Article Image

SAGA

SEKA Pontianak: Semai Kerukunan, Lestarikan Lingkungan

"Kalimantan Barat menyimpan sejarah kelam konflik antar-etnis Sanggau Ledo. Octavia Shinta menginisiasi wadah kerukunan lewat aksi lingkungan."

Anggota Sahabat Eco Bhinneka (SEKA) Pontianak berkumpul di rumah sang inisiator, Octavia Shinta, di Pontianak, Kalbar. (Foto: KBR/Iriene).

KBR, Pontianak - Masih segar di ingatan Octavia Shinta Aryani kengerian peristiwa berdarah Sanggau Ledo di Bengkayang, Kalimantan Barat.

Kerusuhan antaretnis Dayak dan Madura pada Desember 1996 hingga Januari 1997 itu, menewaskan ratusan jiwa.

Tragedi kemanusiaan yang demikian membekas di benak Shinta remaja. Kala itu, ia masih duduk di bangku SMA.

”Diberlakukan jam malam. Jam 9 malam nggak boleh keluar. Kita merasa sedih, hancur, kacau. Jam malam tuh, sirene, apalagi rumah saya dulu di depan PCC (Pontianak Convention Center), lewat GOR yang dijadikan pengungsian,” kenang Shinta.

Situasi kian mencekam, banyak kegiatan dibatalkan karena alasan keamanan. Shinta pun mesti rela impiannya kandas.

“Saya sempat ditunjuk Ibu (istri) Gubernur Aspar Aswin untuk menjadi Puteri Indonesia mewakili Kalimantan Barat. Terus kejadian konflik itu ya nggak jadi. Sementara saya berasal dari latar belakang keluarga yang sederhana. Bapak saya penjual kopi, ibu saya penjual makanan. Untuk bisa ke taraf nasional itu kan susah banget,” kata Shinta.

Baca juga: Inspirasi Keberagaman dari Pulau Flores

Octavia Shinta Aryani, menginisiasi Sahabat Eco Bhinneka, sebagai wadah anak-anak muda dari beragam latar belakang untuk melakukan aksi nyata peduli lingkungan. (Foto: KBR/Iriene)

Shinta tak berkecil hati. Ia tetap aktif berorganisasi saat kuliah pendidikan guru di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Perempuan kelahiran 10 Oktober 1980 ini juga lama berkecimpung di Muhammadiyah.

Ingatan tentang tragedi berdarah Sanggau Ledo selalu mengusik batinnya. Ia harus berbuat sesuatu.

“Sebenarnya orang-orang yang menciptakan chaos itu karena (masalah) pendidikan juga. Inilah yang menjadikan saya kuliah di FKIP (Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Pengin mendidik aja. Apalagi zaman dulu tingkat pelajar di Kalbar ini dari 27 provinsi pasti urutan 26. Sedih kan. Ini ada apa?” tanya Shinta.

Ia ingin Kalbar yang dihuni beragam kelompok bisa hidup rukun. Jangan sampai konflik berbasis SARA kembali mengemuka, tapi, harus mulai dari mana? pikir Shinta.

“Kita nggak bisa mengawal kerukunan di tengah daerah yang punya sejarah kelam. Kan harus dikemas, dengan apa? Artinya nggak bisa dong saya ngumpulin kawan-kawan terus niatnya mau ngapain? Yuk kita aksi, merawat lingkungan,” ujar Shinta yang menjadi guru sejak 2003. 

Masalah lingkungan relevan sebagai titik pijak karena dialami semua warga Pontianak.

“Pontianak punya masalah tahunan kabut asap dan banjir. Itu nggak mandang suku, agama, ras, komunitas. Semuanya terdampak. Sebenarnya, alam ini bisa tanpa kita. Kita yang nggak bisa tanpa alam,” tutur guru lulusan S2 ini. 

Baca juga: Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah di Kota Mataram

Octavia Shinta juga mengajarkan praktik ramah lingkungan ke anak-anak didiknya di SD Muhammadiyah 2 Pontianak. (Foto: dok blog Octavia Shinta)

Asa Shinta mendapat karpet merah di Muhammadiyah melalui program Eco Bhinneka. Tujuannya merangkul warga lintas iman untuk melakukan aksi nyata demi pelestarian lingkungan.

“Di dalam diri kita sudah ada bakat toleransi yang diturunkan oleh Tuhan. Biasanya kalau sama yang seiman malah main terjang, tapi kalau kita beda iman, paling tidak, ada batasan yang bisa kita rasakan. Kita pasti menjaga nama baik agama masing-masing. Ide membangun kelompok lintas iman ini artinya syiar besar yang bisa dilihatkan ke Kalbar yang punya tragedi masa lalu yang kelam,” ucap Shinta yang aktif berorganisasi di Nasyiatul Aisyiyah Kalbar.

Shinta lantas menginisiasi Sahabat Eco Bhinneka atau disingkat SEKA, yang fokus menyasar anak-anak muda lintas iman. Ia rajin blusukan ke pemuka-pemuka agama untuk mengajak kolaborasi.

“Ada dari Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Keuskupan Agung, termasuk dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga. Kami paparkan maksud dan tujuan kami, disambut baik sama beliau semua. Awalnya keringat dingin saya karena yang dihadapi tokoh-tokoh agama tingkat wilayah. Kita pakai diplomasi kuliner, makan-makan jadi lebih renyah, mudah cair,” ungkap Shinta sembari tertawa. 

SEKA resmi terbentuk pada 22 Juli 2022. Setahun berselang, komunitas yang bergabung pun kian bertambah, dengan latar belakang yang lebih beragam. Dari awalnya 25, berkembang menjadi 31 kelompok.

“Ada emak-emak dari Komunitas Perempuan Melayu, bukan hanya lintas iman, kita juga lintas suku dan lintas komunitas, lingkungan ada Earth Hour, Suara Asa Khatulistiwa itu komunitas keberagaman juga ya. Ada Bank Sampah Rosella juga,” ujar ibu empat anak ini.

Baca juga: Ring the Bell, Pendidikan Inklusif untuk Anak-Anak Tunanetra!

Bibit tanaman diserahkan ke tiap rumah ibadah yang disambangi Sahabat Eco Bhinneka dalam kegiatan sepeda santai. (Foto: dok SEKA Pontianak).

SEKA Pontianak, rutin berkegiatan, menyemai kerukunan demi menjaga lingkungan. Florensia Dasilva Nince menyebut salah satu event yang sudah digelar adalah cycling to religious sites.

“Bersepeda santai ke rumah-rumah ibadah. Di situ kita membagikan bibit tanaman. Puji Tuhan juga hingga sekarang semua rumah ibadah yang kita berikan bibit tanaman dari tahun lalu, masih ada bibit tanamannya, berkembang, sudah tumbuh,” kata Nince.

Nince adalah anggota SEKA yang beragama Katolik. Menurutnya, kesamaan visi tentang lingkungan juga memupuk semangat kerukunan lintas iman.

“Bahkan sekarang bukan sekadar jadi teman beda agama doang. Tambah lagi kita tuh saling mengerti. Jadi, ketika kita mau kumpul jam 3, ya udah, setelah Ashar aja baru kumpul. Atau pas free Sabtu-Minggu, ‘oh kami sembahyang’, jadi Sabtu aja. Kalau makanan, misal agama Hindu kita siapkan makanan yang tidak kesinggungan sama mereka. Jadi kita makan, mereka juga makan,” imbuh Nince.

Baca juga: Kampung Islam Pegayaman, Bukan Minoritas di Pulau Dewata

Florensia Dasilva Nince, pemudi Katolik yang aktif di SEKA Pontianak. (Foto: KBR/Iriene).

Sebagai guru, Shinta juga gencar mengedukasi anak didiknya di SD Muhammadiyah 2 Pontianak. Ia adalah salah satu guru penggerak angkatan pertama.

“Kita membuat edaran kepada siswa, orang tua murid, untuk membawa bekal, tumbler, wadah sendiri, jadi less plastik,” ujar Shinta.

Praktik ramah lingkungan ini sudah dimulai pada Juli 2023, meski diwarnai pro-kontra.

“Pro-kontra bukan dari anak-anak malah orang dewasa, rekan sejawat, wali murid. Karena orang tua mau praktis. Orang tua yang kerja malas bawain anaknya tempat bekal, telepon Gojek, tinggal kirim. Tapi, sudah banyak yang menerima inisiatif baik. Targetnya nggak muluk-muluk, bertahap, paling tidak anak kelas 1 dan 2 sudah mulai teratur,” imbuhnya.

“Nggak peduli orang mau ngomong apa, nggak peduli aksi (masih) kecil. Kita baru bisa mengubah (yang) kecil. Paling nggak Tuhan sudah catat kebaikan kita,” Shinta menekankan.

Shinta berharap langkah-langkah kecil yang dimulainya bisa berdampak besar pada kerukunan dan lingkungan.

“Mimpi kembalinya hutan yang ada di Kalimantan Barat, terus Pontianak tidak banjir. Bisa merasakan, melihat lagi, ada burung, kupu-kupu yang nanti cucu saya nengok. Memimpikan sekolah yang lapangannya itu tanah, rumput, bukan paving block. Memimpikan rumah ibadah, masjid yang halamannya bukan semen," pungkas Shinta.

Atas dedikasinya, Shinta terpilih menjadi salah satu tokoh penggerak perubahan dalam program Spiritual Inspired Changemaking Initiative (SICI), yang diselenggarakan Ashoka dan Eco Bhinneka.

Program ini mengajak para tokoh dari berbagai komunitas kepercayaan dan masyarakat adat, untuk berkolaborasi memperkuat komitmen terhadap pelestarian lingkungan.

Penulis: Iriene

Editor: Ninik