Article Image

SAGA

Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 1)

"Di Brebes, perempuan terlibat aktif di pertanian bawang. Ini membuat mereka mudah terpapar pestisida kimia dan residunya. "

Dua buruh tani perempuan di Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, sedang mencabuti hama di tanaman bawang. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Brebes - Iin Purwati (35) hampir saja menunda mandi, begitu tiba di rumahnya di Desa Siasem, Wanasari, Brebes, hanya karena kedatangan tamu.

"Biasanya ya kadang (mandi) nanti aja, basah sih, salin aja," kata Iin.

Padahal, ia sudah sekitar enam jam berada di sawah, mengurus tanaman bawang merah. 

Akhirnya ia bergegas mandi, rampung kurang dari lima menit.

“Namanya manusia, pas lagi capek banget ya duduk dulu, mandinya nanti. Kadang tiduran sebentar, kalau lagi malas," ujar dia.

Putri sulungnya, yang berusia 7 tahun, kemudian menghampiri, meminta uang jajan.

Iin juga tengah menanti kelahiran anak kedua. Usia kandungannya sudah lima bulan. Meski begitu, sehari-hari, ia masih bekerja sebagai buruh tani. Seperti yang ia lakukan hari itu, bersama belasan tetangganya.

“Kalau jauh, jam 5 (pagi) udah berangkat dari sini, nanti nunggu mobil, nunggu yang lain, paling jam 6 baru jalan. Kadang jam 6.30, kalau dekat, datang langsung mulai. Biasanya sampai azan jam 12. Pas kalau kerjanya banyak, azan baru pada berhenti. Nanti besoknya berangkat lagi,” terang lulusan SD ini.

Per hari buruh perempuan diupah Rp50 ribu, beda dengan buruh laki-laki.

“Kalau pekerjaan laki-laki setengah hari Rp75 ribu. Kerjanya laki-laki ya nyangkul, ngambilin lumpur dipinggir-pinggirin.  Beda (upah), enggak tahu padahal kerjanya sama, setengah hari,” ujar dia.

Aktivitas di sawah biasanya diawali dengan sarapan bersama.

“Pakai tas, bawa makanan, air, bawa sendiri-sendiri, nanti sampai di sawah, makan dulu, duduk, makan ramai-ramai. Kalau udah makan baru mulai, seneng di sawah. Pada bawa ini, ini,” ungkap dia.

Baca juga: Petani Kopi Perempuan Jombang Bertahan di Tengah Krisis Iklim

Petani perempuan rentan terpapar pestisida, melalui udara, residu yang melekat di tanaman bawang, maupun lumpur yang sudah terkontaminasi. (Foto: KBR/Ninik).

Iin dan belasan buruh perempuan lain mulai bekerja. Tugasnya mencabuti hama ulat di tanaman bawang yang sudah disemprot pestisida kimia oleh buruh laki-laki. Telur ulatnya terkadang belum mati, jadi harus dibuang.

Ini mengharuskan mereka turun ke selokan atau parit di sawah yang tergenang air bercampur lumpur. Kaki hingga paha seluruhnya terendam lumpur, tak jarang bahkan sampai setinggi perut.

Bertelanjang kaki mereka berjalan menyusuri selokan sembari mencabuti hama atau rumput di tanaman bawang.

Selepas kerja, selangkangan Iin sering gatal.

“Kalau banjir nyampe sini (perut), nyampe basah semua dalemannya, udah biasa sih. Paling kalau sering itu, agak gatal pinggirannya kan, pada merah-merah ruam kayak bayi pakai popok. Pinggir-pinggirannya doang, kalau direndam terus, paling dikasih bedak doang, bedakin, udah,” tutur perempuan kelahiran Tegal, Jawa Tengah ini.

Untuk tanaman bawang, musim hujan berarti musim hama. Petani bakal menyemprotkan pestisida lebih sering, biasanya, dua hari sekali. Hal itu berlangsung selama 40 hingga 60 hari sampai panen. Iin paham proses ini karena ia dan suami juga menanam bawang di lahan seperempat hektare. Mereka bagi hasil dengan si pemilik lahan.

“Biasanya bawang, harganya lebih itu (bagus) daripada padi, kalau padi kan cuma setahun sekali, nanti habis padinya panen, ditanami bawang. Nanti bulan 8 (Agustus) atau 9 (September) bawang lagi," ucap IIn. 

Hampir saban hari pula Iin ke sawah. Artinya, ia intens kontak dengan pestisida beserta residunya, yang melekat di tanaman bawang, genangan lumpur, maupun saat proses penyemprotan. Iin merasa cukup terlindungi dengan menggunakan masker dan sarung tangan kain.

“Obatnya baunya menyengat semua, enggak enak semualah, wong namanya obat racun. Ya kehirup kayaknya, tapi biasa, enggak ada efek samping, kena obat itu enggak kenapa-kenapa, enggak (pusing). Kadang kita lagi metikin hama, suaminya ngobat (semprot pestisida) di belakang, tapi enggak apa-apa. Kalau ke sawah pakai masker, kalau lupa ya pakai kerudungnya diiket, buat nutupin,” Iin menjelaskan. 

Baca juga: Pupuk Subsidi Langka, Petani Juwiring Tak Lagi Pusing

Iin dan anak pertamanya yang masih berusia 7 tahun. Anak-anak juga rentan terpapar pestisida karena sering diajak main ke sawah. (Foto: KBR/Ninik).

Ada baju khusus untuk ke sawah, yakni, kaos lengan panjang, celana panjang, beserta topi atau caping dan kerudung.

“Bajunya yang khusus buat sawahan. Kalau di rumah beda, khusus sendiri yang buat sawah tiap hari. Kaos, celananya panjang terus, sarung tangan, kadang biar enggak panas aja, tangannya enggak item,” tutur Iin. 

Tak cuma di Brebes, Iin juga kerap menjadi buruh tani bawang di Majalengka, Jawa Barat. Ia bersama puluhan buruh lain menginap sekitar 5 hari di gubuk di tengah sawah.

“Malah ketemu suami saya juga dulu di Majalengka. Kalau di sana, satu hari, ntar jam 12 istirahat, jam 1 mulai lagi, sorenya jam 5 baru istirahat lagi. Bawa bajunya banyaklah buat ganti. Baju sawah sendiri, baju yang buat tidur sendiri,” imbuhnya. 

Seluruh aktivitas dilakukan di sekitar sawah, seperti tidur, makan, minum, mandi, buang air, dan cuci baju.

“Cucinya di air selokan. Kadang enggak ada Sanyo-nya (pompa air), kalau ada Sanyo pun sek-sekan banget, ramai ngantrenya, kerannya satu yang mau mandi kan banyak. Di gubuk, sekalian ada yang masakin sih, jadi pagi, siang, sore makannya di situ. Paling (makan) terong, sayur-sayuran, daging jarang, enggak pernah malah, ayam juga sekali-sekali, motongnya kecil-kecil biar rata,” kisah Iin. 

Baca juga: Kapan Bisa Berlepas Diri dari Merkuri?

Petani Brebes kerap menaruh bawang untuk bibit di atas dapur. Pestisida yang ada di bawang berpotensi berhamburan dan masuk ke makanan dan minuman di bawahnya. (Foto: KBR/Ninik)

Perilaku dan pola pikir seperti Iin jamak di antara buruh tani di Wanasari, Brebes.

Kaisih, warga Desa Sidamulya, menjalankan kebiasaan serupa selama lebih dari 30 tahun menjadi petani bawang. Sedari belum menikah hingga kini punya cucu. Saat hamil dulu, ia pun tetap bekerja di sawah.

“Saya perutnya besar, 9 bulan, ngopeni (merawat) kebun bawangnya orang, sampai panen. Ya gimana lagi, namanya pengin uang, (pas hamil) ke sawah semua, sampai cari padi, dari sini ke Banjarsari naik sepeda,” kata Kaisih.

Sudah tak terhitung berapa kali ia menghirup pestisida kimia.

“Kalau lagi ngobat (semprot pestisida), saya belum sarapan, lupa, ya rada pusing sedikit, kalau udah jauh, kena angin ilang lagi pusingnya. Obatnya banyak macam, ada obat yang bacin banget baunya, enggak tahu itu bekasnya apa, sampai saya mual. Obatnya banyak, orang dicampuri aja ulernya (ulat) enggak mati,” tutur perempuan 55 tahun ini.

Di sawah, air bersih dan fasilitas sanitasi sulit ditemui. Kaisih biasanya pulang dengan sisa lumpur masih melekat di badannya.

“Ya cuci kaki di selokan, itu kan airnya lagi butek, enggak bisa untuk cuci kaki ya pulang, blopot, kotor semua, enggak (bawa sabun), di rumah bersihnya, ntar kalau sudah sampai rumah, mandi, digosok sabun,” ujar Kaisih.

Sesampai di rumah, perempuan 55 tahun ini tetap memegang bawang. Hasil panen sebelumnya ia bersihkan, dijemur, kemudian diikat. Selanjutnya, bawang bisa dijual atau disimpan untuk jadi bibit.

"Kalau saya punya, dipegang sendiri, dikosrek sendiri, sampai bersihlah. Sampai nunggu keringnya aja, kalau lagi panas, enggak ada hujan, enggak ada apa ya paling lima hari kering, sampai kilong-kilong (kinclong), baru diangkat ke atas, ditarang," jelasnya.

Bawang untuk bibit digantung berjajar di atas dapur. Di bawahnya, ada tungku tempat memasak makanan sekeluarga. Pengapian dianggap bisa membuat bibit bawang berkualitas.

"Kalau lagi musim hujan, dia diapini, kan jadi anget, dari bawah anget, dari atas ada gendeng (genteng) kaca, jadi kan nyorot (menyinari) ke sana, di atas ada, di sini (bawah) ada, jadi aman," tutur Kaisih.

Baca juga: Ainun Murwani dan Cerita Perjuangan dari Bantaran Kalijawi

Kaisih (55) menunjukkan bawang-bawang untuk bibit yang diletakkan di atas dapur. (Foto: KBR/Ninik).

Kebiasaan menyimpan bibit bawang di rumah juga dilakukan Iin. Tak hanya di dapur, bawang juga ditaruh di atas ruang tamu.

Luas rumah Iin sekitar 7 x 5 meter persegi, terdiri 3 bagian, yakni dapur, kamar tidur yang bersebelahan dengan kamar mandi, serta ruang tamu. Tampak beberapa kandang burung tekukur dan perkutut digantung berdekatan dengan bawang.

Tradisi ini ternyata keliru karena mengancam kesehatan. Pasalnya, ada unsur kimia pestisida dalam bawang, yakni mancozeb yang bakal berhamburan ketika dipanaskan. Hal itu diungkapkan Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Brebes, Muhtar.

“Pada saat pengeringan itu kan ada rontokan. Bentuknya mancozeb itu kayak tepung, kayak bedak. Nah, mancozeb itu jatuh secara sedikit-sedikit ke makanan yang sedang dimasak di bawahnya. Itu yang jadi racun, sehingga menyebabkan orang cedera hati,” kata Muhtar.

Muhtar meneliti ini pada 2017 untuk disertasi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Riset dilatari adanya lonjakan tajam penderita cedera hati di Brebes dari 90 kasus pada 2011 menjadi 251 kasus dalam kurun dua tahun. Hampir seluruh pasien berasal dari wilayah pertanian bawang yang intensif menggunakan pestisida.

"Hati adalah organ tubuh yang penting sekali untuk membasmi racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebetulnya cedera hati itu, sampai di angka 80 persen, kita masih hidup. Kalau kurang dari 20 persen, kita sudah mengalami gangguan, cepat lemas. Jadi, kalau ada cedera hati ya harus segera diobati,” ujar dia.

Di riset itu, Muhtar juga membuktikan bahwa konsumsi rutin daun kelor bisa mengurangi risiko cedera hati. Karenanya, memasyarakatkan daun kelor menjadi salah satu program Dinkes Brebes.

“Terus meminta agar kabid kesmas untuk menganggarkan 15 ribu bibit kelor disebar di seantero Brebes. Kelor itu bagusnya untuk pestisida maupun fungisida karena antioksidannya tinggi,” terang Muhtar.

Namun, upaya itu jauh dari cukup. Apalagi, risiko penyakit yang berkaitan dengan pestisida tak cuma cedera hati. Sudah beragam riset yang memperingatkan dampak paparan pestisida terhadap kesehatan, seperti stunting, gangguan reproduksi, hingga kanker.

“Penyakit-penyakit yang diberikan oleh dampak pestisida itu banyak arahnya kepada PTM, penyakit tidak menular, misalnya diabet, darah tinggi, kolesterol, asam urat. Akumulasi masalah kesehatan itu ada semua di Brebes, stuntingnya tinggi, kematian ibu hamilnya tinggi, kematian bayi tinggi, semua sakit itu banyak di Brebes,” tuturnya.

Dinkes Brebes pernah mengetes kadar racun pestisida ke petani, selama periode 2010 hingga 2020. Namun, program itu disetop karena dianggap tak punya manfaat jangka panjang. Data yang terkumpul sulit dianalisis.

“Karena sampelnya itu tidak bisa orang yang sama dan perilaku orang yang sama tahun ini tuh, belum tentu dia, sekarang nyemprot, tahun depan dia enggak nyemprot lagi, ya sudah turun. Jadi akhirnya untuk menentukan itu, manfaatnya enggak ada,” jelas Muhtar.

Kini, Dinkes Brebes memilih memperkuat edukasi ke petani, agar bijak menggunakan pestisida. Namun, perubahan perilaku butuh waktu lama.

“Ada pos UKK, Upaya Kesehatan Kerja, biasanya tingkat desa. Itu biasanya untuk pekerjaan sejenis yang lebih dari 10 orang. Misalnya pekerja sawah disuruh kumpul, cerita sama petugasnya. Di situ kita melaksanakan upaya-upaya pencegahan, memberikan penjelasan kepada petani itu, bagaimana pestisida dipakai dengan tepat dan benar,” imbuhnya.

Baca juga: Pahitnya Hidup Petani Kopi Perempuan Dirundung Krisis Iklim

Para petani perempuan di Wanasari, Brebes, tengah membersihkan bawang merah hasil panen di teras rumah. Mereka tidak mengenakan pelindung meski kontak langsung dengan bawang yang terkontaminasi pestisida. (Foto: Ninik/KBR).

Kaisih dan Iin, petani bawang Wanasari beda generasi, tapi pola pikir dan perilakunya terkait pestisida, kurang lebih sama. Mereka tahu pestisida berisi racun dan berbahaya. Namun, kekhawatiran itu diabaikan begitu ingat dengan tuntutan perut. Apalagi, mereka mengeklaim jarang sakit.

“Sakitnya paling kalau capek, tapi kalau udah dibawa tidur, minum obat, isuknya (paginya) berangkat lagi. Paling keluhannya gitu, wong sakitnya kadang setahun sekali, dua kali, enggak kayak sebentar sakit, sebentar sakit,” ujar Iin.

Sedangkan Kaisih yang berusia 20 tahun lebih tua, mengeluhkan asam uratnya yang kerap kambuh. Sakit berat yang ia ingat hanya saat diduga terinfeksi Cikungunya.

“Habis menanam padi, ya namanya di sawah kan panas banget. Jadi saya minum es, pulangnya enggak bisa jalan. Katanya, waktu itu musim penyakit Cikungunya, selarik ini saudara saya semua juga keserang. Saya dituntun suami saya, kaku, terus sakit. Periksa lagi, terus diliburin seminggu, baru sembuh bisa jalan lagi,” kata Kaisih.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Suhartono mengatakan, dampak pestisida memang tidak langsung terlihat karena sifatnya jangka panjang. Namun, seseorang yang intensif terpapar bakal lebih rentan terjangkit penyakit.

"Untuk mulai dia terpapar sampai ada masalah outcome memang butuh waktu, karena itu ada istilahnya masa latennya,” kata Suhartono.

Sejak 2009 Suhartono meneliti dampak pestisida di Brebes pada perempuan dan anak.

“Tidak sekedar gatal-gatal, kalau gatal-gatal superfisial di bagian kulit mungkin ya, tapi kalau masuk sampai ke dalam tubuh, ke lever, fungsi-fungsi yang lain ikut terganggu pasti, fungsi hormon yang lain,” terang dia.

Seperti apa temuannya? Selengkapnya di bagian 2.

Penulis: Ninik Yuniati