Aparat penegak hukum masih lemah dalam memahami dan memiliki perspektif terhadap perempuan korban kekerasan.
Penulis: Naufal Nur Rahman, Heru Haetami, Shafira Aurel, Hoirunnisa
Editor: Agus Luqman

KBR, Jakarta - Sejak Senin lalu, berbagai kelompok masyarakat dunia, termasuk Indonesia, kembali melakukan kampanye 16 hari antikekerasan terhadap perempuan.
Kampanye ini membawa pesan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan melindungi para korban. Kampanye 16 hari digelar hingga 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.
Salah satu yang jadi sorotan adalah layanan pengaduan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum berjalan efektif. Sementara, persoalan kekerasan berbasis gender masih cukup marak di Indonesia.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menyerukan seluruh masyarakat untuk memperkuat upaya perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender serta pemenuhan hak mereka.
Komisioner Komnas Perempuan, Satyawati Mashudi mengatakan selama ini Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) belum berjalan efektif.
“Secara konsep dan sistem dia efektif untuk kemudian membantu korban mendapatkan semua akses dan haknya. Akan tetapi itu tadi tergantung dari bagaimana arsitektur daripada SPPT-PKKTP itu terjadi karena tanpa ada koordinasi antar institusi, koordinasi internal penyelenggaraan layanan dan didukung oleh sarana prasarana itu semuanya tidak akan bisa memenuhi korban ketika itu semua tidak bisa berjalan dengan optimal,” kata Satyawati dalam acara Membangun Layanan Yang Inklusif untuk Perempuan Korban Kekerasan, Senin, (25/11/2024).
SPPT-PKKTP merupakan sistem layanan aduan korban ke aparat penegak hukum sampai dengan unit aduan pemerintah.
Koordinator Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah Bangka Belitung, Windu Perdana Kusuma mengakui keterbatasan sumber daya manusia di kepolisian masih menjadi tantangan besar. Selain itu, pemahaman kesetaraan gender juga masih minim.
“Banyak hal-hal yang baru harus dipahami sebagaimana undang-undang sebelumnya tidak mengatur secara komprehensif tidak mengatur secara lengkap yang berkaitan dengan perbuatan pidana kekerasan seksual. Contoh yaitu kekerasan seksual non fisik, ini menjadi hal yang baru semenjaknya diterbitkannya undang-undang ini. Kami berupaya untuk bisa memahami seperti apakah yang dimaksud dengan undang-undang kekerasan seksual non fisik, kemudian kekerasan seksual berbasis elektronik kemudian pemaksaan perkawinan kemudian pemaksaan sterilisasi perbudakan seksual termasuk hak-hak korban,” kata Wisnu dalam acara Membangun Layanan Yang Inklusif untuk Perempuan Korban Kekerasan, Senin, (25/11/2024).
Baca juga:
- LBH APIK: Minim APH Berperspektif Gender saat Menangani Kekerasan Perempuan
- HAKTP: Kerentanan Berlapis Dihadapi Perempuan Korban Kekerasan
Kekurangan juga dirasakan Anggota Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan, Novita Sari. Ia menyebut aparat penegak hukum masih lemah dalam pemahaman dan perspektif terhadap perempuan korban kekerasan. Khususnya dalam menafsirkan unsur pidana di Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Apalagi sekarang di Undang-Undang Tindakan Kekerasan Seksual, itu secara langsung memberikan mandat bahwa yang menyelenggarakan layanan untuk korban, mereka harus berperspektif HAM dan gender. Nah, ini mungkin sebagian masih dibilang ini hal yang baru, tapi untuk teman-teman pengadilan masyarakat, ini menjadi hal yang wajib. Ketika teman-teman bergabung di lembaga, pasti ini hal yang pertama diberikan ke kami." kata Novita dalam acara Membangun Layanan Yang Inklusif untuk Perempuan Korban Kekerasan, Senin, (25/11/2024).
Upaya mendorong perbaikan kinerja aparat dalam kasus kekerasan perempuan terus dilakukan. Koordinator Pelaksana Harian Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK), Khotimun Sutanti meminta ada standar dan prosedur yang lebih mengakomodir pemenuhan hak-hak korban.
"Penguatan aparat penegak hukum terutama mereka yang berada di garda terdepan. (Penguatan) dalam hal perspektif dan juga perlu membangun standar dan prosedur yang lebih mengakomodasi mandat-mandat dari UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Serta memahami bagaimana hak-hak korban dalam proses penanganan kasusnya. Misalnya hak atas bagaimana rujukan pemulihan, memberitahukan soal hak pendamping, kemudian hak restitusi dan hak perlindungan. Nah itu perlu dikuatkan dan gak hanya di unit PPA Polres menurut saya. Tapi sampai ke unit-unit Polsek," ujar Khotimun kepada KBR, Senin (25/11/24).
Melalui kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan tahun ini, diharapkan ada perbaikan dalam sistem penanganan pengaduan dan penyelesaian pidana kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.