“Problem utamanya adalah pemerintah bersikap populis dan majoritarianistik. Minoritas seringkali dipaksa melepaskan haknya demi kerukunan," jelasnya
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Pembubaran kegiatan retret remaja Kristen di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (27/6/2025) menuai kecaman luas. Massa juga merusak rumah warga bernama Wedi yang menjadi lokasi acara.
Peristiwa intoleransi yang kembali terjadi ini menjadi sorotan tajam para pegiat hak asasi manusia, peneliti, hingga jaringan masyarakat sipil.
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menekankan pentingnya melihat aspek korban dalam kasus ini, terutama karena sebagian besar peserta retret adalah remaja.
“Anak-anak sedang retret, lalu mereka harus menghadapi situasi intimidatif, ancaman, dan risiko fisik. Itu lebih traumatis daripada orang dewasa. Kalau mereka sanggup melakukan ini kepada anak-anak, apa yang harus kita pikirkan tentang kualitas bangsa kita?," ujar Alissa saat Diskusi Ruang Publik KBR, Senin (7/7/2025).
Alissa mengkritik pendekatan pemerintah yang lebih mementingkan "kerukunan sosial" ketimbang menegakkan keadilan berdasarkan konstitusi.
“Problem utamanya adalah pemerintah bersikap populis dan majoritarianistik. Minoritas seringkali dipaksa melepaskan haknya demi kerukunan. Padahal tugas negara adalah menegakkan konstitusi, bukan tunduk pada kehendak mayoritas,” jelasnya.
Kasus Sukabumi harus dilihat dalam kerangka besar yaitu adanya kegagalan negara menegakkan prinsip keadilan konstitusional dan menjamin hak-hak minoritas.
Alissa Wahid mengingatkan kembali pesan dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden Keempat RI itu dijuluki Bapak Pluralisme Indonesia.
“Yang beda jangan disama-samakan, tapi yang sama jangan dibeda-bedakan. Kita semua warga negara yang setara,” tegasnya.
Pola Sistemik yang Mengakar
Setara Institute menilai insiden ini bukan kasus terpisah, tetapi merupakan pola sistemik yang mengakar dalam praktik kebijakan diskriminatif negara terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Peneliti KBB dari Setara Institute, Achmad Fanani Rosyidi menegaskan pembubaran paksa retret ini bukan kejadian baru di Jawa Barat. Ia menyebut provinsi ini sebagai wilayah dengan pelanggaran KBB tertinggi di Indonesia.
“Jawa Barat ini secara berturut-turut menjadi peringkat tertinggi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2023 ada 38 peristiwa dan itu naik di 2024. Peristiwa ini terus berulang karena negara melakukan praktik impunitas, membiarkan kejadian-kejadian ini tanpa penindakan khusus,” kata Fanani dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (7/7/2025).
Ia menambahkan, praktik intoleransi ini menjadi ‘biasa’ di mata masyarakat karena negara juga ikut membiasakannya.
“Masyarakat menganggap kekerasan atas nama agama sebagai hal lumrah. Ini yang disebut banalitas kekerasan, dan itu terjadi karena negara juga memandangnya sebagai hal biasa,” ujar Fanani.
Menurut Fanani, seharusnya pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo, menunjukkan ketegasan dalam menindak pemerintah daerah yang gagal menjamin KBB, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
“Negara harus punya sense of urgency dalam pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Termasuk menegur kepala daerah yang abai terhadap insiden-insiden intoleransi,” tegas Fanani.
Ia juga menyatakan bahwa kebijakan yang berpihak dan diskriminatif terhadap kelompok mayoritas masih dipertahankan oleh negara dari masa ke masa.
“Wajah pemerintah belum berubah sejak era SBY sampai Jokowi dan kini Prabowo. Agenda pemajuan KBB tak pernah jadi prioritas,” ujarnya.
Peraturan Bersama Menteri (PBM) Bermasalah
Co-Founder Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Daniel Awigra menilai akar struktural dari kasus ini terletak pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat.
Menurutnya, aturan tersebut memungkinkan hak konstitusional kelompok minoritas dikontestasikan oleh kelompok mayoritas.
“Sebenarnya hak itu nggak boleh dikontestasikan ke orang-orang tetangganya. Meskipun mereka kelompok kecil, mereka tetap punya hak melekat untuk beribadah,” ucap Daniel kepada KBR, Senin (7/7/2025)
Ia menyayangkan sikap negara yang cenderung melindungi pelaku intoleransi ketimbang korban.
“Respon seperti penangguhan penahanan kepada pelaku ini jelas tidak tepat. Negara gagal melindungi hak kebebasan beragama. Sementara pelaku justru dibela,” tuturnya.
Daniel menegaskan, satu-satunya solusi jangka panjang adalah mencabut PBM 2006.
“Harus dicabut tuh PBM. Itu juga direkomendasikan Komite HAM PBB dalam sidang CCPR 2024. Peraturan-peraturan yang menjadi landasan intoleransi seperti PBM dan pasal penodaan agama harus dihapus,” tegasnya.
Sebelumnya, Polres Sukabumi telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas pembubaran paksa dan tindakan perusakan dalam kegiatan ibadah tersebut.
Mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama-sama dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Pembubaran Retret Pelajar Kristen di Sukabumi: Potret Suram Intoleransi di Jawa Barat