Warga terisolasi. Bahan pangan langka. Bantuan belum tiba.
Penulis: Dita Alyaaulia, Heru Haetami
Editor: Sindu


KBR, Jakarta- Takengon, ibu kota Aceh Tengah, laksana kota mati usai bencana banjir dan tanah longsor menerjang, November 2025. Listrik mati, jaringan telekomunikasi padam total selama dua pekan. Warga terisolasi. Bahan pangan langka. Bantuan belum tiba.
Beberapa hari kemudian air mulai surut. Namun, warga di wilayah dataran tinggi itu masih berjuang menghadapi keterisolasian, kelangkaan pangan, dan keterbatasan listrik serta jaringan komunikasi.
Antonio, warga Takengon yang bekerja di Lhokseumawe, menceritakan kondisi terkini di wilayah tersebut. Menurutnya, secara umum kawasan Kota Takengon relatif aman dan aktivitas warga mulai berjalan. Namun, situasi berbeda terjadi di daerah pinggiran gunung.
“Kalau di Tagengon sama Bener Meriah, itu daerah-daerah dataran tinggi, pegunungan. Kalau misalnya kalian di Jakarta mungkin kayak di puncaklah. Jadi, kotanya itu alhamdulillah aman. Cuma di pinggiran gunung, lereng-lereng gunung itu memang banyak longsor. Jadi, banyak juga yang terdampak rumah-rumah warga, kafe-kafe,” ujar Antonio kepada KBR, Selasa, (16/12/2025).

Akibat longsor di banyak titik, akses darat menuju Takengon dan sekitarnya terputus hingga kini. Warga yang ingin keluar atau masuk wilayah tersebut harus berjalan kaki 3,5 hingga 4 jam melewati jalur pegunungan yang terjal dan licin.
“Untuk ke sana cuma bisa jalur udara, helikopter dan pesawat. Untuk darat motor, mobil pasti enggak bisa. Kalau motor juga nggak bisa kecuali dipaksa pakai motor trail. Dan yang banyak sekarang orang lakuin itu mereka jalan kaki 3,5 jam sampai 4 jam,” katanya.
Keterisolasian ini berdampak langsung pada kehidupan ekonomi warga. Hasil perkebunan seperti cabai terpaksa dibawa keluar daerah dengan berjalan kaki agar tidak membusuk. Di Takengon sendiri, pasar nyaris lumpuh.
“Di Takengon enggak bisa jual cabai. Kalau lama-lama enggak dijual, kan, busuk. Tetapi, mau jual ke siapa? Orang-orang lagi susah. Gas enggak ada, minyak enggak ada. Warung makan juga tutup semua. Udah kayak kota mati,” ucap Antonio.
Listrik dan jaringan komunikasi sempat padam total selama dua minggu pertama pascabencana. Kondisi ini membuat warga kesulitan menghubungi keluarga dan memenuhi kebutuhan dasar.
“Dua minggu awal itu memang blackout. Enggak ada listrik sama sekali. Efeknya jaringan juga down. Sekarang udah mulai hidup, tetapi belum stabil. Kadang hidup berapa jam, mati lagi,” katanya.
Bantuan pemerintah mulai berdatangan sekitar sepekan setelah banjir, terutama melalui jalur udara. Namun, menurut Antonio, distribusinya belum merata, terutama bagi warga di wilayah pelosok pegunungan.
“Dua minggu awal itu memang padam total memang blackout. Jadi, memang enggak ada sama sekali listrik. Dan juga efeknya jaringan down. Tetapi, sekarang udah mulai up-lah. Walaupun belum stabil. Kadang nanti hidup berapa jam, mati lagi,” ujarnya.

Beda KTP, Tak Dapat Bantuan
Kondisi itu turut memengaruhi keputusannya mengevakuasi keluarga. Istrinya yang ber-KTP luar daerah tidak menerima bantuan.
“Istri saya kemarin enggak dapat bantuan karena KTP-nya bukan KTP Takengon. Makanya saya akhirnya milih evakuasi istri sama anak keluar dari sana,” kata Antonio.
Evakuasi dilakukan mandiri tanpa sistem resmi. Dari Lhokseumawe, Antonio berangkat sejak pagi dan mulai berjalan kaki dari titik terakhir yang bisa dilewati kendaraan.
“Jam 10 saya mulai jalan kaki, sampai setengah dua di Desa Buntul, Bener Meriah. Itu belum sampai rumah, masih harus naik ojek,” tuturnya.
Harga ojek melonjak akibat kelangkaan bahan bakar. Harganya Rp75 ribu per liter. Antonio harus bernegosiasi lama sebelum mendapatkan ojek seharga Rp200 ribu untuk perjalanan yang normalnya hanya 30 menit.
“Ada yang minta 400 sampai 500 ribu. Alhamdulillah saya dapat 200 ribu, itu paling murah,” ujarnya.
Antonio menjelaskan, risiko terpeleset dan jatuh ke jurang menjadi ancaman nyata, terutama bagi keluarga yang membawa anak kecil. Hingga kini, jalur darat di wilayah tersebut belum sepenuhnya pulih.
“Memang jalan terjal, saya sendiri saja susah licin. Kaki kita mau nyengkeram tanah itu susah. Sedikit saja kita enggak kuat nyengkeram tanah, kaki kita bisa terpeset ke bawah, sampai ke sungai. Kalau dari Takengon ke Lhokseumawe. Memang jalan itu terbelah jadi jurang mungkin sekitar 200 meter sampai 100 meter,” ungkapnya.

Selama empat hari tinggal di Takengon, Antonio semakin yakin kondisi di daerah tersebut tidak aman bagi keluarganya, terutama anak-anak.
“Yang paling bikin cemas itu makanan. Anak-anak kan rewel. Namanya orang tua, rela enggak makan asal anak makan,” katanya.
Selain makanan, keterbatasan air bersih juga menjadi persoalan. Warga harus mengambil air dari sungai atau danau laut tawar saat listrik padam.
“Waktu itu listrik belum hidup, jadi air kita harus nimba ke sungai. Itu capek banget, effort sehari-hari ngelakuin itu,” ujarnya.
Antonio menilai, solusi utama untuk memulihkan kondisi Takengon adalah percepatan pembukaan akses darat. Menurutnya, mengandalkan bantuan udara saja tidak cukup.
“Cuma, itulah apakah kita perlu bantuan dari luar itu yang jadi isu sekarang. Karena mungkin bantuan dari dalam belum mencukupi seperti alat berat dan lain-lain. Karena memang di jalan ke sana itu titik longsornya banyak. Enggak cuman satu, mungkin ada tujuh, delapan,” katanya.

Layanan Kesehatan
Masih di wilayah Aceh Tengah, tepatnya di Puskesmas Pembantu (Pustu) Pantan Tengah, Rusip Antara, fasilitas Kesehatan sudah tidak dapat digunakan melayani warga terdampak banjir.
Menurut Bidan Desa, Aidawati, atap bangunan ambruk dan rata dengan tanah setelah diterjang banjir dari arah depan. Sebagian peralatan medis juga hanyut ke bagian belakang rumah.
“Kondisi bangunan masih belum dapat dipergunakan akibat terendam lumpur tebal,” ujar Aidawati mengutip medanposonline.com, Senin, 15 Desember 2025
Meski demikian, layanan kesehatan warga terdampak tetap diupayakan. Pelayanan medis sementara dilakukan terbatas untuk pengobatan pascabencana.
"Pelayanan tetap berjalan dengan kondisi seadanya, yang dilaksanakan di posko-posko terdekat, untuk membantu warga yang kena musibah butuh pengobatan,” ujarnya
Ia menekankan perlunya perbaikan fasilitas pustu secepatnya, mengingat masih banyak warga terdampak banjir dan membutuhkan layanan kesehatan.
Dari wilayah Aceh Tengah, Kecamatan Linge, akses darat menuju Kemukiman Wih Dusun Jamat terputus total. Jembatan utama desa hanyut terseret arus deras, membuat warga setempat terisolasi dan bertahan dalam kondisi darurat.

Situasi tersebut disampaikan langsung Ibram Alparizi Linge, seorang anak warga setempat, yang menyuarakan kondisi kampungnya kepada Bupati Aceh Tengah, Haili Yoga.
“Pak Bupati, ini musibah besar. Jembatan sudah dihanyutkan air, belanja kami sudah habis di kampung sana. Listrik mati, sinyal tidak ada. Tolong kami Pak Bupati, kami sudah kacau di kampung ini,” ujar Ibrahim mengutip gayo.tribunews.com.
Putusnya jembatan membuat seluruh akses kendaraan ke desa tidak dapat dilalui. Kondisi ini memperparah situasi warga yang kini kesulitan memperoleh bahan makanan, listrik yang padam dan jaringan komunikasi terputus.
Saat ini, harga beras mencapai Rp400 ribu per karung ukuran sembilan bambu (@2,8 kg per bambu), dengan jumlah sangat terbatas.
Menurut Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB hingga 16 Desember 2025, sejumlah wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat masih sulit dijangkau akibat bencana banjir dan longsor. Akses terbatas ini menghambat distribusi bantuan serta mobilitas warga di daerah terdampak.

Aceh:
1. Kabupaten Bener Meriah: 4 kecamatan, 15 desa
2. Kabupaten Aceh Tengah: 7 kecamatan, 73 desa
3. Kabupaten Gayo Lues: 3 kecamatan, 27 desa
Sumatra Utara:
1. Kabupaten Tapanuli Tengah: 6 kecamatan, 14 desa
2. Kabupaten Tapanuli Utara: 3 kecamatan, 7 desa
Sumatra Barat:
1. Kabupaten Agam: 1 nagari (setara kampung)

Beda Penanganan
Kondisi dan penanganan pascabanjir di Serambi Mekkah, membuat juru bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man) menyampaikan kritik tajam.
Ia menyebut, penanganan tanggap darurat yang dilakukan pemerintah pusat tidak maksimal, terutama dalam penyelamatan dan evakuasi korban.
“Kita mengkhawatirkan itu banyak sekali korban-korban yang sebenarnya sudah tidak bisa kita temukan lagi. Karena dia teralir ke laut maupun tertimbun oleh tumbuhan longsor. Komunikasi antardaerah juga sulit,” kata Kamaruzzaman kepada KBR, Senin, (16/12/2025).
“Jadi, ini kondisi kendala yang memang kita akan membandingkan antara apa yang ada sekarang ini dengan penanganan ketika tsunami,” sambungnya.
Ampon Man juga mengungkap kondisi di lapangan sangat memprihatinkan. Salah satunya di Tamiang. Di sana, para korban bencana minum air keruh.
“Ada orang yang berjalan sampai puluhan kilo, berhari-hari malah untuk mencari makanan.”

Kata dia, proses distribusi makanan yang dilakukan juga sangat minimalis. Ia membandingkan situasi ini dengan penanganan Tsunami Aceh pada Desember 2004.
“Dan ini tidak seperti kita temukan pada saat tsunami dulu. Itu langsung ada drop-in ke gunung-gunung, ke daerah-daerah pedalaman yang terisolasi, semua di-drop-in makanan,” ucapnya.
“Orang tidak melihat lagi apa, melihat lagi siapa, dan apa yang akan dibantu. Tetapi, ini ada penyelamatan nyawa manusia-manusia saja yang menghadapi bencana.”
Ampon Man menambahkan, banyak wilayah kota di Aceh terisolasi dan beberapa daerah seperti Tamiang bahkan seperti kota mati.
“Itu memang lumpuh total itu akibat terputusnya akses jembatan dan jalan,” kata Kamaruzzaman.
Kritik utama berpusat pada ketiadaan status bencana nasional, yang berdampak pada ketidakmampuan pemerintah daerah (pemda) menggerakkan komponen pemerintah pusat seperti BNPB, PLN, dan Pertamina.
"Tidak ada dropping genset, generator untuk ini. Ini agar semua bisa terhubung antara satu kota dan kota yang lain yang terisolasi itu enggak ada, itu enggak mereka lakukan," ungkapnya.

Peran BNPB
Menurutnya, negara ada, tetapi seperti tidak ada untuk Aceh. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) yang memiliki tanggung jawab dalam kesiapsiagaan bencana juga dinilai memiliki peran tidak maksimal.
"Sangat kecil, ya, perannya dalam konteks bencana Aceh kali ini. Karena mereka tidak membantu aktivitas perbaikan jalan, konektivitas, atau jaringan komunikasi,” ujarnya.
Kamaruzzaman menilai, dampak bencana kali ini berbeda, dan bahkan lebih parah dari tsunami pada aspek ekonomi.
Meski korban nyawa tidak sebanyak dulu saat tsunami, namun situasi bencana banjir justru diperparah tidak adanya infrastuktur yang membantu saat situasi kedaruratan.
“Yang bisa kita lakukan hanya, ya, kadang-kadang jalan dengan trail segala macam, ya, atau ada beberapa yang bisa di-drop-in pakai helikopter itu juga akan helikopter terbatas, dan itu, mohon maaf kadang-kadang kita mendengar bahwa ada pembiayaan segala macam," kata dia.
Ironinya, untuk menggunakan fasilitas jalur udara seperti pesawat dan helikopter, diklaim masih perlu mengeluarkan biaya tinggi.
“Saya enggak tahu apakah ada pendanaan khusus kepada, ya, pesawat-pesawat terbang kita untuk terbang setiap hari misalnya men-dropping makanan atau tidak gitu. Ini kita enggak paham, karena banyak sekali memang komponen-komponen pemerintah pusat termasuk Angkatan Udara yang terlibat,” kata Ampon Man.
“Yang kita enggak paham bagaimana, apa yang mereka hadapi, apa yang mereka perlukan misalnya, atau kebutuhan apa yang mereka harus lakukan untuk bisa masifnya bantuan untuk masyarakat, ya,” katanya.

Proses Pemulihan
Akibat bencana ini kerusakan parah terjadi pada bendungan, irigasi, tambak, kebun, dan ratusan ribu sawah terendam lumpur dengan sedimen 1,5 hingga 2 meter.
Jika hanya mengandalkan kemampuan seadanya, Kamaruzzaman memprediksi pemulihan pascabencana di Aceh bisa memakan waktu 30 tahun atau lebih.
Sebab, kerusakan rumah sudah mencapai 157 ribu, melebihi kerusakan rumah saat tsunami, yakni 96 ribuan.
Oleh karena itu, penetapan status bencana nasional sangat dibutuhkan untuk memobilisasi kekuatan negara demi pemulihan jangka panjang.
“Semua komponen daerah Aceh itu menginginkan ada penetapan status itu. Tetapi, yang paling penting buat kita di Aceh sekarang adalah bagaimana ada sebuah command of control, ya pada semua kelembagaan. Itu kan alat-alat strategis, alat-alat strategis yang dikuasai negara adalah BBM, listrik, alat-alat komunikasi, itu kan alat-alat strategis,” pungkasnya.

Bendera Putih
Lebih dari dua pekan setelah bencana, bendera putih berkibar di sejumlah lokasi di Aceh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) menjelaskan, makna pengibaran bendera putih itu.
"Kalau kita artikan semua masuk, menurut kacamata saya ya, sebagai solidarity, rasa simpatisan, dan rasa ingin dibantu," katanya di Aceh Utara, Kamis, 18 Desember 2025, mengutip ANTARA.
Itu disampaikan Mualem menanggapi pertanyaan awak media di sela menerima bantuan dari Kementan di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara.
Sebab, beberapa hari terakhir, bendera putih banyak dikibarkan masyarakat Aceh, terutama di wilayah bencana, semisal Aceh Tamiang dan Bireuen.
Mualem menyebut, bendera putih itu bukan simbol menyerah.
"Yang jelas, bendera putih itu dapat seperti ada untuk perhatian orang lain, baik dalam negeri maupun luar negeri. Saya pikir tidak lebih dari pada itu," imbuhnya.

Dapur Umum Mandiri
Kini, Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Aceh menyuplai kebutuhan bahan memasak untuk 625 dapur umum mandiri di sana. Ratusan dapur itu melayani 224.458 jiwa warga korban bencana di sejumlah kabupaten di Serambi Mekkah.
Mengutip ANTARA, Kamis, 18 Desember 2025, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Sosial, Provinsi Aceh. Chaidir mengatakan, ratusan dapur itu didirikan mandiri oleh masyarakat untuk korban bencana.
Terbanyak ada di Aceh Utara, yang tersebar di 504 titik, dan melayani 173.818 jiwa. Sedangkan di Bener Meriah ada 57 dapur untuk 7.258 warga terdampak bencana. Di Bireuen, ada empat dapur untuk 2.500 jiwa.
Empat dapur umum juga didirikan Dinsos Aceh bekerja sama dengan dinsos yang ada di kabupaten/kota, salah satunya di Aceh Tengah, untuk 3.500 jiwa. Sedangkan dapur umum Kementerian Sosial, ada di 14 titik. Seperti satu dapur di Kabupaten Aceh Tamiang, yang menyediakan 6 ribu porsi per hari.

Korban Jiwa
Per Kamis, 18 Desember 2025, tercatat 1.068 jiwa meninggal akibat bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Selain itu, ada masih ada 190 jiwa hilang, dan 7 ribu orang terluka. Bencana ini berdampak ke 52 kabupaten/kota, dan merusak 147.236 rumah warga. Belum termasuk fasilitas umum dan insfratruktur lain.
Huntara
Sementara itu, penyelenggara negara bakal membangun puluhan ribu hunian sementara (huntara) di tiga provinsi terdampak bencana, yakni Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya penanganan darurat dan pemulihan awal bagi warga.
Mengutip Setkab.go.id, salah satu lokasi huntara itu ada di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Kemarin, Kamis, 18 Desember 2025, Presiden Prabowo meninjau huntara ini.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total ada 44.045 unit huntara yang akan dibangun. Rinciannya, 2.559 unit di Sumatra Barat, 5.158 di Sumatra Utara, dan 36.328 di Aceh. Data kebutuhan huntara ini masih bersifat sementara, dan dapat berubah sesuai situasi di lapangan.
Penyelenggara negara akan terus berkoordinasi lintas kementerian dan daerah guna memastikan pembangunan huntara berjalan maksimal dan bisa segera dimanfaatkan masyarakat terdampak bencana.
Baca juga:






