NASIONAL

WALHI: Banyak Solusi Palsu untuk Penerapan Energi Hijau

Skema-skema yang dijalankan pemerintah masih bersifat kegiatan yang biasa atau "as usual".

AUTHOR / Resky Novianto

energi hijau
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewi. (Foto: Tangkapan layar Youtube WALHI)

KBR, Jakarta - LSM peduli lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti komitmen Indonesia dalam kebijakan ekonomi hijau, bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengklaim, Indonesia tengah mengembangkan energi hijau atau green energy. Hal itu disampaikan Jokowi dalam pidato kunci pada penutupan pertemuan B20 atau B20 Summit, Senin (14/11/2022), di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang sangat besar hingga mencapai 434 ribu megawatt.

"Saya sampaikan bahwa potensi energi baru terbarukan hari ini energi di Indonesia itu sangat besar maka potensi baik dari hydropower, geothermal, tenaga surya, angin, hingga tidal wave. Semuanya ada," kata Jokowi.

Mengomentari klaim Jokowi terkait komitmen pengembangan energi hijau itu, Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewi menganggap, skema-skema yang dijalankan pemerintah masih bersifat kegiatan yang biasa atau "as usual", di tengah adanya berbagai gelombang krisis atau "business as usual".

Berikut, petikan wawancara KBR dengan Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewi pada Selasa (15/11/2022):

Terkait komitmen penerapan ekonomi hijau seperti dikemukakan Presiden Joko Widodo di Forum B20, seperti apa rincian kebijakan tersebut? Konsisten atau inkonsisten?

Kalau kami melihatnya, ini masih inkonsisten. Dalam artian komitmen terhadap penerapan ekonomi hijau belum sungguh-sungguh dijalankan oleh pemerintah.

Ini kita bisa lihat dengan meruyaknya izin-izin konsesi yang diberikan. Kemudian penggunaan energi fosil yang itu masih menjadi salah satu fokus pemerintah juga.

Kita tahu bahwa energi fosil itu salah satu yang menyumbang emisi tinggi, menyumbang krisis iklim, dan kita masih melihat program-program atau proyek dari pemerintah Indonesia yang itu belum mengarah ekonomi hijau yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Jadi kalau kita melihatnya, belum sungguh-sungguh pemerintah ini menerapkan apa yang dinamakan ekonomi hijau. Kalau dilihat, lebih cenderung atau lebih banyak fokus keekonomiannya dibandingkan aspek keberlangsungan ekologis dan lingkungan hidup kedepan dan sejalan juga dengan penegakan hak asasi manusia.

Kebijakan ekonomi hijau jadi investasi di masa depan. Seberapa penting? Apakah hanya sekedar investasi semata?

Kalau kita melihatnya yang dilakukan oleh pemerintah hari ini memang masih cenderung pada nilai keekonomiannya, nilai investasinya saja. Sampai kemudian melihat dari aspek mendasar terhadap kepentingan ataupun kebutuhan negara Indonesia dalam konteks lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Kita bisa melihat dengan proyek-proyek energi terbarukan berskala besar. Mindset terhadap proyek skala besar yang kemudian mengenyampingkan aspek hak asasi manusia maupun keberlangsungan lingkungan hidupnya. Kalau kita lihat sebenarnya, banyak proyek-proyek yang energi terbarukan berskala besar seperti Geothermal, PLTA yang itu tidak menjawab dasar dari krisis iklim yang ada.

Baca juga:

- Target Pengurangan Emisi Karbon di NDC Indonesia Naik Jadi 31,89 Persen

- B20 Summit, Jokowi Ajak Investor Kembangkan Energi Hijau

Menerapkan ekonomi hijau, harus seperti apa lobi-lobi dari Indonesia di KTT G20 ini? Tentu agar penerapan ekonomi hijaunya berkelanjutan?

Kalau kita melihat yang tadi, harusnya pemerintah Indonesia bisa memfokuskan ataupun mengedepankan terhadap pertanggungjawaban negara-negara industri maupun korporasi tanpa syarat.

Karena kita melihat, hari ini yang didengungkan lebih banyak skema-skema yang kita sebut solusi "palsu", karena kita akan menjawab pada krisis multidimensi yang saat ini terjadi. Sebutlah, krisis ekologi, krisis iklim, dan itu sudah terjadi di Indonesia.

Artinya, pemerintah Indonesia harus memfokuskan pendanaan-pendanaan. Misalnya yang itu arahnya pada pemulihan dan pertanggungjawaban dalam mengatasi krisis. Termasuk menekan negara-negara industri dan korporasi untuk mereka melakukan kegiatan konkret penurunan emisi gas rumah kaca tanpa syarat, misalnya.

Karena kalau kita melihat hari ini misalnya, bicara solusi iklim dalam konteks energi itu berbasis teknologi. Sementara kita tahu, bagaimana teknologi itu pun aksesnya tidak bisa secara langsung dirasakan rakyat Indonesia.

Editor: Fadli

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!