"Di situ, satu pertama disuruh tanda tangan untuk tuntutannya untuk bubar, membubarkan Jalsah. Yang kedua dituntut untuk tidak melakukan kegiatan apa pun."
Penulis: Wahyu Setiawan, Ninik Yuniati
Editor: Malika

KBR, Jakarta - Pembubaran paksa Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur menyisakan memori pahit bagi Asep Hisamuddin. Ketua Jemaah Ahmadiyah Cianjur itu menjadi korban intimidasi dan persekusi.
Insiden itu terjadi pada hari kedua pelaksanaan Jalsah, Sabtu, 6 Desember 2025. Saat itu, sekitar 1.700 jemaat Ahmadiyah dari Cianjur dan sekitarnya, tengah mengikuti pertemuan tahunan Jalsah Salanah di Desa Salagedang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Asep terpaksa meninggalkan lokasi acara untuk menghadapi massa yang mendesak Jalsah dihentikan. Lokasinya berjarak sekitar 100 meter.
“Di situ kan ada hadir kepala Kesbang, camat Cibeber, Sekretaris MUI, kemudian ormas-ormas di situ, ada FPPI, ada Banser, ada PP, ada FPI, ada pondok pesantren, di situ. Ada polres, ada juga kesbang provinsi, tapi di luar. Ada dari Polda di luar,” kata Asep saat dihubungi KBR, belum lama ini.
Dia menerima serangan verbal secara bertubi-tubi.
“Kan diancamnya gini, kami akan diseranglah, istilahnya gitu kalau enggak membubarkan diri. Saya cuman berdua di situ,” imbuhnya.
Di dalam sebuah ruangan, Asep dan rekannya seperti disidang, berhadapan dengan sekitar 100 orang.
“Sekitar jam 12-an kami dituntut untuk bubar. Mereka datang, mulai dari 15 orang berkumpul, kemudian banyak, akhirnya ada 100 oranglah,” ujarnya.
“Di situ, satu pertama disuruh tanda tangan untuk tuntutannya untuk bubar, membubarkan Jalsah. Yang kedua dituntut untuk tidak melakukan kegiatan apa pun, termasuk seperti Jalsah ini di Kabupaten Cianjur,” kata Asep.
“Saya ditekan. Saya tidak menaruh tangan sedikitpun…Saya di depan mereka menolak, kata saya. Ini tidak legal, ini tidak benar cara-cara seperti ini. Saya tidak tanda tangan sedikit pun,” tuturnya.
Ahmadi 57 tahun itu bergeming. Tak ada celah salah yang mereka perbuat, mengapa Jalsah harus dihentikan?
“Kata saya, kami siap menghentikan gitu. Tetapi, kata saya, kami bukan bersalah nih. Ini kan acara memberi tahu ke polres,” katanya saat itu.
“Apa sih yang salahnya? Sebetulnya kalau pun kami mau dipersalahkan, silakan suratnya gitu. Sebetulnya saya minta surat pemberhentian secara resmi atau apa. Tidak ada suratnya,” tekannya.

Lagi-lagi, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang diteken Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri pada 2008, dijadikan dalih.
“Tuntutan mereka seolah-olah kami melanggar SKB … Istilahnya kami menyebar-luaskan keluar. Ini kan enggak sebetulnya. Tidak seperti itu...kami acara internal pembinaan di tempat kami sendiri. Tidak mengganggu fasilitas umum seperti itu,” kata Asep.
Baca juga: UMP Jakarta 2026 Ditetapkan, Sudahkah Memenuhi Kebutuhan Hidup Layak?
Tekanan juga datang dari atasannya, kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. Asep berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkab Cianjur.
“Kan menelepon lagi ke saya pimpinan pada jam-jam tersebut. Ya, kami akan bercepatlah hari ini. Kami tutup. Tidak sampai besok,” ungkapnya.
“Waktu itu dia juga minta maaf sebetulnya. Enggak ada hubungan dengan kerja. Ini saya diperintah. Oleh siapa yang memerintah Bapak?…Bupati, kata saya. Siapa? Bukan, katanya. Sekda sama Kesbang. Sekda sama Kesbang yang nyuruh. Kayaknya ada tekanan nih, Pak. Ke sana, gitu. Tekanan dari para ulama,” kata Asep menceritakan ulang.
Sepanjang tiga jam pertemuan dengan perwakilan ormas dan MUI, tekanan tak mengendur. Itu menjadi puncak dari rangkaian intimidasi dari berbagai pihak selama sepekan menjelang Jalsah.
Pada akhirnya, Asep mengalah. Selepas Asar, Jalsah disudahi. Padahal, mestinya acara baru berakhir esok hari.
“Dengan kata lain ditutup lah ya. Cuman kan bahasa saya lebih halus, dipercepat gitu.”
Keputusan tersebut membawa luka bagi para jemaah. Ini menjadi Jalsah pertama di Cianjur yang dibubarkan sejak 2019. Tiga Jalsah sebelumnya berjalan lancar.
“Pada prinsipnya jemaah paham bahwa kami ada yang menghentikan. Yang kedua ya tadi itu, kami anggap ini karunianya Allah Taala memberikan kesempatan kami hanya seperti ini. Ya, sebetulnya juga ada yang menangis juga lah. Menangis kenapa seperti kegiatan kami ini selalu saja begini. Ada yang kayak gitu. Banyak bahkan di kalangan ibu-ibu juga,” tuturnya.

Di Tangerang, Banten, situasinya tak lebih baik. Jalsah Salanah terpaksa ditutup beberapa jam lebih cepat dari rencana, yakni di hari ketiga, 7 Desember 2025, sekitar jam 10 pagi.
Padahal, semestinya para jemaah bisa menyantap makan siang bersama sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Baca juga: Persekusi Ibadah Natal, PGI: Perlindungan Negara Lemah
Kesibukan di dapur pun berubah. Para relawan tak lagi hilir-mudik menyajikan hidangan di meja, tetapi membungkus makanan untuk bekal para tamu saat perjalanan pulang.
“Yang ini mungkin yang minta nasi bungkus, takut enggak sempat makan, habis sarapan tadi pagi, jadi kita bungkus, ya. Kalau mereka minta, ya, silakan kita kasih. Takutnya di jalan, ya, makan, kan enak tinggal di mobil,” kata Enih, salah satu relawan dapur Jalsah Salanah Ahmadiyah di Desa Gondrong, Cipondoh, Tangerang.
Enih diberi tahu anaknya, ada ormas yang ingin membubarkan Jalsah.
“Anak jaga keamanan. Dia kebetulan ya, itu ada yang FPI itu, di pinggir kali itu…sampai kalau enggak salah itu jam 11, jam 1 dia bubar….Saya hanya berdoa saja, berdoa aja. Ya Allah, mudahkanlah. Berzikir banyak selawatan. Sambil enggak ada ini pun kami harus waspada,” kata Enih.
Hari terakhir Jalsah yang digelar di Desa Gondrong, Cipondoh, Tangerang itu, tak seramai hari pertama dan kedua. Para jemaah setempat yang tidak menginap, diminta tak datang ke masjid.
“Tadi pagi dapat info biasa dari grup gitu ya. Kalau penutupan dimajuin...yang udah keburu pulang ke rumah, maksudnya yang lagi enggak di masjid, itu lebih baik menonton lewat live streaming Youtube aja buat kondusivitas gitu,” kata Lika, seorang peserta Jalsah.
Namun, Lika sudah telanjur sampai di Desa Gondrong saat membaca pesan di grup WhatsApp. Ahmadi berusia 22 tahun ini bersama keluarga mengendarai mobil dari rumah mereka di Karawaci.
“Karena tadi emang udah benar-benar tinggal parkir doang, terus juga sama warga sini, oh ya sudah enggak apa-apa, parkir saja gitu. Jadi ya makanya tadi tetap datang. Cuma memang jadi lebih cepat aja sih acaranya gitu kan,” ujarnya.
Lika kemudian mencari tahu apa yang terjadi.
“Tadi sempat diceritain sama teman juga yang tinggal di daerah sini gitu. Diceritainnya enggak terlalu mendetail juga sih tadi. Jadi, memang ada orang-orang yang katanya sih lapor ke polsek gitu kan, sama dia lagi ada acara mengganggu, katanya kayak gitu.”
Baca juga: Tetap Miskin walau Hidup di Lumbung Migas
Desakan pembubaran Jalsah muncul sejak hari pertama. Beberapa kali panitia didatangi kepolisian, pihak kelurahan, dan kecamatan, kata Amir Nasional Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Zaki Firdaus Syahid.
“Ya, yang disampaikan karena sudah ada peraturan gubernur Jawa Barat, sudah ada SKB 3 Menteri, kemudian sudah ada fatwa MUI. Nah, tiga hal itu yang dijadikan dasar untuk dilakukan penolakan,” kata Zaki usai penutupan Jalsah di Desa Gondrong.

Lika masih bersyukur bisa mengikuti Jalsah, meski diwarnai diskriminasi.
“Sedih sih, berasa cepet juga gitu. Itu pasti ada sih perasaan kayak gitu, cuma ya, sebagai warga Ahmadiyah, terus berusaha kan, berusaha berdoa,” kata Lika.
Baca juga: Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)
Tahun lalu, ia dirundung sedih yang teramat dalam karena menjalani tahun tanpa Jalsah. Asanya bersilaturahmi dengan para Ahmadi se-Nusantara sirna begitu tiba di Manislor, Kuningan, Jawa Barat –lokasi Jalsah nasional yang dibatalkan paksa 2024.
“Lihat kondisi di sana, sudah mulai dibongkar-bongkar, tenda-tenda gitu kan, terus juga kamar mandi-kamar mandi itu sudah mulai dibongkar-bongkar. Terus juga bahan-bahan makanan, dapur, sempat ngobrol juga sama warga di sana, ya berasa lah sedihnya gitu. Banyak yang nangis setiap ketemu orang. Apalagi orang di sana ya yang memang sudah ngerasain persiapannya gitu, udah berasa vibe Jalsahnya tuh sudah ada gitu ya. Itu pasti hampir semuanya sih nangis, berasa sih sedihnya,” tutur Lika.
Mestinya itu menjadi Jalsah nasional pertama bagi Lika, momen yang selalu dinanti setiap Ahmadi.
“Mungkin ikatan batinnya kuat kali, ya. Mungkin karena keterbatasan ruang juga kali, ya? Kami keterbatasan ruang, jadi sekalinya ada pertemuan yang besar, jadi itu suatu hal yang ditunggu-tunggu, gitu. Karena kan kami enggak sebebas, enggak sebebas Islam-Islam yang lain, gitu sih.”

Jalsah Salanah adalah pertemuan resmi jemaat Ahmadiyah yang diadakan setiap tahun untuk mempererat persaudaraan, meningkatkan pemahaman agama, dan memupuk keimanan di antara anggotanya. Pertemuan tiga hari saban tahun ini diinisiasi oleh pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai sarana peningkatan spiritualitas dan persatuan.
Pertemuan pada tahun ini menjadi momen spesial bagi Ahmadi, sebab bertepatan dengan perayaan 100 tahun Ahmadiyah di Indonesia. Namun, asa untuk bersilaturahmi dengan para Ahmadi se-Nusantara kandas.
Firdaus Mubarak, salah seorang jemaat Ahmadiyah menceritakan skenario yang terjadi di balik penyelenggaraan Jalsah Salanah 2025. Tahun ini Jalsah harus disebar ke 23 titik.
“Mungkin keputusan itu diambil sekitar Juli dan Agustus. Tidak mungkin satu lokasi, tetapi sampai September kami masih berharap bisa melakukan jalsah 1 titik. Lokasinya di sekitar Jakarta,” kata Firdaus.
“Tetapi dengan lobi-lobi sampai Oktober, awal November, kami memutuskan bahwa Jalsah 1 titik ini tidak mungkin. Kenapa? Belum ada restu dari negara. Sederhananya seperti itu. Sehingga kemudian diputuskan untuk melakukan Jalsah di 23 titik di Indonesia,” kata Firdaus.
Itu pun tetap tak luput dari intimidasi di sejumlah wilayah, seperti di Cianjur dan Tangerang.
Beribadah dengan aman masih jadi hal mewah. Diskriminasi dilanggengkan negara, salah satunya lewat SKB 3 Menteri.
“Dan SKB tidak pernah melarang perkumpulan-perkumpulan itu. Dan kalau tegak pada itu, itu sebenarnya clear persoalan. Masalahnya kemudian terjadi keengganan aparatur negara untuk menegakkan hukum itu. Ketika hukum tidak tegak, ketiadaan menegakkan hukum, maka itu sebenarnya adalah undangan bagi terjadinya kejahatan. Ketiadaan menegakkan hukum adalah undangan bagi terjadinya kejahatan,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dalam diskusi virtual KBB, Jumat (19/12/2025).

Sejak SKB 3 Menteri terbit, tak kurang dari 30 kebijakan di daerah melanggengkan persekusi terhadap Ahmadiyah. Itu berdasarkan catatan pegiat keberagaman Dahlia Madanih, yang juga Komisioner Komnas Perempuan.
“Di Bogor, Majalengka, Cianjur, Garut, Ketapang, Sukabumi, Bogor, Pandeglang itu masih kota sama kabupaten, Yogyakarta, Depok, itu kami catatkan di mana kebijakan-kebijakan itu juga hadir di situ … Mungkin lebih dari 66 kali Jemaat Ahmadiyah termasuk perempuannya yang menghadapi peristiwa serangan, intoleransi, penyegelan, itu yang hampir terjadi di 10 provinsi dan 17 kabupaten kota. Dan itu dihadapi sejak 2005,” kata Dahlia dalam kesempatan yang sama.
Mirisnya, pemerintah daerah justru lepas tangan, ketimbang memberi perlindungan pada korban.
“Dan dalam pengalaman-pengalaman persekusi itu juga melibatkan perempuan ketika dia lari dari penyerangan ada yang hamil, ada yang justru situasi-situasi yang sangat rentan dialami oleh perempuan… Dan pasca penyerangan, justru bukan pemulihan yang didapat atau ruang dukungan untuk bagaimana situasi itu dikenali sebagai ancaman untuk perlindungan keamanan,” kritiknya.
Baca juga: Giliran Muhammadiyah Serukan Bencana Nasional Sumatra
Mengapa begitu sulit mengakhiri diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah? Bukankah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan amanat konstitusi?
Kasubdit Bina Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan di Kementerian Agama Dedi Slamet Riyadi mengklaim kerap menyampaikan pentingnya menjamin kebebasan beragama di Indonesia saat diundang oleh kementerian atau lembaga lain.
"Dan saya juga pernah menjadi narasumber di acara di unit hate speech di Mabes Polri. Saya sampaikan dengan jelas mengenai jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama, kemudian posisi negara, negara ini termasuk dalamnya adalah pemerintah, dan juga aparatur sipil negara yang lainnya mengenai kebebasan beragama. Nah, itu yang kemudian kita upayakan dari Kementerian Agama," kata Dedi dalam diskusi virtual tersebut.

Dedi bilang, di internal pemerintah, belum satu suara soal jaminan kebebasan beragama.
“Di Kejaksaan masih ada PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat). Kemudian di kepolisian, kemudian juga di pemerintahan dalam negeri yang membawahi, yang mengoordinasi pemda-pemda seluruh Indonesia dan lain sebagainya. Nah, kami melihat bahwa kita belum memiliki visi dan perspektif yang sama tentang KBB ini di kalangan lembaga pemerintah sendiri," tukasnya.
Itu sebab, upaya mencabut SKB 3 Menteri sangat sulit dilakukan. Kecuali, kepala negara turun tangan.
“Kementerian Agama tidak punya cukup kekuatan untuk kemudian bisa mengajak keduanya: Jaksa dan Menteri Dalam Negeri. Mungkin dibutuhkan otoritas lain misalnya dari Sekretariat Kabinet atau misalnya dari yang lain yang kemudian bisa mengajaknya,” kata Dedi.
Enih, jemaah Ahmadiyah Tangerang, punya harapan sederhana. Di usia 60 tahun, ia hanya ingin beribadah dengan aman dan tenang, juga bisa berjumpa Jalsah saban tahun.
“Alhamdulillah lancar. (Tapi ada sakit-sakit juga?) Ya, sudah sakit mah, udah enggak, saya tinggalin, yang penting saya bisa berkhidmat, karena saya dari kecil itu memang sudah terbiasa seperti ini, kayak sedih, nangis saya malahan, kalau enggak ikut ini, saya justru malah nangis di rumah,” ujarnya pilu.
Enih menjadi saksi berbagai persekusi terhadap Ahmadiyah, seperti pembubaran Jalsah di Parung 2005 dan insiden kekerasan di Monas 2008.
“Waktu dulu kan pas kegiatan di Parung. Saya tuh selalu pergi, di koper, anak saya kecil-kecil segini, saya ajak, itulah berkahnya. (Di Parung, th 2005?) Iya, itu anak saya, yang paling kecil itu, 3,5 tahun, dia sampai shock … Apalagi anak saya yang bungsu, waktu kejadian di Monas, sampai hilang, kami lagi mau acara, ayo langsung, ayo, ayo, langsung. Ya Allah, anakku ke mana ini, anakku, udahlah, mudah-mudahan Allah, lancarkan,” ungkapnya.
Di Jalsah kemarin, ia mengalami kecelakaan saat berbelanja untuk keperluan dapur. Mukanya lebam, kaki dan tangannya memar.
“Terus kami pulang istirahat dulu, karena saya kalau enggak dipijit, saya enggak bisa jalan … Alhamdulillah, pas kemarinnya, saya dari pagi, saya bisa membantu lagi, karena kan tanggung jawab juga kita, sebagai di dapur gitu.”
Meski sakit, Enih menolak berdiam di rumah. Lebih berkah beribadah bersama saudara seiman di Jalsah.
“Ya Alhamdulillah, Allah itu maha penyayang, sedih, sampai saya nangis ya Allah, kalau anak saya itu sama adik-adik saya, kakak saya, sudah mama jangan ke sana. Enggak, ini tanggung jawab mama, bisa kok bisa jalan, sampai seperti itu. Saya emang udah biasa ya, seperti ini, enggak mama masih bisa. Di sana itu mama bisa bantu-bantu, bisa sesuai kesehatan mama. Ya sudah deh, kalau mama begitu dan kami juga bisa dengarkan ceramah, karena berkatnya kan, untuk kami, ini kegiatan, setahun sekali, dan ini pun merupakan 100 tahun, mama enggak mau di rumah, di rumah sendiri, kata saya gitu,”

Diskriminasi juga dirasakan Ahmadi muda seperti Lika, sedari ia kecil.
“Tekanannya lebih ke gimana ya caranya Ahmadiyah biar bisa diterima. Masih belum safe-lah, masih rawan,” ujarnya.
Baca juga: Ahmadiyah dan Warga Kelas Dua
Situasi keberagaman di tanah air belum banyak berubah. Itu pula yang menggugah mahasiswi 22 tahun ini terlibat di tim media Ahmadiyah.
Lika ingin mengubah persepsi keliru tentang ajaran yang diimaninya.
“Sedih sih, tapi gimana, kami sudah bertahun-tahun seperti itu, jadi ya, gimana, ya, kak jelasinnya, bukan berusaha menerima, dengan gimana caranya biar mereka nggak berpikiran seperti itu lagi gitu…Meluruskan, minimal mereka tahu Ahmadiyah enggak sesat, Ahmadiyah itu, sama kok, kita sama, Islam.”
Penulis: Wahyu Setiawan, Ninik Yuniati
Editor: Malika





