ragam
Mengapa RUU Masyarakat Adat Mendesak untuk Segera Disahkan?

Koalisi Masyarakat Sipil bilang absennya payung hukum membuat masyarakat adat hanya menjadi objek kebijakan.

Penulis: Naomi Lyandra, Cornelia W

Editor: Resky Novianto

Google News
aksi masyarakat adat
Suku Moi menyajikan sesaji sebelum dilarung di laut pada ritual Egek pada pembukaan Festival Egek di Sorong, Papua Barat Daya, Senin (5/6/2023). ANTARA FOTO

KBR, Jakarta- Hampir dua dekade lamanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat diperjuangkan, namun hingga kini naskah tersebut tak kunjung disahkan. Alih-alih menuntaskan pembahasan, pemerintah dan DPR justru saling melempar tanggung jawab.

Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Devi Anggraini, mengingatkan bahwa perjuangan ini sudah berlangsung sejak 2009.

“Kita sebenarnya memulai ya, kalau kita mau melihat sejarahnya itu, sebenarnya kita mulai dari tahun 2009. Pada 2012 itu di dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang keempat di Tobelo, itu diserahkan langsung ke tangan Pak Marzuki Ali (Ketua DPR RI) pada saat itu,” ujar Devi dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (19/8/2025).

Devi mengatakan era Presiden Keenam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), RUU ini sempat dibahas namun berhenti di tengah jalan.

Sementara itu, saat pemerintahan Presiden Ketujuh Joko Widodo, RUU ini sempat masuk dalam Nawacita. Sayangnya, hingga akhir dua periode kepemimpinannya, nasib RUU tetap mangkrak.

“Bolak-balik saja antara pemerintah dan DPR saling lempar-lemparan gitu. Itu ya mungkin nanti teman-teman koalisi bisa menjelaskan dengan lebih baik," lanjutnya.

Devi menilai ada persoalan serius terkait niat politik

“Apakah memang pemerintah atau negara ini memang sungguh-sungguh ingin memberikan ruang bagi masyarakat adat sebagai warga negara yang setara ya dengan yang lainnya, bukan warga negara kelas 2 gitu," tegasnya.

Masyarakat Adat Masih Jadi Objek

Veni Siregar, Senior Campaigner Kaoem Telapak sekaligus Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat, menegaskan bahwa absennya payung hukum membuat masyarakat adat hanya menjadi objek kebijakan.

“Sehingga tadi seperti kak Devi bilang bahwa masyarakat adat ini belum jadi subjek hukum di negara ini. Tapi dia menjadi objek yang diatur oleh banyak aturan yang ujung-ujungnya akhirnya merugikan masyarakat adat,” kata Veni Siregar dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (19/8/2025).

Veni menyoroti kerugian besar yang dialami masyarakat adat akibat mandeknya RUU ini.

“AMAN sebenarnya mencatat dan mendokumentasikan juga dengan Perempuan AMAN juga bahwa ada 687 konflik agraria di 10 tahun terakhir. Lalu juga hampir 11,7 juta hektare wilayah adat hilang tanpa persetujuan masyarakat adat,” ungkapnya.

Ia juga menepis stigma bahwa masyarakat adat anti-investasi.

“Istilahnya tuduhan-tuduhan bahwa masyarakat adat anti-investasi, bahwa masyarakat adat membatasi ruang gerak investor, bahwa masyarakat adat tidak mendukung program prioritas nasional atau program nasional ini harus dijelaskan bahwa itu keliru," tuturnya.

red
Masyarakat Adat Lindu yang hidup di sekitar Danau Lindu, Sulawesi Tengah. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Perempuan Adat Jadi Paling Rentan

Lebih jauh, Devi menekankan bahwa ketidakhadiran RUU Masyarakat Adat berdampak serius, khususnya bagi perempuan adat. Ia mencontohkan kasus hutan perempuan di Enggros dan Tobati, Teluk Yotefa.

“Seluruh kewenangannya ada di perempuan adat, kapan dibuka, apa yang mau diambil, berapa banyak yang bisa dipanen, dan kapan itu boleh ada orang lain di luar perempuan yang bisa masuk. Tetapi ketika bicara soal kepemilikan, dia akan merujuk pada kepemilikan komunal," jelasnya.

Menurut Devi, hilangnya ruang semacam itu juga berarti hilangnya perlindungan bagi perempuan.

“Ini adalah ruang aman, yang ketika ini hilang, perlindungan pada perempuan juga akan hilang. Nah hak kolektif yang seperti ini akan hilang," tegasnya.

Pertarungan Panjang dan Optimisme

Meski jalan panjang penuh kekecewaan, keduanya mengatakan bahwa perjuangan tidak boleh berhenti. Veni menegaskan perlunya dukungan publik yang lebih luas.

“Hari ini situasinya rumah masyarakat adat baru didukung oleh dua fraksi, ada NASDEM dan PKB. Di antara 8 fraksi berarti kita masih butuh 6 fraksi lain untuk mendorong pembahasan,” ujarnya.

Devi menambahkan bahwa kunci ada pada political will.

“Jadi ini proses yang menurut saya menjadi sangat krusial. Ini sudah 16 tahun lebih ya kita memperjuangkan RUU masyarakat adat. Jadi ini bukan soal kita masuk prioritas legislasi atau bukan gitu. Tapi memang mempertanyakan goodwillnya pemerintah saja. Niat baik pemerintah untuk masyarakat adat," tuturnya.

Devi dan Veni setuju bahwa perjuangan masyarakat adat adalah perjuangan bangsa.

“Kita ini sedang memperjuangkan bangsa ini loh. Bicara soal Bhinneka Tunggal Ika dan seterusnya gitu,” tutur Devi.

red
Masyarakat Adat Saga di Ende, Nusa Tenggara Timur. ANTARA/HO-AMAN

Pengakuan Masyarakat Adat Terabaikan

Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat merupakan bentuk pemenuhan hak dasar yang wajib diberikan negara. Ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 18B yang mengakui secara konstitusional masyarakat adat sejak Indonesia berdiri.

Namun, saat ini masyarakat adat tak kunjung mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Sebaliknya, banyak terjadi kriminalisasi, perampasan tanah, kekerasan, hingga pengusiran paksa masyarakat adat dari ruang hidupnya.

"Kalau gak ada payung hukum nasional itu, maka sulit menaikkan derajat masyarakat adat dari warga negara kedua menjadi warga negara yang sah. Payung hukum diperlukan untuk mengatur pemenuhan hak dasar mereka. Makanya percepat dan sahkanlah Undang-Undang Masyarakat Adat itu," tegas Eko kepada KBR, Selasa (19/8/25).

Tidak diakuinya masyarakat adat sebagai warga negara, kata Eko, mengakibatkan hutan dan tanah adat dianggap sebagai tanah kosong oleh negara.

"Karena tanah mereka dan wilayah adat mereka tidak diakui, maka dianggap sebagai tanah kosong. Kalau tanah kosong boleh dikasih oleh negara ke siapa saja," kata Eko.

Wilayah adat merupakan wilayah yang kaya. Oleh sebab itu, menurut Eko, pemerintah tak mau rugi dengan menyerahkan wilayah dan hutan pada masyarakat adat.

"Cara melihat alam dan wilayah adat semata untuk urusan ekonomi itu yang masalah. Ini soal paradigmatik jadinya. Pemerintah masih memandang tanah, alam, dan air di Indonesia sebagai aset ekonomi. Sehingga yang dibayangkan itu bagaimana mengeruk kekayaan alam seluas-luasnya. Sehingga kalau ada yang ganggu, itu pasti dihilangkan," imbuhnya.

Eko menilai pemerintah tidak menunjukkan keseriusan untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Ia bahkan mempertanyakan kemauan negara, meski RUU tersebut sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lebih dari sekali.

"Kurang apa? Drafnya ada, naskah akademiknya sudah bagus, udah didorong ke prolegnas berkali-kali. Sebenarnya ada political will gak sih? Ada kemauan gak untuk mendorong itu?," tanyanya.

Perampasan Lahan Masyarakat Adat yang Masif

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat satu dekade rezim pemerintah Presiden ketujuh Joko Widodo meninggalkan catatan kelam bagi Masyarakat Adat. Ketiadaan payung hukum yang mengatur secara khusus tentang Masyarakat Adat memperparah praktik perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan tindakan kekerasan.

Atas nama investasi baik swasta maupun investasi yang dilakukan langsung oleh negara, pemberangusan hak dan identitas Masyarakat Adat dilakukan secara sistematis.

Koreksi mendasar terkait agenda pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat semestinya perlu dilakukan dalam transisi kekuasaan, terutama menghadirkan kebijakan dan praktik pembangunan yang kerap mengabaikan hak atas wilayah adat, tanah, hutan, dan sumber daya alam Masyarakat Adat.

red
Catatan letusan konflik dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)/aman.or.id

AMAN mencatat dalam 10 tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta Hektar yang mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang diantaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal dunia. Masalah ini menjadi pekerjaan rumah Pemerintahan baru yang mendesak untuk diselesaikan.

Hilangnya Hutan, Hilangnya Identitas

Di sisi lain, menurut Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, hutan dan lahan milik masyarakat adat semakin tergerus oleh proyek-proyek strategis pemerintah. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan koneksi dengan budaya dan identitas mereka.

Bukan hanya sebagai sumber ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, hubungan masyarakat adat dengan hutan sangatlah kompleks. Di Maluku dan Papua, misalnya, menyebut hutan sebagai Mama. Beberapa suku di Merauke memiliki identitas atau totem yang terpaut dengan alam, seperti sagu atau Burung Cendrawasih.

"Hilangnya hutan dan rusaknya ekosistem masyarakat adat itu bukan semata hilangnya sumber ekonomi dan pangan mereka. Itu multidimensi, sosial-ekonomi, ekologi, bahkan spiritual," jelas Eko.

Eko menyebut, pengambil kebijakan terlalu menyederhanakan hubungan masyarakat adat dengan alam. Rusaknya hutan dianggap sebagai sumber ekonomi masyarakat adat yang hilang. Akibatnya, pemerintah tak memberikan solusi yang paling dibutuhkan masyarakat adat.

"Ini disimplifikasi oleh pengambil kebijakan. Seolah-olah (masalah) selesai dengan ganti rugi," tambahnya.

red
Sumber: aman.or.id

Segera Akui Hak Masyarakat Adat

Eko mendesak negara untuk segera mengakui masyarakat adat sebagai warga negara Indonesia. RUU Masyarakat Adat menjadi langkah awal untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat.

"Kalau mereka diakui, mereka punya hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain. Misalnya hak atas tanah, air, lingkungan yang sehat, penghidupan yang layak," ujarnya.

Ia berargumen, masyarakat adat adalah garda terdepan dalam menjaga dan memulihkan lingkungan, terutama dari ancaman krisis iklim yang sedang merajalela saat ini. Mengakui hak masyarakat adat, sebutnya, dapat menjadi solusi.

"Dengan begitu perlindungan terhadap hak mereka melalui pengakuan-pengakuan negara sebenarnya bagian dari solusi jangka panjang," tutup Eko.

Obrolan lengkap episode ini juga bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media berikut:

Baca juga:

- Menteri HAM Yakin RUU Masyarakat Adat Bisa Disahkan Tahun Ini, Alasannya?

RUU Masyarakat Adat
RUU MHA
DPR

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...