NASIONAL

Bappenas: Metode Pengukuran Angka Kemiskinan Perlu Diperbarui

Metodologi yang dilakukan sekarang ini sudah lama diterapkan mulai tahun 1998.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

Inflasi Pangan
Seorang tuna wisma tidur di atas jembatan penyeberangan di Depok, Jawa Barat, Rabu (8/5/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

KBR, Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) berencana memperbarui metodologi pengukuran angka kemiskinan di Indonesia.

Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Kementerian PPN/Bappenas Tirta Sutedjo mengatakan, pembahasan dilakukan bersama Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Kata dia, metodologi yang dipakai untuk mengukur angka kemiskinan saat ini sudah lama diterapkan sehingga perlu ada pembaruan.

"Kami masih memiliki PR untuk bisa memutakhirkan terkait dengan metodologi pengukuran angka kemiskinan yang metodologi yang dilakukan sekarang ini sudah lama diterapkan mulai tahun 1998. Dan kami di Bappenas bersama dengan TNP2K juga sedang membahas pemutakhiran metodologi pengukuran angka kemiskinan," ucap Tirta dalam acara “Strategi Penanggulangan Kemiskinan: Tantangan Saat Ini dan Peluang di Masa Depan”, Rabu (15/5/2024).

Tirta menargetkan dalam waktu dekat bisa melaporkan pemutakhiran metodologi tersebut ke Forum Masyarakat Statistik (FMS).

"Kemudian bisa diterapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025 sampai 2029," jelasnya.

Dia memperkirakan angka kemiskinan ekstrem bakal berada di angka 0,5 hingga 0,7 persen di tahun 2024. Sedangkan target pemerintah di tahun yang sama ingin kemiskinan ekstrem 0 persen.

"Data terakhir di 2023 yang sudah dirilis oleh BPS kemiskinan di Indonesia berada di angka 9,36 persen, untuk kemiskinan ekstrem di 2023 ada di angka 1,12 dan kalau diasumsikan bahwa kemiskinan ekstrem bisa dicapai di bawah 1 persen tampaknya kita bisa mencapai di tahun 2024 kurang lebih di angka 0,5 sampai 0,7 persen," tuturnya.

Baca juga:

Mengutip dokumen "Pengukuran Garis Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Teoretis dan Usulan Perbaikan" dari TNP2K, selama ini BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan standar dan konsep yang diterapkan di banyak negara. Yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach).

Dalam pendekatan ini, kebutuhan minimum makanan rumah tangga sebanyak 2.100 kilokalori per orang ditambah dengan kebutuhan paling mendasar kelompok bukan makanan.

Adapun ketidakmampuan dari sisi pengeluaran atau pendapatan untuk hidup layak minimum dalam rupiah merupakan pendekatan secara moneter (monetary approach).

Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan (GK).

Editor: Wahyu S.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!