NASIONAL

YLBHI: Jangan Sampai Revisi Membuat UU ITE Makin Buruk

"Tidak ada akses informasi sejauh mana pembahasan sudah dilakukan, pasal apa yang kemudian direvisi atau dihapus, atau mungkin ditambahkan oleh DPR dan pemerintah. Kita tidak tahu."

AUTHOR / Hoirunnisa

UU ITE
Ilustrasi. (Foto: fabrikasimf/Freepik.com/Creative Commons)

KBR, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai tertutupnya pembahasan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi praktik buruk otoritarian dalam pembentukan undang-undang.

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana mengatakan rakyat mempunyai hak untuk mengajukan suara dalam pembahasan RUU ITE sesuai amanat konstitusi.

Ia mengatakan sejauh ini tidak ada akses informasi mengenai sejauh mana pembahasannya.

"Tidak ada akses informasi sejauh mana pembahasan sudah dilakukan, pasal apa yang kemudian direvisi atau dihapus, atau mungkin ditambahkan oleh DPR dan pemerintah. Kita tidak tahu," ujar Arif Maulana kepada KBR, Kamis (13/7/2023).

Arif mendesak pemerintah sebagai pihak yang berinisiatif merevisi UU ITE memastikan proses pembahasan revisinya berjalan partisipatif.

Ia menyebut perlu perubahan bermakna dari revisi ini karena YLBHI mencatat telah menangani 199 kasus pelanggaran hak kebebasan berekspresi sepanjang 2020 hingga 2022.

Selengkapnya berikut petikan wawancara Jurnalis KBR Hoirunnisa, dengan Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan (YLBHI), Arif Maulana.

Bagaimana Anda melihat proses revisi UU ITE? Apakah sudah cukup mengedepankan unsur partisipasi bermakna?

Kita melihat dalam revisi Undang-undang ITE ini ada praktik tertutup. Praktik buruk otoritarian dalam pembentukan undang-undang. Ini menjadi kebiasaan bagi pemerintah dan DPR dalam beberapa tahun belakang ini. Misalnya ketika dulu pemerintah dan DPR menyusun Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan terakhir Omnibus Law Undang-undang Kesehatan. Itu caranya demikian.

Ini bertentangan dengan pasal 96 Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang. Termasuk ada juga putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan rakyat berhak diinformasikan, didengar pendapatnya, berhak untuk kemudian diberikan pertimbangan kalau DPR menolak atau menerima masukan masyarakat.

Termasuk hak rakyat adalah mendapat penjelasan kenapa keputusan DPR dan pemerintah seperti itu.

Tidak ada akses informasi sejauh mana pembahasan sudah dilakukan, pasal apa yang kemudian direvisi atau dihapus, atau mungkin ditambahkan oleh DPR dan pemerintah. Kita tidak tahu.

Praktik ketertutupan ini sangat disayangkan. DPR dan pemerintah tidak melihat revisi ini adalah agenda rakyat dan seharusnya memberikan ruang kepada rakyat.

Baca juga:


Apa desakan YLBHI agar memastikan klausul bermasalah direvisi? Pasal-pasal apa saja yang dinilai penting untung segera direvisi?

Kita sangat berharap DPR dan pemerintah terbuka. Tegakkanlah aturan sebagaimana mestinya. Ada aturan konstitusi dan juga peraturan perundang-undangan terkait mekanisme pembentukan undang-undang sudah jelas.

Dalam proses penyusunan undang-undang sudah jelas. Dalam proses penyusunan undang-undang itu seperti apa? Dibuka saja ke publik. Bukan kemudian seperti rapat sembunyi-sembunyi, dan akhirnya rakyat kesulitan mengetahui ini sudah sampai mana revisinya.

Kita berharap Presiden Jokowi yang memang memerintahkan untuk revisi undang-undang untuk memastikan prosesnya partisipatif.

Kedua, terkait dengan pasal-pasal saya pikir penting untuk segera dilakukan perubahan diantaranya adalah pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, 36, 40 dan juga pasal 45. Yang kami tekankan khususnya di pasal 27 ayat 1 dan 27 ayat 3 serta pasal 28 ayat 2. Kita harapkan segera direvisi.

Baca juga:


Apa harapan besar YLBHI terhadap revisi UU ITE ini?

Sepanjang dua tahun terakhir, dari 2020-2022, YLBHI dan 18 kantor LBH di seluruh Indonesia sudah menangani 199 kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat

Ada 48 kasus serangan terhadap public defender, human right defender. Itu diantaranya menggunakan cara kriminalisasi selain teror, intimidasi dan lain sebagainya. Dan pasal untuk melakukan kriminalisasi adalah pasal-pasal di UU ITE tadi kami desakkan untuk dicabut.

Jadi pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa revisi Undang-undang ITE ini lebih baik. Bukan kemudian malah sama saja atau bahkan lebih buruk. Karena dari awal cita-cita revisi Undang-undang ITE ini kan kita sadar bahwa undang-undang ini bermasalah. Maka dari itu revisi harus sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan konstitusi. Jangan sampai kemudian justru malah jadi alat mereduksi hak asasi dan mengancam demokrasi.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!