"Berdasarkan pertimbangan nilai moral, historis, dan juga nilai hukum, kami sepenuhnya percaya dan yakin bahwa rekam jejak Soeharto tidak mencerminkan tidak mencerminkan nilai-nilai luhur tersebut."
Penulis: Heru Haetami
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Suara Uchikowati bergetar saat menyuarakan penolakan atas rencana pemberian gelar pahlawan untuk presiden kedua RI Soeharto. Pandangannya sesekali menerawang, menceritakan derita yang dulu ia dan keluarganya alami.
Uchikowati Fauzia merupakan generasi kedua dari penyintas tragedi 1965. Dia adalah anak eks-tahanan politik (tapol) Djauhar Arifin Santosa, yang pada 1958-1965 menjabat sebagai bupati Cilacap.
Ayahnya ditahan militer lantaran dituduh terlibat Gerakan 30 September (G30S). Ibunya yang merupakan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), juga ditahan. Saat kejadian, Uchikowati berusia 13 tahun.
“Saya sebagai korban atau keluarga korban dan banyak korban itu tadi semua dengan tegas menolak, karena memang Soeharto itu harus diteliti ulang, dipelajari kembali apakah itu sudah benar-benar pantas. Kalau kami semua yang di sini mengatakan bahwa itu Soeharto itu belum pantas (diberi gelar pahlawan),” ucapnya saat ditemui di Kantor LSM KontraS di Jakarta, Senin (3/11/2025).
Soeharto diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang belum terselesaikan, salah satunya pembantaian orang Komunis pada 1965-1966.
Menurut laporan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Soeharto dan Angkatan Darat di bawah komandonya memulai pembantaian dan pemusnahan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, dia menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Pada 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan peristiwa pembantaian ini sebagai pelanggaran berat terhadap HAM.
Puluhan tahun berlalu, stigma buruk PKI terus menghantui Uchikowati dan para korban peristiwa 1965 lain.
“Nah sekarang apa yang sudah diungkapkan oleh pemerintah? Stigma hingga saat ini masih kami punya, artinya kami alami,” kata perempuan 63 tahun tersebut.
Baca juga: Nestapa Bayi Korban Perdagangan: Kerap Menangis, Trauma, hingga Bocor Jantung
Alih-alih memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, Uchikowati menuntut negara mengakui peristiwa 1965 sebagai tragedi kemanusiaan dan segera mengungkap kebenarannya.
“Hal baru yang saya dengar bahwa menurut pemerintah ini adalah sebuah cara atau dalam rangka rekonsiliasi. Sehingga pemberian gelar pahlawan nasional adalah dasar apapun syarat rekonsiliasi. Itu tidak benar menurut kami. Karena rekonsiliasi, rekonsiliasi itu di mana pelaku dan korban itu harus setara di hadapan publik. Dan rekonsiliasi itu tidak akan terwujud tanpa pengungkapan kebenaran,” ujar Uchikowati.

Menurut Uchikowati, pelajar SD hingga perguruan tinggi tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya di 1965.
Itu sebab, rakyat harus diberi tahu melalui pelurusan sejarah.
“Kalau ditanya apa yang terjadi 1965, mereka hanya akan menjawab, oh itu PKI bunuh jenderal. Padahal yang terjadi, peristiwa pada 1 Oktober terjadi pembunuhan terhadap jenderal-jenderal itu, enam jenderal dan satu perwira, apakah itu yang melakukan PKI? Tidak ada yang tahu,” kata Uchikowati.
“Tetapi kalau misalnya PKI itu terlibat di situ, apakah benar harus membunuh banyak orang? Harus memenjarakan perempuan, laki-laki, anak-anak, bahkan orang yang tidak tahu apa-apa itu pun harus dipenjarakan. Salah tangkap, waktu itu biasa. Dan tidak ada pengadilan untuk mereka,” imbuhnya.
Namun, dalam draf penulisan sejarah versi pemerintah yang tengah digarap, diklaim tidak ada perubahan di peristiwa 1965. Artinya, isinya tetap memuat narasi yang melanggengkan stigma bagi penyintas 1965.
“Stigma itu tidak akan hilang kalau pemerintah tidak mencabut. Karena yang memberikan stigma itu pemerintah sendiri, negara, dan itu diikuti oleh rakyat. Nah rakyat Indonesia saja tidak tahu apa yang terjadi pada tahun 1965. Dan itu kan harus dibikin tahu bagaimana caranya rakyat itu tahu melalui sejarah,” kata Uchikowati.
Baca juga: Korban 1965 Dibunuh dan Dilukai Berkali-kali lewat Sejarah
Menurut sejarawan Andi Achdian, peristiwa 1965 bukan hanya sekadar pertarungan elite politik antara militer Angkatan Darat dan PKI.
“Jadi kalau kita bicara tentang 65 enggak cukup hanya sekadar perbincangan tentang pertarungan elite, di antara Angkatan Darat, di antara komunis dan AD, dan juga bagaimana apa yang kemudian, menyusul kemudian. Itu kan yang menjadi masalah dan yang menjadi perhatian dari banyak pihak. Laporan CIA kan bilang bahwa itu salah satu pembunuhan besar abad 20 setelah Holocaust di Jerman, setelah Kamboja,” ucap Andi kepada KBR, belum lama ini.
Kajian Andi mengenai peristiwa 1965 di Kediri, Jawa Timur, menemukan adanya dinamika konflik di tingkat akar rumput. Konfilk ini bertransformasi tajam dari konflik sistemik menjadi pembantaian massal atau genosida.
Andi bilang, temuan ini memberikan bukti empiris di tingkat lokal mengenai bagaimana konflik politik yang sudah ada bertransformasi menjadi gelombang pembantaian massal yang didukung secara struktural oleh kekuatan militer.
“Ketika konflik, ada lah perkelahian antara pendukung PKI dengan pendukung NU di desa itu. Tetapi sampai nyaris equal, karena sama-sama kuat. Itu dalam artian, ada kelompok pemuda, ketika sama-sama kuat ya, konfliknya enggak terjadi. Tetapi ketika setelah 30 September itu, Angkatan Darat, tentara turun. Ada turnya Sarwo Edhie dari Jateng sampai ke Jatim, nah itu yang kemudian berubah ekskalasinya. Sehingga yang kelompok PKI sudah pasti berantakan dan di satu sisi di sini bersenjata. Jadi saya punya senjata, ya beda posisi. Jadi yang maksud saya memang, jadi bukan sebuah konflik biasa, tetapi sebuah, artinya ya menjadi sistematis,” katanya.
Andi mengakui pandangan tentang peristiwa 1965 masih dianggap lebih banyak mitosnya dibanding fakta.
Masalahnya, negara saat ini belum mengakui peristiwa 1965 sebagai tindakan genosida.
Bukan hal yang mengherankan, kata Andi. Sebab, pengakuan genosida akan memunculkan tanggung jawab negara atas kejahatan yang dilakukan.
“Kan mereka mungkin nanti akan bilang hanya sebagai konflik, kekerasan yang ada di desa-desa di daerah. Mereka tidak akan mengaitkannya dengan tindakan genosida. Karena kalau sudah masuk pada pembahasan tentang genosida, kan ada tanggung jawab negara, tentang kejahatan ini apa,” kata Andi.
Andi bilang, pihak yang tidak ingin mengakui genosida sering berargumen bahwa tidak ada dokumen resmi yang menunjukkan tindakan itu sistematis.
“Jadi kembali akan argumennya, tidak ada dokumen-dokumen resmi yang menunjukkkan bahwa ini adalah sistematis, ini adalah tindakan-tindakan yang sifatnya akan disebut sebagai genosida,” ujarnya.

Pahlawan Tak Boleh Terlibat Kejahatan
Menurut Franz Magnis-Suseno, tokoh agama sekaligus akademisi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, seseorang layak dijadikan pahlawan jika tidak melakukan pelanggaran etik hingga kejahatan berat.
Franz Magnis menyebut, Soeharto tak layak menjadi pahlawan karena telah melakukan korupsi besar-besaran selama era Orde Baru.
“Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang yang dekat dengannya, dan hanya percaya dengan dirinya sendiri. Dia bukan pahlawan nasional. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan bahwa dia tanpa pamrih memajukan bangsa dan tidak mau beruntung sendiri. Bagi saya, ini adalah alasan yang sangat kuat bahwa dia jangan dijadikan pahlawan nasional," ucapnya.
Soeharto, menurutnya, juga merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa kejahatan kemanusiaan atau genosida pada tahun 1965.
“Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto yang paling bertanggung jawab atas genosida satu dari lima genosida terbesar umat manusia di abad kedua, abad ke-20 yaitu pembunuhan sesudah 65-66. Antara 800.000 dan menurut Sarwo Edhie yang sangat aktif, 3 juta orang (menjadi korban) mengerikan sekali. Tentu juga ada pelanggaran hak asasi lain yang keras dan kasar,” ujar Magnis di Gedung YLBHI, Jakarta (4/11/2025).
Baca juga: Fadli Zon Disorot, Bagaimana Nasib Tragedi Pemerkosaan Massal '98 dalam Proyek Sejarah Nasional?
Namun, tuduhan itu dibantah Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Politikus Partai Gerindra itu mengeklaim tidak ada bukti Soeharto melakukan genosida.
“Enggak pernah ada buktinya, kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” ucap Fadli di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Ya, apa faktanya? Apa ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta dan data, begitu. Ada enggak? Enggak ada, kan,” imbuhnya.
Fadli Zon yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), mengeklaim proses pengusulan gelar telah melibatkan berbagai kalangan akademisi, sejarawan, hingga tokoh masyarakat.
“Termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah dua tiga kali, bahkan, diusulkan. Dan juga beberapa nama lain. Ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya sudah memenuhi, insyaallah,” klaim Fadli Zon.
Upaya Mencuci Dosa Soeharto
Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada 21 Oktober 2025 menyerahkan dokumen berisi daftar nama calon Pahlawan Nasional kepada Fadli Zon.
Rabu (5/11/2025), dia menemui Presiden Prabowo Subianto melaporkan usulan nama-nama gelar pahlawan tersebut. Ada 49 tokoh yang diusulkan, 24 di antaranya masuk daftar prioritas.
“Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan sembilan nama merupakan bawaan, carry over dari yang sebelumnya,” katanya.
Dari puluhan nama yang dilaporkan ke Prabowo, salah satunya yakni Soeharto.

Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, gelar pahlawan itu tidak pantas disematkan ke Soeharto.
“Berdasarkan pertimbangan nilai moral, historis, dan juga nilai hukum, kami sepenuhnya percaya dan yakin bahwa rekam jejak Soeharto tidak mencerminkan nilai-nilai luhur,” kata Usman dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi di bawah kekuasaan Soeharto. Antara lain, pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhannya pada 1997–1998.
“Dan hingga kini para korban dari tragedi sepanjang waktu tersebut dan keluarganya, belum mendapat keadilan, pengakuan, dan pemulihan hak-hak lainnya,” tambahnya.
Dia meminta Prabowo menolak usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
“Tindakan saudara menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, menjadi pertanda nyata matinya Reformasi di Indonesia. Tindakan penganugerahan Soeharto menjadi pahlawan nasional yang notabene adalah mertua saudara adalah bagian dari benturan kepentingan,” tegasnya.
“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan mendapatkan respons penolakan dari generasi Z di Indonesia yang sulit dibendung. Mereka bagian dari jaringan global yang tidak tergabung dalam organisasi resmi apapun. Para Gen Z Indonesia yang memiliki pemikiran independen ini akan mencatat keputusan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai lembaran hitam bagi kehidupan mereka.”
Baca juga: Prabowo Bakal Dapat Pangkat Jenderal Kehormatan, YLBHI: Kematian Kehormatan Tentara
Dalam kesempatan berbeda, Usman juga menilai pemberian gelar itu merupakan bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat Reformasi 1998.
“Jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo. Soeharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan Reformasi. Oleh karena itu menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari Reformasi itu sendiri,” ujar Usman dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).
Usman menilai usulan ini merupakan upaya sistematis untuk mencuci dosa rezim Soeharto. Pada eranya, marak korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran HAM.
“Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memimpin dengan otoriter melalui rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi, membungkam oposisi, dan menormalisasi praktik pelanggaran HAM secara sistematis.”
Negara telah mengakui peristiwa-peristiwa kelam di era Orde Baru sebagai pelanggaran HAM berat, baik melalui Ketetapan MPR pada awal reformasi maupun pernyataan resmi Joko Widodo saat menjadi presiden pada Januari 2023.
Namun, hingga kini, tidak satu pun aktor utama yang dimintai pertanggungjawaban.
Uchikowati, korban peristiwa 1965, menilai negara tak punya kemauan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu.
“Kalau dia punya kemauan, mereka atau negara punya kemauan itu bisa kok diselesaikan. Nah sekarang dengan memberikan gelar ke Soeharto, sebenarnya itu pengkhianatan dan penghinaan. Nah kalau kami dikhianati oleh negara itu sudah dari lama lah. Memang bukan hanya dikhianati, tetapi juga dibiarkan. Jadi saat ini jika itu terus dilakukan, itu pengkhinaan terhadap korban dan juga menyakiti para korban,” ungkapnya.
Pemerintah semestinya memprioritaskan penyelesaian yudisial dan non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu, bukan justru memberi penghargaan kepada pelaku yang diduga bertanggung jawab atas kasus-kasus itu.
“Impunitas itu kan memang terjadi ya hingga saat ini. Dan saya masih belum tahu mau ngapain. Karena semua yang kami lakukan itu nyaris gagal. Misalnya, untuk penyelesaian kasus penanggaran HAM ini kan harus melalui, bisa dilakukan melalui yudisial dan non-yudisial. Dua itu dan juga rekonsiliasi. Jadi tidak ada jalan tunggal untuk menyelesaikan kasus penanggaran HAM,” tutur Uchikowati.





