Konsorsium Pembaruan Agraria meminta Presiden dan DPR RI harus menjalankan reforma agraria sejati untuk petani yang selama ini belum dilaksanakan.
Penulis: Naomi Lyandra, Resky N
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Jelang setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang bersamaan dengan momentum Hari Tani Nasional (HTN) pada 24 September, pelaksanaan agenda Reforma Agraria dianggap masih banyak pekerjaan rumah dalam pelaksanaanya.
Reforma agraria sejatinya bertujuan untuk mengurangi ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan, serta memacu pertumbuhan ekonomi petani dan masyarakat pedesaan. Namun, menurut kalangan serikat petani yang terjadi kini sebaliknya.
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyoroti pentingnya keberpihakan negara terhadap kesejahteraan petani dan keadilan agraria.
Wakil Ketua Umum SPI, Agus Ruli Ardiansyah, menilai perlunya langkah nyata pemerintah, mulai dari alokasi lahan reforma agraria, penyempurnaan Perpres Nomor 62/2023 tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria, revisi UU Pangan, hingga pencabutan UU Cipta Kerja.
“Terakhir, tuntutan kita bagaimana memang Presiden segera membentuk Dewan Kesejahteraan Petani karena ini belum ada dan di pemerintahan sebelumnya juga hanya baru yang bersifat ad hoc untuk penyelesaian konflik,” katanya dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (24/9/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa cita-cita UUPA adalah merombak struktur penguasaan agraria warisan kolonial agar sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Indonesia belum tuntas melakukan itu. Maka dari itu dalam tema kali ini ya selain bagaimana meminta Presiden Prabowo untuk melaksanakan komitmennya di dalam program prioritas dan asta citanya kita juga tetap menyerukan kepada petani seluruh Indonesia untuk terus berjuang,” kata Agus.
Agus mengingatkan, reforma agraria harus sungguh-sungguh dilakukan langsung oleh Presiden agar tidak terhambat birokrasi kementerian.
“Jadi menurut saya yang pertama adalah memang harus ada komitmen yang kuat bahwa reforma agraria ini harus dipimpin langsung oleh Presiden kalau memang dia berkomitmen,” tegasnya.

Reforma Agraria Harus Ditegakkan untuk Petani
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Slamet, menyebut peran petani sebagai pahlawan sejati yang tak boleh dikesampingkan oleh negara.
“Saya ucapkan juga selamat dari Hari Tani ke 65 bahwa petani betul-betul menjadi pahlawan ini adalah harus kita maknai secara serius, tapi terbayang kalau tidak ada petani kemungkinan kehidupan ini cukup chaos,” katanya dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (24/9/2025).
Menurut Slamet, reforma agraria menjadi pintu masuk menuju kedaulatan pangan, namun fakta di lapangan masih menunjukkan ketimpangan besar.
“Kalau kita buka data bagaimana rasio kini dari pertanahan itu kan 0,58 kalau tidak salah. Ini artinya bahwa masih terjadi ketimpangan bahkan asumsinya 1% saja penduduk Indonesia yang menguasai 59% dari sumber daya agraria,” jelasnya.
Ia juga menyoroti banyaknya HGU terlantar dan alih fungsi lahan yang merugikan petani.
“Oleh karena itu, secara prinsip dengan aksi hari ini kita, saya secara pribadi memberikan support dan dorongan dan kita akan kawal bagaimana pemerintahan ini betul-betul kemudian bisa merealisasikan apa yang dituntutkan dari para teman-teman kita,” tambah Slamet.

Aduan Masalah Agraria masih Tinggi
Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman RI, mengungkapkan tingginya aduan masyarakat terkait masalah agraria.
“Berdasarkan data yang masuk tahun lalu, ya 2024, kalau data yang sekarang kan masih progres, Ombudsman itu kurang lebih menerima sekitar seluruh wilayah Indonesia itu sekitar 10 ribu aduan. Nah seperlimanya itu atau sekitar 2 ribuan itu, tepatnya 1857 laporan itu terkait dengan persoalan pertanahan,” jelasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (24/9/2025).
Yeka menilai problem agraria kian kompleks karena regulasi yang saling tumpang tindih.
“Meskipun Indonesia sudah memerdekakan dirinya pada tahun 1945. Nampaknya semua pihak, baik itu masyarakat sipil, DPR, pemerintah mestinya bisa duduk lagi satu meja untuk memberikan arahan bagaimana sebetulnya reform agraria ini harus dilakukan,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi implementasi UU Pokok Agraria yang jauh dari harapan. Sebab, alih-alih memberikan ruang kebebasan petani namun pemerintah kerap memberikan sebaliknya.
“Bahkan mereka sampai hari ini semakin tidak sejahtera. Salah satu indikator yang paling nyata adalah begitu banyak petani kita ini sekarang sudah keluar dari sektor pertanian,” ujarnya.
Yeka menekankan perlunya lembaga khusus penyelesaian konflik pertanahan yang dialami oleh petani di Tanah Air.
“Kalau kita belajar dari sejarah kita yang 80 tahun tidak pernah berhasil dalam menyelesaikan persoalan itu, maka mungkin saatnya kita berpikir perlunya sebuah lembaga baru untuk menyelesaikan konflik lahan,” terangnya.
Unjuk Rasa Aliansi Petani di Sejumlah Daerah
Ribuan petani dari beragam serikat dan aliansi berunjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional (HTN) di sejumlah daerah seperti Jakarta, Semarang, hingga Pati.
Para petani menyuarakan kegundahannya terkait kondisi petani hari ini yang kondisinya masih memprihatinkan dan belum sejahtera.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa para Penyelenggara Negara telah gagal memenuhi kewajiban kepada Petani, Nelayan, Masyarakat Adat dan Rakyat kecil lainnya. Akibatnya, Indonesia terus “memanen” berbagai konflik agraria di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusra, Maluku dan Papua yang meneteskan darah dan air mata rakyat.

KPA berpendapat konflik agraria berupa perampasan tanah dan pengusiran rakyat dari tanah-airnya yang berlangsung di berbagai tempat menandakan adanya kejahatan agraria, mulai dari korupsi agraria dan sumberdaya alam; monopoli penguasaan tanah, kebun, hutan dan tambang, pengkaplingan laut-pulau-pulau kecil, eksploitasi kekayaan alam secara membabi-buta, perusakan alam dan lingkungan oleh segelintir konglomerat.
“Ironisnya, ketika berbagai kejahatan agraria tersebut tengah berlangsung rakyat masih harus menerima ancaman kebebasan berserikat, kriminalisasi, kekerasan POLRI-TNI dan security perusahaan, hingga kehilangan nyawa,” tulis pernyataan resmi KPA.
“Selain itu Indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,58 (BPN, 2022). Artinya 1% kelompok orang menguasai 58% tanah dan kekayaan agraria nasional, sementara 99% rakyat Indonesia menempati dan memperebutkan sisanya,” jelas KPA.
Pimpinan DPR Terima Aspirasi dari KPA dan Aliansi Tani
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menerima aspirasi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) beserta perwakilan dari kelompok petani dan nelayan dari sejumlah daerah guna mencari strategi percepatan pelaksanaan reforma agraria.
"Saya ucapkan terima kasih dan selamat datang di Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia," kata Wakil Ketua DPR RI Dasco saat menerima KPA dan sejumlah perwakilan kelompok tani dan nelayan di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (24/9/2025) dikutip dari ANTARA.

Dalam mendengar aspirasi tersebut, DPR RI juga menghadirkan Menteri Kehutanan Raja Juli, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Nusron Wahid, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, hingga Kepala Staf Kepresidenan M Qodari.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan bahwa permasalahan agraria saat ini kerap melibatkan lintas sektoral, karena bukan hanya terkait Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN, melainkan juga Kementerian Pariwisata hingga Kementerian BUMN.
Menurutnya, realita yang terjadi saat ini adalah para petani dan nelayan mampu berdaulat dengan menciptakan lumbung pangan, tetapi tanahnya tidak kunjung diakui. Bahkan, ada juga petani dan nelayan yang kehilangan tanahnya maupun aksesnya ke laut.
"Presiden dan DPR RI harus menjalankan reforma agraria sejati sekarang juga," kata Dewi.
Dia mengatakan bahwa beberapa waktu lalu marak aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah hingga menimbulkan aksi penjarahan rumah pejabat. Namun hal yang luput dari sorotan adalah penjarahan tanah-tanah rakyat dan kekayaan di pedesesaan.
"Konsesi-konsesi itu terus berdiri, bahkan puluhan tahun. Jadi ini adalah serikat-serikat tani yang sebenarnya bukan baru, karena sejak dari Orde Baru sudah menguasai tanah, sudah menjadi kampung, menjadi desa definitif, tapi tidak kunjung dimerdekakan," katanya.

Catatan 24 Masalah Struktural Agraria
Pada Peringatan Hari Tani Nasional 2025 ini, KPA menyampaikan 24 masalah struktural agraria yang terjadi di pedesaan dan perkotaan.
- Ketimpangan penguasaan tanah semakin parah.
- Pengusiran warga desa dari tanah garapan, pemukiman dan kampungnya.
- Peningkatan dan akumulasi konflik agraria.
- Peningkatan represifitas POLRI-TNI.
- Kementerian/Lembaga menjadi pelestari Konflik Agraria.
- Janji palsu Reforma Agraria.
- Tidak ada redistribusi tanah.
- Petani makin miskin, gurem dan tak bertanah.
- Tidak ada pembatasan penguasaan tanah oleh konglomerat.
- Penertiban tanah terlantar tidak untuk rakyat.
- Proyek Swasta Berlabel Proyek Strategis Nasional.
- Tanah dimonopoli oleh BUMN Kebun dan Hutan.
- Maraknya korupsi agraria dan sumber daya alam.
- Membentuk banyak lembaga baru untuk mempermudah perampasan tanah.
- Privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Mempermudah perluasan tambang, korbankan rakyat.
- Sistem pangan militeritik dan liberal.
- Ketiadaan jaminan hak atas tanah bagi perempuan, buruh dan pemuda.
- Ancaman kebebasan berserikat dan berinovasi.
- Bank Tanah merampas tanah rakyat.
- Konversi tanah pertanian tidak terkendali.
- Penyelewengan Hak Menguasai Negara dan hak pengelolaan (HPL).
- Industrialisasi pertanian-perdesaan jalan di tempat.
- Pemborosan APBN/D untuk pejabat.

Sembilan Tuntutan Perbaikan Menyeluruh Bidang Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh di bidang Agraria-SDA melalui 9 (Sembilan) Tuntutan Perbaikan berikut:
- Presiden dan DPR segera menjalankan Reforma Agraria dengan pekerjaan utama: Redistribusi tanah kepada rakyat, penyelesaian konflik agraria dan pengembangan ekonomi-sosial rakyat di kawasan produksi mereka sesuai dengan UUPA 1960, mengevaluasi kementerian dan lembaga yang tidak menjalankan, menyesatkan dan menghambat Reforma Agraria dan DPR segera membentuk Pansus untuk memonitor progress pelaksanaan Reforma Agraria.
- Presiden segera mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah, setidaknya pada 1,76 juta hektar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Anggota KPA, menertibkan dan mendistribusikan 7,35 juta hektar tanah terlantar serta 26,8 juta hektar tanah yang dimonopoli konglomerat, termasuk tanah masyarakat yang diklaim PTPN, Perhutani/Inhutani, klaim hutan negara pada 25 ribu desa kepada Petani, Buruh Tani, Nelayan, Perempuan, serta pemulihan hak Masyarakat Adat. Selanjutnya Pemerintah harus menetapkan batas maksimum penguasaan tanah oleh badan usaha swasta.
- Presiden segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden demi mewujudkan mandat Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 tentang PA-PSDA dan UUPA 1960.
- DPR dan Presiden bersama-sama gerakan masyarakat sipil segera menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria sebagai panduan nasional pelaksanaan Reforma Agraria, mencabut UU Cipta Kerja yang melegalkan perampasan tanah dan liberalisasi pangan dan mengembalikan arah ekonomi-politik-hukum agraria nasional kepada mandat Pasal 33 UUD 1945.
- Presiden segera memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi Petani, Nelayan, Buruh dan Masyarakat Miskin Kota sekaligus menjamin pemenuhan hak atas tanah bagi Perempuan.
- Presiden segera memerintahkan POLRI-TNI untuk menghentikan represifitas di wilayah konflik agraria, membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Perempuan, Aktivis dan Mahasiswa yang dikriminalisasi, sekaligus menarik TNI-POLRI dalam program pangan nasional, dan mengembalikan pembangunan pertanian-pangan-peternakan-pertambakan kepada Petani, Nelayan dan Masyarakat Adat.
- Presiden segera membekukan Bank Tanah, menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi (moratorium) perkebunan, kehutanan, tambang (HGU, HPL, HGB, HTI, ijin lokasi, IUP), proses pengadaan tanah bagi PSN, KEK, Bank Tanah, Food Estate, KSPN dan IKN yang menyebabkan ribuan konflik agraria, penggusuran dan kerusakan alam. Selanjutnya, konsesi dan proyek pengadaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah rakyat segera dikembalikan dalam kerangka Reforma Agraria.
- Presiden dan DPR RI memprioritaskan APBN/APBD untuk redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pembangunan infrastruktur, teknologi, permodalan pertanian, subsidi pupuk, subsidi solar, benih dan Badan Usaha Milik Petani-Nelayan-Masyarakat Adat dalam rangka Reforma Agraria dan pembangunan pedesaan.
- Presiden harus mendukung dan membangun industrialisasi pertanian-perkebunan-perikanan-peternakan-pertambakan yang dimiliki secara gotong-royong oleh Petani dan Nelayan dalam Model Ekonomi Kerakyatan Berbasis Reform Agraria.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025 dan 2026, Kapan Bisa Disahkan?
- Unlock Your Potential, Slogan Basi Gali Potensi Tanpa Praktik?