Article Image

SAGA

Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 3)

"DDT sudah dilarang karena dampaknya berbahaya untuk kesehatan. DDT sulit terurai tetapi mudah larut dalam lemak, bisa terakumulasi melalui rantai makanan"

Papan iklan pestisida dipasang di lahan pertanian bawang di Wanasari, Brebes, Jawa Tengah. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Brebes - Warsuki (53) memelihara ayam dan kambing tepat di samping rumahnya di Desa Sidamulya, Wanasari, Brebes. Beberapa ekor ayam berkeliaran bebas, sedangkan kambing ditempatkan di dalam kandang. Nantinya ayam bakal dijual atau dikonsumsi sendiri.

“Kalau yang gede-gede tahun baru nyampe Rp50-60 (ribu) satu ekor, buat bakar-bakaran, kan banyak orang nyari ayam. Kalau kambing nunggu lebaran haji baru mahal. Kalau hari-hari biasa, biasa aja,” kata Warsuki.

Ayam diberi makan bekatul atau nasi yang dimasak Warsuki. Untuk kambing, ia harus mencari rumput ke kebun atau sawah.

Memelihara ayam atau kambing menjadi penghasilan sampingan banyak petani bawang di Brebes. Lokasi kandangnya berhimpitan dengan rumah, bahkan ada yang jadi satu dengan dapur, seperti yang dilakukan Iin (35), petani bawang Desa Siasem, Wanasari.

“Kadang mau kasih makan, nasinya enggak ada, baru mateng, juga saya, dok. Masak nasinya sekalian banyak buat ayamnya, buat orangnya. Kadang kalau ayamnya udah besar-besar, terus lagi enggak ada kerjaan, kan bisa dijual buat beli apa,” kata Iin.

Hewan-hewan ini berisiko terpapar pestisida melalui makanan, air, hingga kemasan pestisida yang disimpan di rumah.

Warsuki bilang, beberapa kali kejadian ayam-ayamnya mendadak mati.

“Kalau musim flu burung enggak hujan, enggak apa, pokoknya tiba-tiba pada mati. Sore waktu dimasukkin ke kandang enggak apa-apa, tiba-tiba besok paginya eh, udah pada mati, enggak yang kecil, enggak yang besar, pasti ada. Kadang-kadang (gejalanya) ngantuk, tiba-tiba mati," tutur Warsuki.

Kaisih (55), tetangga Warsuki juga baru-baru ini mendapati beberapa ekor ayamnya tiba-tiba mati. Ia membuang bangkainya ke sungai.

“Lagi musim penyakit, udah janggar-janggar, besar-besar, teng nggletak (terkapar) semua, lima ekor, mati. Dibuang kali,” kata Kaisih.

Warsuki, Kaisih, maupun Iin tak resah dengan kematian mendadak unggas atau ternak. Dampaknya ke kesehatan mereka dianggap nihil. Padahal, hewan, manusia, dan lingkungan saling terkait.

Menurut Poniman, peneliti lingkungan yang bermukim di Pati, Jawa Tengah, kejadian-kejadian ternak atau unggas mati mendadak di wilayah pertanian bawang, belum dikaji mendalam.

“Kayaknya enggak ada data-data itu. Tapi kalau misalnya kita mau telusuri ke desa A, paling dia ingatnya 'oh iya, Pak, ono sing (ada yang) mati kambinge Pak A, tahun pinten (berapa)? mungkin 4-5 tahun yang lalu. Tapi kasus-kasus itu setiap tahun muncul, cuma bisa di desa A, kecamatan B, tapi mungkin tahun ini bisa di desa A, kecamatan C, tapi masih sering,” kata Poniman.

Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 1)

Warsuki dan cucunya melihat-lihat kandang unggas dan ternak di samping rumah. Banyak kasus kematian hewan mendadak, tetapi dianggap hal biasa. (Foto: KBR/Ninik).

Zat berbahaya, DDT

Petani perempuan kian rentan terdampak kesehatannya, karena intensif terlibat mengurus unggas atau ternak di rumah. Risiko itu bisa berlipat ketika lingkungan sekitar juga terpapar pestisida terlarang.

Poniman dalam risetnya untuk tesis di Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro 2021, menemukan residu pestisida endosulfan dan DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) dalam kadar tinggi. Dua pestisida ini masuk golongan organoklorin yang berbahaya. DDT sudah dilarang di Indonesia sejak 2009, sedangkan endosulfan pada 2013.

“Di lokasi penelitian yang kita pilih, (kadar zat terlarang) tinggi semuanya. Saya enggak kaget, karena di Brebes, kita justifikasi mulai 1994, itu sudah ada monitoring-monitoring dan angkanya memang sudah tinggi. Jadi dengan angka itu, sebetulnya saya enggak kaget, dan itu dapat dipastikan,” jelas Poniman.

DDT populer di era Revolusi Hijau sekitar 1960-an hingga 1980-an, karena efektif untuk pengendalian hama tanaman. Namun, kemudian penggunaannya dilarang karena berbahaya bagi lingkungan.

Pestisida organoklorin seperti DDT butuh tahunan untuk bisa terurai. Mayoritas riset yang ada, termasuk yang disebut pada bagian sebelumnya adalah tentang dampak pestisida golongan organofosfat.

“Karena organoklorin, waktu paruhnya paling lama, sedang organofosfat, peretroid, itu waktu paruhnya lebih pendek, hitungannya jam-hari. Tapi kalau organoklorin itu hari tidak ada, yang ada adalah tahun. Ada yang mulai paling pendek itu 8 (tahun) dan ada yang paling panjang menjadi 114 tahun,” imbuhnya.

DDT sifatnya persisten, stabil, bertahan sangat lama di dalam tanah, mudah larut dalam lemak, serta bisa terakumulasi dan termagnifikasi melalui rantai makanan.

Poniman menguji sampel tanah di 40-an titik di lahan pertanian Wanasari, dengan total luas sekitar 300 hektare.

“Mungkin hampir 100 persen titik itu dulunya menggunakan DDT. Kemudian menggunakan endrin, endosulfan, bahkan waktu itu masih kita temukan merk endosulfan, wadahnya,” tutur Poniman.

Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 2)

Peneliti lingkungan, Poniman, menemukan lahan pertanian bawang di Brebes mengandung residu pestisida berbahaya, DDT dan endosulfan. (Foto: KBR/Ninik).

Studi lain oleh Dwi Cahyaningrum, alumni Magister Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, pada 2010-an, juga menemukan kandungan DDT di air susu ibu warga Brebes. Mereka yang diteliti terlibat intensif dalam kegiatan pertanian bawang.

Paparan jangka panjang organoklorin seperti DDT dapat meningkatkan risiko gangguan payudara, jantung, kanker prostat, dan leher rahim. Sedangkan paparan pada bayi sebelum lahir dapat menyebabkan kelahiran premature, abortus spontan, dan mengganggu sistem syaraf pusat.

Juwari, petani bawang di Sidamulya, Wanasari, ingat ayahnya dulu pernah memakai DDT sebelum ada larangan. Petani berusia 56 tahun ini, sempat melihat DDT disimpan di rumah.

“Karena saya mengetahui, bentuknya, fisiknya saya tahu pernah, waktu kecil, (lihatnya) di rumah. Bentuknya tepung, serbuk. Bapak saya makai, waktu saya kecil itu, saya masih sekolah, 'oh DDT itu kayak gitu, (dulu) enggak tahu,” kata Juwari.

Juwari sudah lama paham bahaya pestisida DDT. Ia salah satu dari sedikit petani bawang Brebes yang teredukasi tentang budidaya pertanian berkelanjutan.

“Itu sangat berbahaya sekali kalau DDT, karena dulu itu, ternak kambing, yang makan jerami bekas, kedelai bekas yang disemprot (DDT) itu, walaupun sudah seminggu, itu kena keracunan. Kemudian, kalau di ayam, misalnya ayam, makan tanaman atau biji-biji yang kena DDT, dan ayamnya dimakan manusia, manusia masih kena racun,” jelas Juwari.

Ia pernah berinisiatif menerapkan pertanian organik, tanpa pestisida maupun pupuk kimia, dengan mengaplikasikan pestisida nabati. Hasilnya, merugi karena bawangnya habis dimakan hama yang bermigrasi dari lahan sekitar. Modal ratusan juta pun melayang. Akhirnya, ia terpaksa ikut menggunakan pestisida kimia.

“Daripada saya hancur, gagal, modalnya hilang, maka saya ikutin, mau enggak mau. Dilematis. Karena hanya saya, tetangganya enggak, ya akhirnya (hama) ngumpulnya di saya, harusnya kompak, satu hamparan ini semuanya melakukan, tapi kan sulit untuk menggerakkan petani kayak gitu,” ucap Juwari.

Juwari tetap berhati-hati saat memilih dan menggunakan pestisida kimia, karena dampaknya juga bisa membahayakan dirinya dan keluarga.

“Kalau enggak ada hama, ya enggak disemprot. Petani lain (bawangnya) disemprot, jaga-jaga saja, kalau saya enggak. Diamati dulu, misalnya, banyak sekali ini, baru nyemprot (bawang). Ya (saya) khawatir. Itu jelas-jelas racun kok. Makanya sekarang saya jarang minum di air sumur, minumnya air PDAM pasti, mau masak, mau minum. Sumur hanya untuk mencuci,” tutur Juwari.

Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber

Sejumlah kuitansi pembelian pestisida yang dikumpulkan Iin (35), petani Wanasari, Brebes. Perempuan hampir tidak pernah dilibatkan dalam pemilihan pestisida, karena itu peran laki-laki. (Foto: KBR/Ninik).

Sulit menemukan petani seperti Juwari di Brebes. Kebutuhan pestisida yang manjur begitu tinggi sehingga marak pemalsuan. Praktik mencampur atau mengoplos beragam pestisida juga dianggap biasa. Situasi tersebut berpeluang menyuburkan pasar gelap pestisida ilegal. Di pasar ini, pestisida jenis organoklorin, seperti DDT, rentan diperjualbelikan.

Menurut Poniman, kandungan DDT yang di Brebes bisa saja residu dari era sebelum larangan, atau penggunaan baru.

“Kalau petaninya sendiri, dia enggak ngerti, bahwa itu termasuk black market atau tidak. Tahunya, pestisida ini tokcer. Dari kata-kata tokcer itulah yang petani mau membeli. Apakah itu kandungane A atau kandungane B, enggak ngerti, dia yang ngerti, begitu disemprot, tek sek, mati. Dari tek sek mati itu biasanya memang dari golongan organoklorin,” terang Poniman.

DDT bahkan mudah ditemukan di lokapasar (e-commerce).

Muhtar, Kabid Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Brebes kaget begitu mengetikkan kata kunci DDT di salah satu aplikasi lokapasar. Banyak toko dari berbagai daerah yang menjual DDT seharga puluhan ribu rupiah saja.

“Ini banyak sekali, malah murah-murah,” celetuknya.

Muhtar tak menampik peluang munculnya pasar gelap pestisida ilegal dan berbahaya. Namun, ia menyerahkan penelusurannya ke aparat penegak hukum.

Muhtar mengeklaim Dinkes rutin melakukan pengawasan peredaran pestisida di toko-toko pertanian Brebes.

“Toko-toko itu kita datangi, kita bina, suruh sediakan air bersih, tempat cuci tangan, tidak boleh campur dengan makanan itu jualannya. Terus pemeriksaan bagaimana, itu kan di Permenkes (peraturan menteri kesehatan) dan Pertan (peraturan menteri pertanian), tidak boleh (pestisida) dijual eceran, tapi nyatanya diecerkan, 100 ml, 100 ml. Kalau masih pakai kemasan boleh, tapi yang sudah diecer-ecer itu enggak boleh," ucap Muhtar.

Muhtar mengakui banyak tantangan dihadapi dalam pengawasan. Pemilik toko kerap tidak kooperatif saat didatangi petugas puskemas.

“Kalau kita datang, cuma mau meninjau, ya dibiarin, kan ada formulir yang harus diisi, wah diganyami (dimarahi), lagi sibuk, lagi sepi. Tapi akhirnya petugas-petugas puskesmas, karena harus tetap mengisi laporan, berusaha untuk datang ke situ, tidak begitu banyak ba-bi-bu, nyatet-nyatet aja. Iya pengusaha itu resistensi sekali,” jelasnya.

Baca juga: SEKA Pontianak: Semai Kerukunan, Lestarikan Lingkungan

Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Brebes, Muhtar, meneliti dampak pestisida terhadap cedera hati. Penelitiannya juga menunjukkan daun kelor bisa digunakan untuk mencegah dampak paparan pestisida. (Foto: KBR/Ninik).

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Brebes, Yulia Hendrawati berjanji bakal mengecek soal temuan kandungan DDT di lahan pertanian Brebes.

Menurutnya, hal terkait peredaran pestisida ilegal menjadi wewenang aparat hukum.

“Kalau memang iya (ada DDT) nanti itu menjadi masukan buat kita, untuk teman-teman di lapangan lebih mengingatkan lagi pada petaninya. Tapi kalau yang kami tahu, itu (DDT) sudah enggak ada. Coba nanti kita ikut ngecek. Kalau sampai ada seperti itu, aparat penegak hukum. Karena kalau itu tidak ada izinnya, jelas salah. Kalau ada izinnya berarti yang memberikan izin harus ditelisik. Karena itu (DDT) memang sudah dilarang,” tutur Yulia.

Yulia mengeklaim, jajarannya rutin mengedukasi petani agar menjauhi pestisida palsu. Ia menekankan, dampaknya bisa membahayakan diri, keluarga, dan lingkungan sekitar.

“Ya kita sampaikan, itu enggak boleh, itu ilegal, justru yang ngoplos itu harus diedukasi bahwa itu enggak benar. Karena dampak kimia itu macam-macam, bisa juga itu berdampak (ke) kesehatannya sendiri, keluargalah, karena mereka itu kan menyimpan di rumah,"

"Makanya, stunting itu kan diawali dari kandungan, kalau istrinya lagi mengandung, itu ngoplos di rumah, nyimpannya di dapur, di sini nyuci piring, masak, wes, ngocaki (mencuci) embernya di tempat cuci piring, bahaya,” imbuh Yulia. 

Di rumah tangga petani bawang, perempuan tidak punya kuasa dalam pemilihan pestisida. Pembagian peran yang tegas antara laki-laki dan perempuan masih menjadi tradisi. Kaisih (55), misalnya, menyerahkan urusan pestisida ke putranya. Kaisih beralasan dirinya buta huruf.

"Orang ibu enggak bisa maca, enggak bisa baca sama sekali, buta huruf. Saya cuma bantu-bantu doang, saya yang megang, yang ngerjain tiap hari sampai panen, obate (pestisida) enggak ngerti, itu anak saya," kata Kaisih.

Tak jauh berbeda dengan Iin (35). Ia hanya bertugas berbelanja pestisida yang akan digunakan di sawah atas arahan suami.

“Biasa saya yang beli, suami saya tinggal bilang, nanti ada 3-4 jenis, saya tulis nanti saya beli sendiri di toko obatnya. Nanti dicatetin sih,” tutur Iin.

Petani perempuan minim pengetahuan tentang kandungan pestisida maupun dampak paparannya. Padahal mereka kelompok berisiko tinggi karena berpotensi kontak erat dengan bermacam pestisida, termasuk zat berbahaya seperti DDT.

Baca juga: Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan

Tangkapan layar DDT di lokapasar. Padahal, DDT sudah dilarang karena terbukti berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. (Foto: KBR/Ninik).

Remediasi lahan

Kepala Dinas Pertanian Brebes Yulia Hendrawati menuturkan jajarannya bakal gencar mengenalkan pestisida hayati guna mengerem pemakaian pestisida kimia. Upaya ini beriringan dengan kerja sama multipihak untuk menekan peredaran pestisida palsu.

Di 2024, program penyehatan lahan pertanian juga akan dimulai. Tujuannya agar residu pestisida golongan apapun, termasuk jika ditemukan kandungan DDT, di dalam tanah bisa terurai. Harapannya, lahan di Brebes lebih sehat, hasil panen berkualitas, dan risiko terhadap kesehatan petani bisa diminimalkan.

“Tahun ini, kita pemetaan, kita ambil sampel dari masing-masing titik, itu berlaku untuk luasan berapa, nanti perlakuannya seperti apa. Ini tahun pertama, nanti kita pengambilan sampel lapangan, nanti muncul rekomendasi. Nah, rekomendasi itu yang akan kita lakukan di tahun kedua. Karena ini pengembalian yang sudah puluhan tahun, itu enggak bisa selesai 1-2 tahun. Kalau mau clear ya puluhan tahun, tapi kita enggak nyari clear-lah, nyari normal saja,” ujar Yulia.

Menurut Poniman, idealnya sawah di Brebes tidak ditanami selama beberapa tahun, untuk menyehatkan kembali fungsi lahan. Ia menduga migrasi petani bawang Brebes ke daerah lain, dipicu tanah yang tak lagi subur karena terlalu banyak aplikasi pestisida.

“Jangka pendek yang bisa dilakukan petani, tidak ditanami sekian tahun, artinya apa? itu dia akan terakumulasi cukup di situ-situ saja tidak terbawa oleh produk. Tanah-tanah di Brebes memang sekarang dalam kondisi memprihatinkan, miskin unsur hara,” kata Poniman.

Poniman bilang, pemerintah perlu mencari strategi dan terobosan untuk meminimalkan dampak pestisida.

"Bagaimana menciptakan residu pestisida di dalam lahan sekecil mungkin, tidak bermigrasi atau pindah ke lain tempat, tidak terserap oleh akar tanaman, yang akan terbawa dalam produk tanaman ataupun bahan makanan kita yang kita konsumsi," ujar Poniman.

Baca juga: Gerak Kolaboratif Cegah Rotan Manau di Jambi Punah

Wadah bekas obat pembasmi rumput (herbisida) dibuang sembarangan di lahan Wanasari, Brebes. Tingginya kebutuhan obat-obatan pembasmi hama memicu peredaran pestisida palsu di Brebes. (Foto: KBR/Ninik).

Urgensi “One Health”

Berbagai kalangan mengakui perlu pendekatan komprehensif untuk memitigasi dampak paparan pestisida berbahaya seperti DDT maupun pestisida jenis lainnya. Pendekatan itu dikenal dengan one health yang mensyaratkan kolaborasi lintas sektor, tak cuma kesehatan, tetapi juga pertanian, lingkungan, dan peternakan.

Namun, di Brebes, pendekatan one health tak jadi prioritas. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Brebes, Ineke Tri Sulistyowaty, belum semua sektor paham tentang urgensi pendekatan one health untuk memitigasi paparan pestisida.

“Saya mengakui, memang masih kurang, lintas sektor di Brebes ini. Jadi perlu lebih ditingkatkan lagi upaya mencegah, mengantisipasi terjadinya penyakit yang mungkin dari faktor lingkungan maupun hewan,” kata Ineke.

Tak ada program khusus lintas sektor untuk penanggulangan maupun pencegahan dampak pestisida. Bahkan, tes darah yang pernah rutin dilakukan terhadap petani bawang, terpaksa disetop, karena minim anggaran. Selain itu, bahaya pestisida juga belum mendapat perhatian serius dari Kementerian Kesehatan.

“Ya belum jadi fokus. Mestinya kalau iya, Brebes menjadi masalah ya ada perhatian juga. Misalnya kita juga di-push atau bagaimana, ini persoalan pestisida Brebes, ini saya merasakan kok belum,” tutur dia.

Ineke bilang, edukasi dan kampanye tentang one health harus digencarkan. Para peneliti dan akademisi diajak berkolaborasi.

“Mungkin setiap kali ada penelitian terkait dengan paparan pestisida juga harus secara masif dikomunikasikan, disosialisasikan, agar ini juga mengingatkan kita. Karena memang harus bareng-bareng untuk pendekatan one health,” pungkas Ineke.

*Artikel ini diperbarui pada 12 Juli 2024 dengan memasukkan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Brebes

Penulis: Ninik Yuniati