ragam
Banjir-Longsor Sumatra: Siklon Tropis Senyar Telah Terprediksi Tapi Upaya Mitigasi Bencana Lemah

Pakar menilai evakuasi dini penting dilakukan untuk menekan jumlah korban akibat bencana alam di wilayah Sumatra. Mengapa tidak dilakukan?

Penulis: Naomi Lyandra, Cornelia W

Editor: Resky Novianto

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Prajurit TNI dan tim penyelamat mengevakuasi jenazah korban bencana banjir atau tanah longsor menggunakan tandu di daerah terdampak.
Evakuasi korban meninggal akibat banjir bandang di Jorong Kayu Pasak Selatan, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumbar, Senin (1/12/2025). ANTARA FOTO

KBR, Jakarta- Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dinilai bukan peristiwa yang datang secara mendadak.

Menurut Profesor Klimatologi dan Perubahan Iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, fenomena siklon tropis senyar yang memicu bencana ini telah terprediksi jauh hari sebelumnya melalui pemodelan cuaca.

“Radius ratusan kilometer fenomena yang berkaitan dengan siklon tropis itu sudah pasti didahului oleh beberapa tanda. Jadi tanda diantaranya adalah kondisi adanya low pressure system, ada sistem tekan rendah yang terbentuk selama berhari-hari di Selat Malaka,” ujar Erma dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (2/12/2025).

Erma menjelaskan, keberadaan sistem tekanan rendah memang belum tentu langsung menjadi sirkulasi tertutup, namun sudah menjadi sinyal awal yang harus diwaspadai. Bahkan, kata dia, model cuaca BRIN telah memprediksi potensi ini sejak dua hingga tiga bulan sebelumnya

“Sebenarnya kemampuan modeling ini 6 bulan sebelumnya, tetapi terus-menerus di update setiap hari sehingga kita mempunyai keyakinan 1 bulan sebelumnya itu ini di Selat Malaka adalah low pressure system dan center-nya itu memang Sumatra bagian utara," ungkap Erma.

Warga membersihkan tumpukan kayu gelondongan dan puing-puing di tepi sungai pasca-banjir bandang yang melanda wilayah tersebut.
Warga menyisir daerah yang terdampak banjir luapan Sungai Meureudu di Desa Meunasah Lhok, Pidie Jaya, Aceh, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Peringatan Dini Tidak Berjalan?

Prediksi semakin menguat setelah dikonfirmasi model global dari Eropa. Menurut Erma, kondisi tersebut semestinya sudah menjadi alarm dan peringatan dini bagi ketiga provinsi di wilayah Sumatra.

“Mestinya sudah kewaspadaan apalagi kondisi ketika area ini adalah area yang sangat jarang terjadi adanya tropical storm ini. Mestinya kita sudah tahu itu, data itu sudah ada dan kita waspada,” terangnya.

Semestinya, lanjut Erma, evakuasi dini penting dilakukan untuk mewaspadai jatuhnya korban akibat bencana alam di wilayah Sumatra.

“Jadi saya hanya berpikir seandainya evakuasi dilakukan 2 hari sebelumnya atau bahkan 1 hari sebelumnya itu sangat-sangat berguna sebenarnya,” sesalnya.

Pemandangan udara kerusakan parah akibat banjir bandang lumpur dan tanah longsor yang menimbun rumah-rumah, dengan warga dan kendaraan memadati jalan berlumpur pasca bencana.
Foto udara antrean kendaraan warga melintasi jalan kawasan permukiman Jorong Kayu Pasak yang rusak akibat banjir bandang di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Mitigasi Dianggap Gagal

Ketua Komisi V DPR RI Lasarus meminta peningkatan sistem peringatan dini bencana oleh kementerian/lembaga terkait, menyusul tingginya korban jiwa akibat banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam sepekan terakhir.

"Informasi BMKG menyebutkan bahwa curah hujan satu bulan jatuh dalam satu hari karena siklon, sehingga memicu banjir bandang dan longsor secara bersamaan di banyak titik. Kondisi semacam ini menuntut mitigasi yang lebih serius" kata dia dalam rapat bersama Basarnas dan BMKG di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (1/12/2025) dikutip dari ANTARA.

Lasarus menegaskan bahwa lembaga terkait tidak boleh hanya fokus pada penanganan pascabencana, tetapi juga wajib memperkuat upaya pencegahan, termasuk pemetaan kawasan pemukiman yang berada di lokasi risiko tinggi seperti rawan longsor, banjir bandang, dan gempa.

“pola permukiman penduduk yang tidak mempertimbangkan kerawanan geomorfologi turut memperburuk dampak bencana, sehingga pemetaan risiko yang lebih detail juga diperlukan agar masyarakat tidak tinggal di zona berbahaya,” terangnya.

Lasarus turut meminta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkuat koordinasi dalam penanganan bencana saat ini maupun dalam strategi mitigasi jangka panjang.

"Sinergi antarinstansi sangat menentukan kecepatan respons lapangan," kata Lasarus.

Pemandangan udara sungai besar berwarna cokelat keruh yang berkelok di antara lembah pegunungan hijau, dikelilingi perkebunan kelapa sawit dan area pertanian.
Pantauan udara kondisi Sungai Pagan pascabanjir bandang di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, Senin (1/12/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Advertisement image

Dorongan Audit Bencana di Pulau Sumatra

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga mendorong dilakukannya audit ekologi dan infrastruktur yang komprehensif untuk mengungkap penyebab bencana di Pulau Sumatera dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

“Atas nama kemanusiaan dan tanggung jawab untuk melindungi rakyat di masa depan, saya mendesak dan akan memperjuangkan dilakukannya audit ekologis dan infrastruktur yang komprehensif dan independen atas penyebab bencana ini,” kata Sabam Sinaga dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/12/2025) dikutip dari ANTARA.

Audit tersebut, menurutnya, bukan untuk mencari kambing hitam melainkan untuk menemukan akar masalah secara ilmiah. Tujuannya adalah memperbaiki kebijakan agar tragedi serupa tidak terulang.

“Solidaritas saat tanggap darurat sangat penting, tetapi pencegahan melalui kebijakan yang cerdas dan berkelanjutan adalah bentuk tanggung jawab tertinggi kami kepada rakyat,” tuturnya.

Foto udara desa dan perkebunan kelapa sawit terendam banjir lumpur, menunjukkan dampak parah bencana alam.
Kondisi pemukiman yang terdampak banjir di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Selasa (2/12/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Bencana Sumatra: 750 Lebih Warga Meninggal, 650-an Masih Hilang

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data teranyar dampak banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Hingga Rabu (3/12/2025) pukul 07.00 WIB, jumlah korban jiwa terus meningkat tajam seiring proses pencarian yang masih berlangsung di beberapa wilayah terdampak.

Menurut laporan resmi, korban meninggal mencapai 753 jiwa, sementara 650 orang masih hilang dan 2.600 warga mengalami luka-luka.

Total warga terdampak kini mencapai 3,3 juta jiwa di 50 kabupaten/kota, menjadikan bencana ini sebagai salah satu yang terbesar dalam satu dekade terakhir.

Dampak tanah longsor yang menghancurkan rumah, dengan boneka beruang tergeletak di antara puing dan timbunan tanah.
Kondisi rumah warga yang terdampak longsor di Kampung Duren, Desa Batu Godang, Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Aceh Masuk Wilayah Terdampak

Perwakilan Koalisi Sipil Peduli Bencana, Alfian menggambarkan situasi Aceh yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Ia menekankan luasnya kerusakan dan terputusnya akses, bahkan membandingkannya dengan tragedi tsunami 2004 silam.

“Ada 18 kabupaten-kota dengan daya kerusakannya memang sangat parah. Jadi posisinya adalah soal akses, putus jembatan dan juga korban, rumah yang hanyut, sehingga juga parahnya untuk akses, untuk kontribusi logistik,” ujar Alfian pada KBR Media, Selasa (2/12/2025).

Alfian menjelaskan beberapa wilayah terpencil di Aceh masih belum mendapatkan suplai logistik sama sekali, karena keterbatasan akses jalur darat yang masih tertutup dan terputus. Menurutnya, kebutuhan paling mendesak adalah logistik dasar seperti makanan, pakaian, dan keperluan perempuan serta bayi.

“Kondisinya memang sangat diperparah dengan kondisi memang ada warga terdampak yang kondisinya memang kelaparan saat ini,” ungkap Alfian.

Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh mencatat 249 orang meninggal, 403 orang luka berat, 227-an warga hilang, serta 4.435 orang mengalami luka ringan.

Kerusakan parah akibat banjir bandang: sungai berlumpur, bendungan terdampak, dan puing kayu di area permukiman.
Foto udara cek dam Koto Tuo yang rusak akibat banjir bandang di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

BMKG Akui Kesiapsiagaan Tidak Optimal

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani menanggapi terkait banyaknya jumlah korban terdampak akibat bencana alam di Sumatra.

Menurutnya, sejak awal Indonesia tidak merasa siklon tropis atau tropical cyclone bakal menimbulkan kerawanan meski sudah terprediksi sejak beberapa hari sebelumnya.

Ia berdalih, bahwa siklon tropis lumrah terjadi di negara, seperti, Jepang, Hong Kong, hingga Filipina.

"Mengapa kesiapsiagaannya masih belum optimal? karena sejak dari kita tumbuh, bahwa kita tidak merasa bahwa Indonesia ini adalah daerah yang rawan terhadap siklon. Itu biasanya terjadi di daerah-daerah di atas 5 derajat Lintang Utara atau 5 derajat Lintang Selatan," ujar Teuku di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Teuku mengatakan ketidaksiapan, Indonesia menghadapi siklon tropis bukan merupakan hal yang biasa.

“Ini kejadian akibat anomali cuaca dan atmosfer, sehingga terjadilah siklon. Kita secara prinsip kita juga belum begitu siap menghadapi bencana dengan eskalasi sebesar ini," terangnya.

Foto udara menunjukkan pemukiman rumah-rumah beratap merah yang terendam lumpur tebal akibat banjir bandang atau tanah longsor.
Foto udara sebuah perumahan terendam lumpur akibat banjir bandang, di Nagari Sungai Buluh Utara, Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Senin (1/12/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Setelah Bencana, Pemerintah Baru akan Bangun Peringatan Dini di DAS

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) akan mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) untuk memantau potensi bencana di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai langkah mitigasi.

"Kolaborasi antar Kementerian Kehutanan, kemudian BMKG, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Insya Allah kita bisa memprediksi bahwa daerah aliran sungai ini punya potensi terjadi banjir besar, yang di sini sedang, yang di sini kecil," kata Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip dari ANTARA.

Dengan adanya aplikasi sistem peringatan dini tersebut, kata dia, akan terpantau kondisi beragam DAS di Indonesia. Dilengkapi dengan pemetaan daerah hulu dan kondisi tutupan lahan serta endapan sedimentasi di sungai-sungai tersebut.

"Semoga nanti dengan aplikasi itu masyarakat bisa melihat, kemudian kita juga bisa memberikan early warning kepada pemerintah daerah, kepada camat, kepada kepala desa yang memiliki risiko terhadap banjir tersebut," jelasnya.

Seorang pria duduk di atas tumpukan puing kayu setelah banjir bandang atau longsor menimbun rumah dan kendaraan warga dengan lumpur tebal.
Warga berada di depan rumah yang rusak akibat banjir bandang di Kecamatan Silbolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (28/11/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Negara Lemah Antisipasi Bencana

Associate Research Fellow (ARF) LSJ FH Universitas Gadjah Mada (UGM), Stephanie menilai kapasitas negara yang lemah dalam mengantisipasi berbagai ancaman bencana turut memperparah dampak di lapangan.

“Negara yang incompetent dalam penanggulangan bencana sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dan tidak menempatkan keselamatan manusia maupun ekosistem sebagai poin pusat yang utama,” kata Stephanie dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (2/12/2025).

Ia bahkan menilai bencana besar di tiga provinsi Sumatra ini bukan semata faktor alam.

“Perlu kita garis bawahi juga bahwa banjir bandang dan juga tanah longsor yang terjadi ini merupakan bencana sosial ekologis,” jelasnya.

Stephanie menyoroti kontribusi aktivitas manusia yang melakukan deforestasi sehingga memperburuk ancaman nyata krisis iklim.

“Keperluan ekspansi perkebunan kelapa sawit ataupun eksploitasi tambang dan ahli fungsi lahan lainnya,” tegasnya.

Bibit kelapa sawit yang baru ditanam di lahan perkebunan luas, membentuk pola teratur dari pandangan atas.
Foto udara kondisi pascabanjir bandang melalui Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di perkebunan sawit yang terisolir akibat bencana di Nagari Tiku V Jorong, Agam, Sumatera Barat, Senin (1/12/2025). ANTARA FOTO
Advertisement image

Menuntut Tanggung Jawab Negara

Stephanie menyatakan bahwa beragam pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum akibat terdampak bencana di Sumatra.

“Tentu saja bisa kalau misalkan kita mau menggugat pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban negara, maka kita bisa melakukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa,” ungkapnya.

Namun ia menekankan bahwa fokus utama saat ini adalah penanganan korban selamat dan evakuasi korban yang masih dinyatakan hilang.

“Berfokus kepada bagaimana upaya penanganan yang lebih lanjut untuk korban-korban bencana banjir dan longsor tersebut,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media

Baca juga:

Pakar Bongkar Dosa Ekologis Picu Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar

- Mengapa Wacana Tambah Pasukan TNI di Aceh, Jakarta, dan Papua Perlu Dikaji Ulang?

#BanjirSumatera
banjir bandang
banjir
longsor
sumatera barat
sumatera utara
Aceh
mitigasi


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...