Article Image

SAGA

Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 2)

"Perempuan usia subur yang terpapar pestisida intensif berpotensi terganggu kehamilannya. Ada risiko anak-anak bakal mengalami stunting"

Buruh tani bawang harus bekerja enam jam berkubang dalam lumpur yang terkontaminasi pestisida. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Brebes - Dengan perut besar, Iin Purwati masih ke sawah hampir saban hari. Menggarap lahan sewaan atau menjadi buruh di lahan bawang orang di daerah Wanasari, Brebes, Jawa Tengah. Usia kandungannya sudah lima bulan.

Iin lebih tenang karena ini kehamilan kedua. Toh, saat mengandung putri pertama, ia juga melakukan hal yang sama, pikirnya.

“Malah dua hari mau lahiran, masih (ke) sawah, ngama (cabut hama), cuma kan biasa tiap hari ke sawah, pas itu hari Sabtu ke sawah ya, malam Seninnya, bayinya keluar. Ke sawah ya naik motor sendiri, biasa bolak-balik,” kata Iin.

Ia juga rutin ke posyandu tiap bulan.

“Katanya bayinya sehat, 'Mbak nih, didengerin ya', dipakein, yang denyutnya denger. Malah, masih (ke) sawah, bidannya juga kaget, 'kok masih (ke) sawah sih?', enggak apa-apa, biasa. Ya (bidan) kasih saran, jangan capek-capek,” katanya menirukan.

Di kesehariannya, perempuan 35 tahun ini intensif kontak dengan pestisida kimia. Pagi hingga siang, Iin di sawah mencabuti rumput dan hama di tanaman bawang yang sudah disemprot pestisida. 

Sesampai di rumah, ia membersihkan bawang hasil panen untuk dijual, tanpa pakai sarung tangan. Sebagian bawang dijadikan bibit dengan cara digantung di atas dapur dan ruang tamu.

Lulusan SD kelahiran Tegal ini tahu pestisida itu racun dan berbahaya. Namun, kekhawatiran itu belum cukup membuatnya mengubah pola hidup. 

Terlebih, ia merasa tak pernah sakit parah. Anak pertamanya yang berusia 7 tahun juga tampak sehat. Bocah itu bahkan kerap diajak ke sawah.

“Waktu (anak) umur dua tahun dibawa ke sawah, main di sawah. Malah mandi di selokan, disuruh di gubuk yang enggak panas, enggak mau. Sampai sekarang, masih biasa ikut ke sawah, alhamdulillah enggak pernah sakit. Mungkin kasihan, orang enggak punya sih, jadi enggak dikasih sakit. Mintanya sehat terus,” harap Iin.

Iin diberi tahu bidan di posyandu, bahwa berat badan anaknya termasuk kurang. Namun, ia mengeklaim, putrinya itu lebih sehat ketimbang anak-anak sebaya. Mayoritas tetangga Iin juga petani bawang.

“Sekarang kayaknya agak kurus sedikit, soalnya sering main, makannya jarang, terus ditinggal di sawah, enggak ada yang nyuapin makan. Kalau anak saya ini, paling besar malah di sini. Teman-teman yang seumuran dia tuh kayak kecil-kecil lagi malah,” ucap Iin.

Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 1)

Iin (kanan), saat beristirahat bersama tetangganya sesama buruh tani. Iin tetap bekerja meski tengah hamil. (Foto: KBR/Ninik)

Kebiasaan mengajak anak ke lahan bawang juga dilakukan Kaisih (55), petani Desa Sidamulya, Wanasari. Anaknya empat, tiga laki-laki dan seorang perempuan. Kaisih paling ingat kejadian anak pertamanya tercebur di selokan lahan bawang.

“Anak yang pembarep itu kejebur. Waktu masih kecil, saya baru mulai ngebon (sawah), bikin gubuk di sawah, pakai ayunan, (anak) bangun enggak kelihatan, kejebur. Saya naik di atas bawang, diinjek-injek, langsung cemol kepalanya, angger terlambat mati, gimana,” Kaisih tertawa sembari bercerita.

Meski mengaku jarang sakit selama 30 tahun lebih bertani bawang, Kaisih pernah dua kali keguguran. 

“Saya juga kalau hidup, enam anaknya, keguguran saya dua," ujar Kaisih.

Warsuki, yang rumahnya bersebelahan dengan Kaisih, pun mengaku sehat. Perempuan 53 tahun ini menyebut asam urat dan kutu air paling sering muncul selepas kerja di sawah. Ia ke bidan atau dokter, minum obat, sembuh, kemudian bekerja kembali.

“Katanya enggak boleh ke selokan dulu, tapi mau gimana lagi, wong kerjaannya di selokan. Kalau enggak nyemplung, yang nyemplung siapa? Sering (asam urat), musim bawang itu ya sering sakit, kan nyemplung terus. Kalau enggak nyemplung ya enggak sakit, ya sebulan sekali apa dua kali,” kata Warsuki.

Suami Warsuki juga buruh tani yang bertugas menyemprotkan pestisida ke tanaman bawang. Ia biasa mencampur dan mengaduk pestisida sebelum disemprotkan. Tangkinya pun kadang dibawa pulang.

“Kadang-kadang kalau tangkinya yang buat ngobat (semprot), kadang ngecharge di sini, di-charge kayak hp,” jelasnya.

Warsuki punya tiga anak, yang kedua terlahir cacat, tuli dan bisu, serta punya gangguan penglihatan.

“Semenjak umur 4-5 tahun, ngerti-ngerti (tahu-tahu) ini anak dipanggil enggak nyaut, matanya memang dari lahir begitu. Periksa pernah, ini dari lahir, kata dokter. Ya sedih namanya orang punya anak gitu, tapi dipikir-pikir mau gimana lagi, Tuhan ngasihnya begitu,"

"Pernah, ada habib-habib gitu yang di lapangan, kata orang, dibawa ke sana, lha udah beberapa orang, begitu-begitu aja, ya udahlah, biarin aja, pasrah aja,” tutur Warsuki. 

Baca juga: Demi Eliminasi Kanker Serviks 2030

Iklan-iklan pestisida banyak ditemui di sepanjang jalan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, termasuk di toko pertanian. (Foto: KBR/Ninik)

Gondok hingga stunting

Menuding pestisida sebagai penyebab kasus-kasus kesehatan petani bawang memang sulit dibuktikan. Pasalnya, banyak faktor yang memengaruhi. Namun, riset tentang bahaya paparan pestisida terhadap kesehatan sudah tak berbilang.

Suhartono, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, meneliti dampak paparan pestisida di Brebes sejak 2009. Ia menemukan kasus gondok banyak dialami anak dan perempuan di wilayah pertanian bawang. Gondok terjadi karena fungsi hormon tiroid terganggu, biasanya akibat asupan yodium kurang.

“Hormon tiroid sangat diperlukan tubuh manusia untuk proses metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan. Jadi seorang anak yang tadinya mungkin berat badannya hanya 3 kg, kemudian bisa tambah, kecerdasan juga meningkat, itu salah satunya peran dari hormon tiroid,” jelas Suhartono.

Mulanya, ia heran dataran rendah seperti Brebes, tapi banyak temuan kasus gondok. Asupan yodium biasanya jadi masalah di dataran tinggi.

“Yodium yang ada di air atau tanah di dataran tertinggi itu terkikis oleh aliran air tanah ke bawah. Terkikis sehingga yang tertinggal di atas sedikit, itu yang kita sebut sebagai daerah endemik gondok, daerah dataran tinggi. Karena asupan yodiumnya kurang,” terangnya.

Dan benar saja, setelah dites, kadar yodium warga Brebes, cukup. Kecurigaannya lantas mengarah pada penggunaan pestisida. Agar kesimpulannya akurat, ia membandingkan daerah pertanian padi dengan bawang.

“Di daerah pertanian bawang merah, petani menyemprot (pestisida) 3-4 kali per minggu. Sementara di daerah pertanian padi, pestisida digunakan juga tapi hanya nyemprotnya satu kali per bulan bahkan. Jadi sangat jarang,” ucap Suhartono.

Hasilnya, gangguan tiroid lebih banyak dialami anak dan perempuan di wilayah pertanian bawang. Jika ini terjadi pada perempuan hamil, maka tumbuh kembang janinnya berpotensi terganggu.

“Bisa juga terpaparnya mulai dari ketika kehamilan, di dalam kandungan mungkin sudah mengalami masalah. Bahkan ketika dia masih bayi, diajak ke lahan pertanian ibunya, ada risiko terpapar juga anak-anak itu,” tutur dia.

Anak-anak yang intens terpapar pestisida berisiko mengalami stunting.

“Kalau terpapar oleh bahan toksik, entah pestisida atau timbal, itu dinding mukosa, saluran cerna, menjadi tebal. Ini menyebabkan makanan yang masuk menjadi melorot, enggak diserap optimal. Kalau selama ini pemerintah mengatasi masalah stunting hanya dengan PMT (Pemberian Makanan Tambahan), tapi lingkungannya enggak diperbaiki, anak-anak itu saluran cernanya terganggu, sehingga diberikan makanan apapun dia melorot, penyerapannya enggak optimal,” tutur Suhartono.

Angka stunting di Brebes masih tinggi, yakni 29,1 persen pada 2022 atau di atas rata-rata nasional yang mencapai 21,6 persen. 

Menurut Suhartono, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) guna menekan stunting, mesti dibarengi dengan pengendalian paparan pestisida.

“Kalau bisa para petani dan yang terlibat dalam pertanian itu menggunakan alat pelindung diri yang baik sebagai upaya preventif. Perilakunya diubah, misalnya, cuci tangan (dulu), jangan langsung makan. Kalau punya anak, jangan langsung menyentuh anaknya tapi mandi dulu. Atau ada antioksidan untuk mengurangi dampak toksik. Kurangi penggunaan pestisida di daerah pertanian,” ujar dia.

Baca juga: Mending Belanja Bahan Pokok Ketimbang Buat Beli Rokok

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Suhartono. (Foto: dok pribadi)

Dilema

Menekan penggunaan pestisida kimia di pertanian bawang Brebes adalah perkara sulit, kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Brebes Yulia Hendrawati. Sebab, bertani bawang butuh modal besar, sedangkan harganya fluktuatif.

“Budidaya padi ya antara Rp10-15 juta per hektare. Ketika kita berbudidaya bawang merah, itu antara Rp120-150 juta per hektare. Itu buat petani sudah dana yang luar biasa. Kalau sampai rugi, enggak panen, gara-gara hama, kan mereka enggak mau itu. Sehingga mereka menggunakanlah pestisida, yang kadang-kadang karena ketakutannya itu, tidak berukuran," kata Yulia.

Pemerintah serba salah. Sulit melarang petani menggunakan pestisida kimia, karena panen anjlok taruhannya. Sementara, sepertiga warga Brebes atau sekitar 600 ribu orang menggantungkan hidup pada bawang. Akhirnya, program pemerintah diarahkan ke penguatan edukasi ke petani, misalnya untuk beralih ke pestisida ramah lingkungan.

“Susah memang. Kecuali kalau ini (panen) nanti gagal, pemerintah memberi subsidi sekian. Harus ada kompensasi, misal gagal, kita ganti benihnya. Kalau enggak ada kompensasi ya susah,” ujar Yulia.

Yulia mengeklaim, hingga kini, produk bawang Brebes masih memenuhi standar keamanan pangan.

“Jadi, sampai saat ini masih di bawah ambang keamanan, belum melebihi, sehingga masih aman. Kalau sudah tidak aman, artinya, kita sudah enggak bisa ekspor. Kita masih bisa ekspor,” klaim Yulia.

Meski begitu, ia was-was karena kualitas bawang Brebes terus menurun. Aplikasi jor-joran pestisida merusak lahan, sehingga pertumbuhan bawang tak optimal. Dulu Brebes memasok 30 persen bawang nasional, kini hanya sekitar 20 persen.

“Jangan sampai kita hanya mengejar produksi, dengan menggunakan pestisida yang berlebihan, produksinya bisa tinggi, tetapi tidak laku, buat apa? Kalaupun laku hanya laku yang lokalan dan itu tidak banyak, karena kita hanya membutuhkan berapa persen yang lokalan,” ujar dia.

Lahan di Brebes juga diduga masih terkontaminasi pestisida jenis organoklorin, DDT, yang sudah lama dilarang. Ini berdasarkan hasil tesis Poniman, alumnus Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro pada 2021. Ia juga berpengalaman sebagai peneliti di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan).

Menurutnya, lahan bawang yang tercemar zat berbahaya bakal memberi multidampak, termasuk merusak kesehatan petani yang terpapar.

“Seperti contoh gatal di kulit itu pasti, kemudian kadang-kadang kanker serviks buat ibu-ibu yang penyiram bawang itu. Kalau di tingkat konsumen yang jelas adalah karena terbawanya residu dalam produk, itu gagal ginjal, sirosis, kanker paru, gangguan hormonal,” kata Poniman.

Seperti apa penjelasannya? Selengkapnya di bagian 3.

Penulis: Ninik Yuniati