"Meningkatkan PAD dengan cara apa? Dengan cara paling gampang enggak perlu orang pintar, menaikkan pajak. Nah saya kira itu yang akan menimbulkan persoalan di banyak daerah."
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Pemerintah kembali memangkas dana transfer pusat ke daerah (TKD) tahun anggaran 2026. Dalam RAPBN 2026, anggaran TKD ditetapkan Rp650 triliun. Nominal itu turun 24,8 persen dari proyeksi 2025 sebesar Rp864,1 triliun. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai kebijakan itu bakal makin memberatkan pemerintah daerah.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman mengatakan pemangkasan transfer dari pusat itu akan berdampak terhadap ketahanan fiskal daerah. Sebab dari catatan KPPOD, sekitar 60-70 persen daerah masih mengandalkan transfer dari pusat.
"Bahkan ada daerah yang 80-90 persen APBD pendapatan mengandalkan dari transfer ke daerah," kata Herman kepada KBR, Selasa (19/8/2025).
Dana transfer dari pusat ke daerah dipangkas usai Presiden Prabowo Subianto menerbitkan kebijakan efisiensi anggaran. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih penurunan transfer ke daerah disebabkan peralihan anggaran ke belanja pemerintah pusat.
"Kalau TKD mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Menurut dia, manfaat dari program belanja pemerintah pusat juga dirasakan oleh masyarakat di daerah.

Namun menurut Herman, pemotongan transfer dari pusat justru akan berdampak terhadap pelayanan publik di daerah.
"Ketika pemerintah pusat melakukan efisiensi, misal kemarin dengan Inpres 1 Tahun 2025, itu pasti berpengaruh terhadap kondisi keuangan daerah. Yang itu berimplikasi terhadap kinerja belanja terutama pembangunan, lebih khusus lagi pelayanan publik dan belanja modal," ungkapnya.
Makin menjadi beban ketika Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik juga dipangkas. Transferan dari pusat ini kerap kali menjadi sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah.
"Kami lihat DAK fisik sangat menjadi andalan pemerintah daerah untuk belanja modal. Sehingga ketika DAK fisik itu dipotong setengahnya, itu sangat berdampak pembangunan infrastruktur di daerah," ujarnya.
Baca juga: Gaji Guru dan Dosen Rendah, Pantaskah Sri Mulyani Minta Masyarakat Berpartisipasi?
Herman mengingatkan dampak pemangkasan anggaran sebetulnya sudah terlihat 6 bulan terakhir. Banyak pemerintah daerah kesulitan mengalokasikan duit untuk belanja modal dan barang.
Imbasnya, kepala daerah mengambil opsi menaikkan pajak rakyat. Itu yang terjadi di Pati, kata Herman.
"Dampaknya ke daerah, sebetulnya semesta memberi contoh. Pembacaan nota APBN itu terjadi sepekan setelah kasus yang di Pati. Itu sebetulnya menunjukkan satu korelasi, ketika ada efisiensi, daerah mencoba meningkatkan PAD-nya karena itu ada di bawah kontrol mereka. Dan kami yakin fenomena serupa akan terjadi di tahun depan," ujar Herman.
Belajar dari Pati
Kebijakan Bupati Pati Sudewo yang sempat menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) hingga 250 persen, dinilai sebagai salah satu upaya mendongkrak pendapatan asli daerah. Kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan usai ditolak dan didemo rakyatnya.

Bupati Pati Sudewo awalnya beralasan kenaikan PBB dibutuhkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperkuat kapasitas fiskal. Selain itu juga untuk mendukung berbagai program pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
"Kami saat ini sedang berkoordinasi dengan para camat dan PASOPATI untuk membicarakan soal penyesuaian Pajak Bumi Bangunan (PBB). Telah disepakati bersama bahwa kesepakatannya itu sebesar ±250 persen karena PBB sudah lama tidak dinaikkan, 14 tahun tidak naik," ujar Sudewo dalam keterangan resmi, Rabu (6/8/2025).
Dia mengatakan kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen akan menambal kebutuhan anggaran untuk pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, serta sektor pertanian dan perikanan.
Langkah bupati Pati itu, menurut Center for Economic and Law Studies (Celios), terjadi akibat pendapatan daerah tidak mampu menutupi belanja. Sehingga kepala daerah berupaya mencari sumber penerimaan baru, salah satunya dengan menaikkan PBB.
Peneliti Celios Jaya Dermawan menyebut ini masalah ketimpangan fiskal atau fiscal imbalance.
"Namun menurut saya juga kita harus melihat dari situasi fiskal di pemerintah pusat. Di mana akhirnya pemerintah pusat di awal tahun melakukan efisiensi anggaran besar-besaran hingga Rp300 triliun lebih dan akhirnya sangat berpengaruh dengan kapasitas fiskal di daerah. Kita lihat waktu itu saja di tahap pertama TKDD itu mengalami pemotongan atau pemangkasan hingga 50 triliun lebih. Ini yang akhirnya membuat pemerintah daerah berputar otak untuk mencari penerimaan mana saja yang bisa ditingkatkan," kata Jaya kepada KBR, Kamis (14/8/2025).
Jaya menambahkan, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat di awal tahun yang memangkas TKDD hingga lebih dari Rp50 triliun, membuat ketahanan fiskal daerah goyah.
Apalagi bagi daerah yang masuk kategori kapasitas fiskal rendah seperti Kabupaten Pati. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2024 tentang peta Kapasitas Fiskal Daerah, rasio kapasitas fiskal Kabupaten Pati hanya 1,020.

Mengacu dokumen anggaran pendapatan Kabupaten Pati 2025, sumber pendapatan daerah itu 75 persen mengandalkan transfer dari pusat.
Pati awalnya mendapatkan alokasi transfer pusat sebesar Rp2.189.392.472.000. Namun setelah ada efisiensi anggaran, transfer dari pusat menyusut sekitar Rp58,6 miliar menjadi Rp2.130.743.836.000.
Selain Pati, daerah lain yang menaikkan PBB yakni Kota Cirebon, Jawa Tengah. Sebagian warga bahkan mengklaim kenaikan PBB melonjak hingga 1.000 persen.
Kabupaten Semarang juga sempat menaikkan PBB-P2 hingga 400 persen. Meski akhirnya mereka membatalkan kebijakan tersebut usai diprotes warganya.
Transfer Dipangkas, Daerah Bisa Naikkan Pajak
Anggota Komisi II DPR Deddy Sitorus mengatakan kebijakan efisiensi anggaran membuat banyak daerah berusaha meningkatkan PAD mereka.
"Meningkatkan PAD dengan cara apa? Dengan cara paling gampang enggak perlu orang pintar, menaikkan pajak. Nah saya kira itu yang akan menimbulkan persoalan di banyak daerah," kata Deddy di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
"Persoalan di Pati kan bukan hanya Pati, banyak daerah lain mencoba pendapatan asli daerahnya dengan menaikkan pajak," imbuhnya.
Baca juga: Memaknai Perlawanan Warga Pati terhadap Kebijakan Bupati Sudewo
Mau tidak mau, kata Deddy, pemerintah daerah harus berinovasi untuk meningkatkan pendapatan mereka.
"Belanja yang tidak berkaitan dengan urusan publik harus dipangkas," kata dia.

Herman Suparman dari KPPOD memperkirakan, menaikkan pajak akan menjadi opsi utama pemerintah daerah di tahun depan. Sebab pajak dan retribusi ini menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah.
Menaikkan PBB-P2 seperti yang terjadi di Pati, dinilai sebagai salah satu cara mudah meraup duit tambahan.
"Kami lihat kepanikan serupa terjadi di tahun depan, bahkan kepanikanya mulai dari sekarang. Karena pemerintah daerah sudah mengetahui desain transfer ke daerah. Tentu mulai dari sekarang mereka mulai memutar otak, bagaimana bisa mendapatkan PAD, terutama dari pajak dan retribusi daerah," kata Herman.
Herman mengingatkan, kebijakan menaikkan pajak berpotensi memicu protes dan demo seperti di Pati, jika tidak melibatkan partisipasi publik.
"Demonstrasi itu adalah reaksi publik terhadap kebijakan. Artinya untuk mengantisipasi itu, kepala daerah harus betul-betul menerapkan tahapan paling prinsip dalam perencanaan yaitu partisipasi publik," harapnya.
"Apalagi dengan konteks tahun depan daerah cukup pusing juga memikirkan mereka bisa mengisi kekurangan dari hasil potongan transfer ke daerah," imbuhnya.
Menurut Peneliti Celios Jaya Dermawan, langkah menaikkan PBB menunjukkan transfer dari pusat masih menjadi andalan bagi daerah.
"Desentralisasi fiskal kita masih jalan di tempat. Banyak pemda belum kreatif mengoptimalkan PAD. Makanya satu sisi birokrat kita juga tidak kreatif, tidak inovatif dan cenderung menormalisasi pendekatan fiskal yang tidak berkeadilan. Sehingga menurut saya ini akan terjadi di beberapa daerah lain," ujarnya.
Jaya menilai pemerintah pusat memiliki peran besar mengawasi kenaikan pajak daerah agar tidak berlebihan, sekaligus mendorong reformasi desentralisasi fiskal.
"Pemerintah juga perlu berpikir ulang terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang akan dilanjutkan di tahun 2026," saran Jaya.
"Saya kira pemerintah bisa satu sisi mengajak pemerintah daerah untuk mendorong pembahasan penerapan dari pajak-pajak yang berkeadilan," imbuhnya.
Pemerintah Pusat Membantah
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah kenaikan PBB dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di daerah akibat kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat.
"Kami sudah melihat daerah-daerah ini, ada yang memang menaikkan, tapi bervariasi ada yang 5 persen, ada yang 10 persen, ada yang kemudian berdampak di atas 100 persen, itu 20 daerah," katanya di Jakarta, Jumat (15/8/2025) malam.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut kenaikan PBB-P2 di sejumlah wilayah merupakan kebijakan murni pemerintah daerah.
"Kalau mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur," katanya di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Menurut Hasan, efisiensi anggaran yang diterapkan sejak awal 2025 berlaku untuk 500-an kabupaten/kota dan seluruh kementerian/lembaga di tingkat pusat. Sehingga tidak dapat dikaitkan dengan satu kasus spesifik di daerah.
"Kalau ada kejadian spesifik, seperti di Kabupaten Pati, ini adalah murni dinamika lokal," ujarnya.
Ia menjelaskan kewenangan penetapan tarif PBB-P2 sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah melalui peraturan daerah yang disepakati antara bupati/wali kota dan DPRD.
"Beberapa kebijakan tarif PBB bahkan sudah ditetapkan sejak tahun 2023 atau 2024 dan baru diimplementasikan pada 2025," kata Hasan menambahkan.
Hasan mengklaim, kebijakan efisiensi anggaran hanya mengurangi sekitar 4-5 persen dari total transfer ke daerah.
Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran transfer daerah hingga Rp50,6 triliun.
Alternatif Pendapatan yang Lebih Berkeadilan
Celios memperkirakan daerah-daerah akan mencari sumber pendapatan lain untuk menutup pemotongan transfer dari pusat.
Ketimbang menaikkan PBB, Peneliti Celios Jaya Dermawan mendorong penerapan pajak yang lebih adil, seperti pajak rumah ketiga, pajak kekayaan, pajak karbon, dan cukai progresif.
Pajak rumah ketiga, misalnya, bisa diberlakukan untuk kepemilikan yang bersifat spekulatif, dengan potensi penerimaan hingga Rp4,7 triliun secara nasional.
"Pajak ini bisa didaerahkan sehingga langsung menambah PAD tanpa menimbulkan protes besar. Bebannya tidak ke masyarakat menengah bawah, tapi ke kelompok super kaya," kata Jaya.
Baca juga: Pajak Hiburan 65 Persen, DPRD Balikpapan Siap Bahas Ulang
Celios telah menghitung 10 instrumen pajak baru dan dua kebijakan stimulus. Seperti pengurangan insentif pajak untuk konglomerat dan penurunan PPN menjadi 8 persen, dapat menambah penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun.
Tambahan penerimaan ini bisa memperbesar alokasi transfer ke daerah, sehingga mengurangi tekanan pemda menaikkan pajak yang tidak berkeadilan.
"Ini sebenarnya bisa jadi solusi dan solusi ini lebih berkelanjutan, solusinya lebih adil dan akan diterima oleh masyarakat. Karena yang dibebankan lebih besar adalah masyarakat yang memang lebih kaya gitu ya, lebih bahkan masyarakat-masyarakat yang super kaya yang pendapatannya atau asetnya itu hingga Rp5 triliun gitu ya," kata Jaya.