ragam
Gugatan Mentan Amran Kepada Tempo Rp 200 Miliar: Upaya Bredel Pers Era Reformasi

Presiden diminta untuk menegur menteri-menterinya agar menyelesaikan persoalan media melalui mekanisme Dewan Pers, bukan pengadilan.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Demonstran memegang poster bertuliskan kritik gugatan Rp 200 miliar yang dianggap ancaman kebebasan pers dan pembredelan media gaya baru.
Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulsel bersama pers mahasiswa dan lembaga independen di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (4/11/2025). ANTARA FOTO

KBR, Jakarta- Gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo banyak dikecam sejumlah pihak karena mengancam kebebasan pers.

Perjalanan ini bermula ketika Amran menggugat Tempo secara perdata Rp200 miliar atas pemberitaan berjudul "Poles-poles Beras Busuk" yang terbit 16 Mei 2025 lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia berdalih upaya pengadilan ditempuh karena Tempo tak mematuhi pernyataan dan rekomendasi (PPR) dari Dewan Pers.

Insan pers dan masyarakat sipil menyebut mestinya Amran mencari penyelesaian di Dewan Pers sesuai Undang-Undang Pers, bukan ke pengadilan. Gugatan dinilai mengabaikan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ini juga mengingatkan kembali ke era pembredelan pers ala Orde Baru.

Direktur LBH Pers Mustafa Layong menegaskan bahwa gugatan tersebut tidak semestinya diajukan oleh pejabat negara terhadap media, karena bertentangan dengan amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Dalam konteks gugatan ini, yang digugat adalah pelaksanaan PPR (Penilaian dan Penyelesaian Rekomendasi) Dewan Pers. Padahal yang mengajukan gugatan adalah Menteri Pertanian, yang sejatinya hadir untuk menjamin pers bisa menjalankan fungsinya”, ujar Mustafa dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (10/11/2025).

Ia menilai gugatan terhadap Tempo adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan dan kesesatan dalam bertindak selaku pejabat negara.

“Tidak ada satu pun peraturan yang memberikan mandat kepada Menteri Pertanian untuk menggugat warga negara, apalagi media. Pemerintah seharusnya menjamin agar Tempo bisa menjalankan fungsinya, bukan malah mengajukan gugatan,” tegasnya.

Hakim ketua dan hakim anggota memimpin persidangan di pengadilan dengan peserta hadir di depan meja hakim.
Sidang gugatan Menteri Pertanian terhadap Tempo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 3 November 2025. Sumber: Tempo
Advertisement image

Upaya Memberangus Media

Stanley Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers periode 2016–2019 menilai gugatan ini prematur dan berpotensi membangkrutkan media.

“Masalahnya, penyelesaian di Dewan Pers belum selesai, tapi kok sudah dibawa ke pengadilan? Tempo sudah melaksanakan rekomendasi Dewan Pers, termasuk mengganti judul yang dipersoalkan,” kata Stanley dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (10/11/25).

Menurutnya, jika pemerintah memaksa membawa perkara ini ke pengadilan, langkah tersebut justru bertentangan dengan semangat self-regulation yang dijamin oleh Undang-Undang Pers.

“Di dalam UU Pers, denda paling besar hanya Rp500 juta. Tapi nilai gugatan ini berlipat-lipat, jelas punya tendensi untuk membangkrutkan media,” ujarnya.

Stanley, yang juga merupakan Saksi Ahli tergugat menyebut gugatan Mentan Amran memiliki ciri khas SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) gugatan strategis untuk membungkam kritik publik.

“Ini ancaman terhadap fungsi kontrol media. Dalam demokrasi yang sedang melemah, pers adalah pilar terakhir. Kalau media dibungkam, publik kehilangan pengawas kekuasaan”, katanya.

Ia juga mengingatkan pentingnya langkah dari Presiden untuk menegur menteri-menterinya agar menyelesaikan persoalan media melalui mekanisme Dewan Pers, bukan pengadilan.

“Presiden harus menegaskan, kalau ada pemberitaan yang dianggap merugikan, selesaikan lewat Dewan Pers. Itu jauh lebih terhormat dan sesuai mekanisme hukum yang ada," tambahnya.

Deskripsi tidak tersedia.
Sejumlah jurnalis membentangkan spanduk saat melakukan aksi solidaritas yang digelar Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulsel bersama pers mahasiswa dan lembaga independen di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (4/11/2025). ANTARA FOTO/Arnas Padda
Advertisement image

Dukungan Luas untuk Tempo

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama koalisi masyarakat sipil menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 3 November 2025. Aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap Tempo yang tengah digugat secara perdata oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman.

Selain anggota AJI, aksi ini juga diikuti puluhan jurnalis Tempo, dari reporter muda hingga wartawan senior.

Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida menegaskan bahwa sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Nany, langkah Menteri Amran menggugat Tempo ke pengadilan menunjukkan kekeliruan dalam memahami kedudukan pers sebagaimana diatur undang-undang.

Sengketa pers memiliki dua mekanisme penyelesaian, yakni melalui hak jawab atau hak koreksi, serta mediasi di Dewan Pers.

“Gugatan sebesar Rp200 miliar ini merupakan bentuk upaya pembungkaman dan pembangkrutan media,” ujar Nany dalam orasi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ia menilai gugatan ini tidak hanya mengancam Tempo sebagai institusi media, tetapi juga berbahaya bagi kebebasan pers secara umum.

“Hari ini Tempo yang digugat, tapi ke depan bisa saja gugatan serupa ditujukan kepada media lain yang mengkritik pemerintah,” katanya.

PDIP Tegaskan Pers Pilar Demokrasi

Fraksi PDI Perjuangan menilai gugatan perdata Menteri Pertanian, Amran Sulaiman terhadap Tempo sebagai langkah yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan melemahkan mekanisme penyelesaian sengketa pers yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Anggota DPR Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan tanggung jawab jurnalistik.

“Kritik dari pers adalah napas demokrasi. Jangan sampai gugatan terhadap media justru menjadi bentuk pembungkaman yang membungkus diri dalam hukum,” tulis pernyataan Andreas yang diterima KBR.

Andreas mengatakan gugatan perdata bernilai besar terhadap media berpotensi menjadi bentuk tekanan dan pembungkaman terhadap fungsi kontrol pers.

Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan periode 2025-2030 ini mengingatkan, pemerintah dan pejabat publik harus siap dikritik secara terbuka sebagai bagian dari akuntabilitas publik di negara demokratis.

Seorang peserta aksi memegang poster kuning bertuliskan '#KAMIBERSAMATEMPO' dan 'KRITIKLAH DAKU KAU KUGUGAT!' yang menggambarkan tangan terangkat dan kawat berduri, menyuarakan kebebasan pers.
Jurnalis memegang salah satu poster saat aksi solidaritas mendukung Tempo di Pengadilan Negeri Kendari Kelas IA, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/11/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah
Advertisement image

Upaya Membungkam Media

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyatakan keprihatinan mendalam atas gugatan perdata yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk (Tempo) dengan nilai gugatan Rp 200 miliar.

“Meskipun kami menghormati hak setiap warga negara untuk menggunakan jalur hukum, namun gugatan bernilai fantastis ini mengindikasikan praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yaitu upaya membungkam media melalui beban finansial yang sangat berat,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Regulasi AMSI, Amrie Hakim.

Gugatan Rp 200 Miliar Diklaim untuk Petani

Kuasa hukum Menteri Pertanian (Mentan) Andri Amran Sulaiman, Chandra Muliawan, menyebut gugatan perdata Rp200 miliar terhadap Tempo bukan untuk membungkam kebebasan pers, melainkan untuk menegakkan etika jurnalistik dan menjaga martabat petani Indonesia.

Mengutip dari ANTARA, Chandra mengatakan apabila gugatan tersebut dikabulkan, dana ganti rugi akan dikembalikan kepada publik melalui program-program strategis di sektor pertanian.

“Kalau gugatan ini dikabulkan, dana tersebut akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk mendukung program pangan nasional, perbaikan irigasi, serta penyediaan pupuk. Jadi, manfaatnya kembali kepada rakyat, terutama petani,” kata dia di Jakarta.

Ia menjabarkan, nilai gugatan sebesar Rp200 miliar terdiri dari dua komponen, yakni kerugian material sekitar Rp19 juta dan kerugian imaterial sebesar Rp200 miliar.

Kerugian material, kata dia, mencakup biaya riil yang dikeluarkan Kementan untuk menangani persoalan pemberitaan, sementara kerugian imaterial mencakup nama baik, reputasi, dan rasa tidak nyaman akibat pemberitaan yang dinilai tidak akurat.

“Kerugian imaterial tidak bisa diukur dengan uang, tapi kami serahkan penilaiannya kepada majelis hakim,” katanya.

Menurut dia, langkah itu diambil bukan untuk kepentingan pribadi atau lembaga, melainkan untuk memulihkan nama baik dan kepercayaan publik terhadap petani dan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Pejabat pemerintah menyampaikan pidato mengenai hilirisasi produk pertanian Indonesia dalam sebuah rapat, didampingi seorang wanita dan pria berseragam militer.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (tengah) mengundang Penyuluh Pertanian Maluku Utara Reni Wahid (kiri) dan Pembina Desa (Babinsa) Kodim 1501/Ternate Serka Rusgiyanto (kanan) naik ke atas panggung untuk berbincang saat Rapat Koordinasi Hilirisasi Hasil Perkebunan di Provinsi Maluku Utara, di Hotel Bela Ternate, Maluku Utara, Selasa (28/10/2025).
Advertisement image


Pemberitaan Tempo Cederai Martabat Petani

Chandra menyebut pemberitaan yang dipersoalkan telah mencederai martabat 160 juta petani Indonesia yang selama ini berjuang menjaga ketahanan pangan bangsa

Dia juga menepis tudingan gugatan Rp200 miliar untuk kepentingan pribadi Mentan. Menurutnya, Amran bahkan tidak pernah mengambil gajinya sebagai menteri dan kerap menggunakan kemampuan pribadinya untuk menjalankan urusan pemerintahan.

“Isu bahwa uang itu nanti untuk Pak Menteri itu keliru. Pak Menteri justru tidak pernah mengambil gaji jabatannya, bahkan di beberapa kesempatan beliau memakai dana pribadinya untuk mendukung kegiatan operasional di Kementerian. Jadi tidak mungkin ada kepentingan pribadi di sini,” ujarnya

“Kalau pun gugatan ini dikabulkan, sesuai permintaan kami, uang itu disetorkan ke kas negara dan digunakan untuk rakyat, terutama untuk petani, untuk memperkuat program pertanian nasional,” sambung Chandra.

Dijelaskannya, gugatan ini tidak diarahkan pada isi pemberitaan Tempo karena substansi berita tersebut sudah dinyatakan melanggar kode etik jurnalistik oleh Dewan Pers melalui Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang telah dikeluarkan.

Menurut dia, masalah muncul karena Tempo tidak menjalankan PPR itu secara utuh dan itikad baik.

Dalam PPR tersebut, tuturnya, terdapat kewajiban bagi Tempo untuk mengubah judul pada poster dan motion graphic agar sesuai dengan isi artikel utama. Namun, ia menilai, perubahan yang dilakukan tidak mencerminkan substansi pemberitaan sebenarnya.

“Ini bukan ujug-ujug menggugat. Proses etik sudah dijalankan sepenuhnya, tetapi karena keputusan Dewan Pers tidak dilaksanakan secara jujur dan profesional, kami menempuh jalur hukum agar perkara ini dinilai secara objektif dan terbuka,” katanya.

Petani mengangkut karung berisi hasil panen padi di sawah dekat saluran irigasi.
Petani membawa karung berisi padi saat panen di Desa Tangeb, Badung, Bali, Selasa (11/11/2025). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Advertisement image

Jika Dikabulkan, Dana Gugatan Masuk Kas Negara

Chandra menegaskan bahwa jika gugatan ini dikabulkan, seluruh dana akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk mendukung kepentingan publik, bukan individu.

"Dana itu akan digunakan untuk memperkuat sektor pertanian, meningkatkan produktivitas pangan, memperbaiki irigasi, dan penyediaan pupuk. Semua untuk rakyat, terutama petani," tegasnya.

Langkah hukum ini, lanjut Chandra, merupakan gerakan moral untuk memperjuangkan kebenaran dan etika dalam dunia pers, sekaligus melindungi martabat petani yang selama ini bekerja keras menjaga ketahanan pangan bangsa.

"Gugatan ini bukan untuk membungkam, tapi untuk meluruskan. Karena di balik pemberitaan yang menyesatkan, ada petani yang terluka. Dan demi mereka, kami menuntut kebenaran," terangnya.

Ancaman Gaya Bredel Baru yang Makin Meluas

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, gugatan Mentan Amran Sulaiman memang mencemaskan karena akan jadi preseden ke depan bagaimana publik dan pejabat publik melihat dan berhubungan dengan media.

Menurutnya, masih ada pejabat publik yang belum sepenuhnya memahami esensi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahkan setelah hampir tiga dekade Indonesia memilikinya.

“Mentan seharusnya memakai mekanisme sengketa pers di Dewan Pers jika tidak puas dengan sebuah pemberitaan. Begitu ia memakai mekanisme hukum lewat pengadilan, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tapi ketakutan bredel gaya baru yang akan meluas,” tuturnya dikutip dari ANTARA.

Pers, imbuh dia, tidak luput dari kesalahan. UU Pers telah mengatur ketidakpuasan dan kekeliruan media melalui mekanisme sengketa di Dewan Pers sehingga, menurut dia, sengketa pers harusnya diselesaikan melalui mekanisme dimaksud.

“Saya kira, Indonesia termasuk maju dalam memperlakukan pers di era demokrasi dengan keberadaan Dewan Pers. Di sanalah, semestinya, sengketa pers diselesaikan. Di sana pula media belajar untuk terus dewasa dan bertanggung jawab,” ucap Setri Yasra.

Kantor pusat media Tempo dengan fasad merah putih dan latar belakang gedung-gedung tinggi Jakarta.
Kantor Tempo Media di Jakarta. Sumber: Tempo
Advertisement image

Pakar Hukum: Sarat Penyalahgunaan Kekuasan

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati, menilai gugatan Menteri Pertanian terhadap Tempo tidak hanya prematur, tetapi juga sarat penyalahgunaan kekuasaan.

“Dalam kacamata hukum, ini prematur karena belum selesai di Dewan Pers. Selain itu, upaya hukum harus dilakukan dengan itikad baik,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (10/11/2025).

Ia menilai, gugatan dengan nilai fantastis itu bisa menjadi bentuk pelecehan yudisial atau judicial harassment terhadap media.

“Ini bukan hanya soal Tempo, tapi upaya mematikan suara kritis di Indonesia. Gugatan ini bentuk pelecehan hukum untuk membungkam kontrol publik,” kata Asfinawati.

Menurutnya, kasus ini mencerminkan watak kekuasaan yang antikritik.

“Detil kasus ini menunjukkan penyalahgunaan wewenang. Persoalannya bukan pada substansi berita, tapi hanya pada judul. Kalau Presiden membaca situasi dengan baik, seharusnya menteri seperti ini ditegur”, ujarnya tajam.

Asfinawati menambahkan bahwa penggunaan ASN untuk mengurus ketersinggungan pribadi menteri merupakan pelanggaran etika pemerintahan.

“ASN adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Dia harusnya men-support rakyat, bukan men-support pejabat. Jadi yang salah bukan ASN-nya, tapi yang menyuruh," tegasnya.

Publik Mesti Bersatu

Dalam pandangan Mustafa Layong, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi media dan publik untuk bersatu mempertahankan ruang kritis.

“Pejabat publik tidak boleh tersinggung ketika dikritik. Kalau pejabat tersinggung, yang bekerja adalah kepentingan pribadinya, bukan jabatannya,” ujarnya.

Ia menegaskan, LBH Pers akan terus mendampingi Tempo dalam menghadapi gugatan ini.

“Kami berharap ada kedewasaan dari pejabat publik untuk menerima kritik. Pers menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pengawas kekuasaan, dan negara harus menjamin itu,” katanya.

Menurut Mustafa, gugatan tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi iklim kebebasan pers ke depannya.

“Ketika gugatan semacam ini dibenarkan, siapa pun yang mengkritik kebijakan publik bisa digugat. Pemerintah seharusnya melindungi media, bukan menjadikannya sasaran gugatan,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Rentan Eksploitasi di Program MBG, Sudahkah Hak Perempuan Terpenuhi?

Relasi antara Pernikahan Dini, Ketidakstabilan Ekonomi, dan KDRT
Tempo
Mentan
Menteri Pertanian
Amran Sulaiman
Kebebasan Pers


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...