto tidak lantas memberikan impunitas atas pelbagai kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa pemerintahannya. Pelbagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat harus terus diproses, diusut, dan dituntaskan demi keadilan dan kebenaran yang hakiki,” jelas pernyataan Komnas HAM.

Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto
Koalisi masyarakat sipil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai sebuah Pengkhianatan terhadap reformasi.
Koalisi di berbagai daerah menilai rencana ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap reformasi yang telah dibangun oleh bangsa Indonesia sejak 1998 dan proses transisi menuju negara yang demokratis dan menghormati HAM.
Seperti di Yogyakarta, Gerakan sipil Jogja Memanggil menolak gelar Pahlawan Nasional untuk mantan Presiden RI ke 2, Soeharto.
Penolakan tersebut digaungkan pada aksi damai dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di Museum TKR TNI AD Yogyakarta, Senin (10/11/2025).
"Pada hari ini juga ditetapkan Soeharto jadi pahlawan. Hal ini sangat disayangkan yang jelas secara historis karena pada tahun 1998 rakyat tumpah ruah dari berbagai kota termasuk di Yogyakarta, terjadi protes besar untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya," ujar Juru bicara Jogja Memanggil, Bung Koes di sela aksi.
Ia menyebut, pemerintah sedang menantang rakyat. Artinya, seolah-seolah suara rakyat hanya bunyi saja dan bukan dilihat sebagai upaya untuk terus menjaga demokrasi, menjaga kewarasan dan menjaga kehidupan HAM.
"Dengan Soeharto menjadi pahlawan ini menetapkan juga penjahat yang merupakan pelanggar HAM, yang merupakan koruptor dan perampas lahan di berbagai wilayah menunjukkan tidak ada sama sekali empati penguasa hari atas permasalahan yang disebabkan oleh Soeharto," jelasnya.
Reformasi Sudah Mati
Salah satu massa yang turut dalam aksi 1998 dan tergabung dalam Forum Cik Di Tiro, Tri Wahyu menambahkan, ditetapkannya Soeharto sebagai pahlawan nasional menandakan bahwa pada hari ini Reformasi 1998 telah mati dan tepatnya dibunuh oleh mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto.
"Dulu ada jutaan massa yang ikut aksi pada 20 Mei 1998, dan saya ikut bergerak ke Alun-Alun Utara. Betul pada tahun 1998 memang tuntutannya Adili Soeharto, tapi malah sekarang Soeharto jadi pahlawan. Tentu ini kabar buruk, kabar duka bagi demokratisasi di Yogyakarta," jelasnya.
Tri mengungkapkan, dalam orasi juga disebutkan wartawan harian Bernas bernams Udin, juga turut terbunuh pada tahun 1996 kasusnya tidak tuntas sampai sekarang. Pada waktu itu, Udin memberitakan soal kasus korupsi suap ke Yayasan Dharmais Soeharto sebesar Rp 1 miliar.
"Wartawan Udin yang dibunuh tahun 1996, zamannya Soeharto hingga sekarang juga tidak tuntas siapa pembunuhnya, siapa aktor intelektualnya," tandasnya.
"Ini kabar buruk tapi kita juga paham bahwa kita tidak bisa menitipkan harapan kepada penculik aktivis 1998 yang ngacir atau lari ke Yordania. Kita juga tidak bisa menitipkan harapan kepada Gibran, anak haram konstitusi yang dirawat oleh Joko Widodo," papar Tri.
Etika Moral yang Diabaikan
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto mengungkapkan, tanggal 20 Mei 1998 masih dalam ingatan rakyat. Sejarah, peristiwa heroik Pisowanan Ageng yang dihadiri rakyat, termasuk mahasiswa dan warga.
Dalam catatan sejarah, Sultan Hamengku Buwono X hadir dan menyampaikan Maklumat yang isinya mendukung reformasi total.
Menurut Eko, momen sejarah aksi damai itu menjadi peristiwa politik penting dalam gerakan reformasi. Beberapa saat setelah gerakan moral ini, sejarah mencatat Soeharto tumbang, mengundurkan diri dan rezim Orde Baru berakhir.
"Kewajiban sejarah, sebagai bagian dari sejarah yang ikut melihat, merasakan dan mendengar suasana batin gerakan reformasi, kita harus sampaikan bahwa suasana hati rakyat mengatakan dari hatinya yang terdalam bahwa Soeharto tidak pantas menjadi pahlawan," katanya, Senin (10/11/2025).
Eko menegaskan, pentingnya pemerintah menjaga etik dan moral, utamanya dalam memberikan gelar pahlawan. Saat Soeharto berkuasa memimpin lebih dari tiga dekade dengan warisan buruk yang dicatat sejarah.
“Yaitu sosok pemimpin yang punya kebijakan politik membuat matinya demokrasi, kebebasan berpendapat diberangus,” terangnya.

Pemerintah Tegaskan Soeharto Penuhi Syarat sebagai Pahlawan Nasional
Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), menegaskan bahwa Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memenuhi seluruh persyaratan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
“Seluruh nama yang diajukan telah melalui penelitian dan pengkajian mendalam oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), melibatkan pakar lintas disiplin ilmu, serta disinergikan antara pemerintah daerah dan pusat. Proses ini dilakukan secara ketat, objektif, dan transparan,” ujar Menbud dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (10/11/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurutnya, pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan wujud penghormatan negara kepada tokoh-tokoh yang telah memberikan jasa besar bagi bangsa dan negara.
Dalam usulan tahun 2025 ini, nama Soeharto menjadi salah satu dari 40 usulan nama penerima gelar pahlawan nasional dari Menteri Sosial, Saifullah Yusuf.
Fadli menjelaskan bahwa proses pengkajian gelar kehormatan tersebut melibatkan sinergi antara pemerintah daerah hingga pemerintah pusat dengan turut melibatkan para ahli dari berbagai bidang ilmu.
Kental Pertimbangan Politik Bukan Historis
Sementara itu, Sejarawan Andi Achdian menilai keputusan pemerintah sepenuhnya didorong oleh kepentingan politik, bukan pertimbangan historis.
“Sejak awal saya akan bilang bahwa ini pastinya tidak tepat ya. Dari situ kita sudah tahu bahwa pertimbangan etis-historis tidak bisa masuk dalam penilaian yang menempatkan sosok Soeharto sebagai pahlawan,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (11/11/25).
Ia menyebut bahwa apa yang terjadi merupakan bukti bahwa kekuasaan masih menjadi faktor dominan dalam penentuan gelar kepahlawanan di Indonesia.
“Sekarang ini di bawah Presiden Prabowo, tidak ada sama sekali pertimbangan etis-historis, yang ada hanyalah politik kekuasaan,” tegasnya.
Menurut Andi, penetapan ini memperlihatkan bahwa legitimasi politik sering kali digunakan untuk menutupi fakta sejarah yang kelam.
“Setiap kali negara mencoba memutihkan masa lalu, selalu saja ada warna aslinya, karena problemnya belum selesai di sini,” katanya.

Potensi Gugatan
Bonnie mengatakan berbagai kemungkinan terkait gugatan usai pemberian gelar bisa terjadi.
“Apalagi kalau masyarakat mungkin ada yang tidak setuju dengan pemberian gelar Rep Suharto ya bisa saja menggugat,” tuturnya.
Meski begitu, ia menyebut kajian hukumnya perlu dilihat kembali dan menjadi satu catatan untuk semua pihak.
Sejarah Akan Menemukan Jalannya
Meski kecewa, Bonnie Triyana optimistis bahwa kebenaran sejarah akan menemukan jalannya.
“Kebenaran memang pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri. Bagaimanapun disembunyikan, sejarah pada akhirnya akan menyingkapkannya sendiri,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa perjuangan melawan impunitas harus terus dilakukan.
“Kami di PDI Perjuangan tegas menolak pemberian gelar pahlawan ini kepada Soeharto. Kami tidak ingin pemberian ini menjadi pelapisan terhadap mereka yang menjadi korban,” ucapnya.
Sementara itu, Andi Achdian menilai generasi muda kini memiliki kemampuan untuk menilai sejarah secara lebih jernih.
“Saya kira generasi Gen Z sekarang juga punya cara jauh lebih cerdas dalam menilai tentang sejarahnya dan juga siapa yang layak untuk dihormati,” tuturnya.
Ia menegaskan, sejarah tidak bisa diubah oleh keputusan politik mana pun.
“Sejarah tidak bisa dikoreksi oleh keputusan politik. (tapi) yang berubah hanyalah narasi resminya, tapi bukan faktanya yang diubah,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Gugatan Mentan Amran Kepada Tempo Rp 200 Miliar: Upaya Bredel Pers Era Reformasi
- Rentan Eksploitasi di Program MBG, Sudahkah Hak Perempuan Terpenuhi?






