Aturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga tidak dilaksanakan maksimal.
Penulis: Shafira Aurel
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau Asosiasi LBH APIK menyoroti minimnya aparat penegak hukum (APH) berperspektif gender saat menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, aturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga tidak dilaksanakan maksimal oleh APH.
Karena itu, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti mendorong kepolisian dan aparat penegak hukum (APH) lain lebih meningkatkan kinerjanya dalam memproses kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan.
Hal lain yang ia sorot adalah minimnya polisi wanita (polwan). Menurutnya, itu menjadi salah satu faktor yang membuat banyak korban kekerasan enggan melapor atau merasa kesulitan, karena trauma jika bertemu polisi laki-laki.
"Penguatan aparat penegak hukum terutama mereka yang berada di garda terdepan. (Penguatan) dalam hal perspektif dan juga perlu membangun standar dan prosedur yang lebih mengakomodasi mandat-mandat dari UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)," ujar Khotimun kepada KBR, Senin, 25 November 2024.
Baca juga:
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti juga mengingatkan perlunya SDM kompeten, bersertifikasi, berempati, serta memiliki ketrampilan khusus dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Serta memahami bagaimana hak-hak korban dalam proses penanganan kasusnya. Misalnya hak atas bagaimana rujukan pemulihan, memberitahukan soal hak pendamping, kemudian hak restitusi dan hak perlindungan. Nah, itu perlu dikuatkan dan enggak hanya di unit ppa polres menurut saya. Tetapi, sampai ke unit-unit polsek," imbuhnya.
Menurutnya, jika semua hal itu tidak terpenuhi, akan sangat sulit untuk mencapai keadilan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sebelumnya di Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti keterbatasan akses bagi korban kekerasan untuk mendapat layanan kesehatan dan hukum. Kondisi ini menyebabkan keterlambatan proses penanganan dan peradilan bagi korban kekerasan.